Jakarta (ANTARA) - Kandidat obat untuk pasien virus corona baru atau COVID-19, hydroxychloroquine diuji klinis pada manusia pada pekan ini, menurut National Institute of Health (NIH) di Amerika Serikat.

NIH, seperti dilansir Medical Daily, mengatakan uji klinis hydroxychloroquine dimulai dengan melibatkan peserta yang terdaftar di Vanderbilt University Medical Center di Nashville, Tennessee, Amerika Serikat.

Sekitar 500 orang dewasa yang saat ini dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 atau di unit gawat darurat juga menjadi partisipan uji klinis.

Baca juga: Perusahaan obat andalkan sistem order digital saat pandemi COVID-19

Baca juga: 74 negara terlibat dalam upaya menemukan obat COVID-19


Selama uji coba, beberapa pasien akan diobati dengan hydroxychloroquine sementara yang lain tidak. Namun, semua peserta dalam penelitian ini akan menerima perawatan klinis sesuai indikasi untuk kondisi mereka.

Hydroxychloroquine disebut-sebut berpotensi menjadi obat untuk COVID-19 tetapi efektivitasnya masih menjadi perdebatan para ahli kesehatan. Beberapa ahli memperingatkan masih terlalu dini untuk memutuskan obat malaria ini pilihan yang manjur untuk pasien COVID-19.

Studi pendahuluan menunjukkan obat ini melindungi sel-sel dari virus. Percobaan klinis pada manusia dilakukan untuk mengevaluasi keamanan dan efektivitasnya dalam merawat pasien virus corona.

“Obat ini telah menunjukkan aktivitas antivirus, kemampuan untuk memodifikasi aktivitas sistem kekebalan tubuh, dan memiliki profil keamanan pada dosis yang sesuai, yang mengarah pada hipotesis obat ini juga berguna dalam pengobatan COVID-19,” kata pihak NIH.

Meskipun begitu, hydroxychloroquine bukannya tanpa risiko karena penggunaan jangka pendek pun dapat menyebabkan aritmia jantung, kejang, reaksi dermatologis dan hipoglikemia.

Hydroxychloroquine menjanjikan dalam pengaturan laboratorium terhadap SARS-CoV-2 dan laporan awal menunjukkan potensi kemanjuran. Namun, kami benar-benar membutuhkan data uji klinis untuk menentukan apakah hydroxychloroquine efektif dan aman dalam mengobati COVID-19," kata direktur Penyakit Paru di National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI), James P. Kiley.

Baca juga: Krisis obat virus corona ancam Uni Eropa

Baca juga: India izinkan ekspor obat anti-malaria setelah Trump ajukan permintaan

Baca juga: Peneliti Monash University temukan obat potensial lawan COVID-19