Semarang (ANTARA) - Sejak Kota Wuhan menjadi sorotan dunia gegara Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) melanda Ibu Kota Provinsi Hubei, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada bulan Desember 2019, muncul beragam penulisan nama virus yang hingga sekarang menjadi momok masyarakat dunia itu.

Pada saat itu penulis mencari padanan nama virus tersebut di mesin pencari (search engine) Google, langsung muncul "Koronavirus". Namun, hingga Sabtu (4/4) sekitar pukul 10.30 WIB, masyarakat lebih sering menggunakan frasa "virus corona" ketimbang koronavirus.

Dalam rentang waktu 0,55 detik, mesin pencari mencatat istilah "virus corona" sekitar 3.670.000.000, sedangkan "koronavirus" dengan durasi 0,58 detik hasilnya 180.000.000.

Ada pula sejumlah media yang menulis "virus korona" tercatat sekitar 171.000.000 (0,55 detik), kemudian "Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)" versi Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) tercatat sekitar 1.240.000.000 (0,52 detik).

Belakangan ini, ketika menulis coronavirus tidak muncul lagi "koronavirus" di pojok kanan atas. Istilah kata "coronavirus" lebih sering, atau sekitar sekitar 12.540.000.000 (0,56 detik). Akan tetapi, kata ini masih kalah dengan akronim "COVID-19" tercatat pada waktu yang sama sebanyak sekitar 12.610.000.000 hasil (0,59 detik).

Setiap waktu search engine Google menampilkan angka yang berbeda dari beragam penulisan nama virus yang melanda 201 negara, termasuk Indonesia.

Jika mencari lema "korona" di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/korona), istilah ini sudah ada. Namun, artinya berbeda, atau tercatat ada empat makna, yakni:
1. lingkaran atau cincin cahaya yang tampak di sekeliling benda langit, terjadi karena penyebaran cahaya dari materi partikulat tersuspensi atau debu;
2. lingkaran sinar yang mengelilingi matahari; bagian terluar atmosfer matahari;
3. mahkota;
4. struktur seperti mahkota.

Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan ke depan masuk dalam KBBI Daring sehingga ada istilah baku terkait dengan virus corona, seperti virus flu burung (virus yang menyerang unggas dan makhluk hidup yang lain); virus mosaik (virus yang menginfeksi daun tembakau); dan virus utuh (virus secara keseluruhan).

Begitu pula, penulisan akronim Covid-19 juga bervariasi. Ada yang menulis "Covid-19", sebagaimana rilis dari Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ada pula yang menggunakan huruf kapital semua, sebagaimana termaktub dalam Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019 (COVID-19).

Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 ini diketuai Letjen TNI Doni Monardo yang notabene Kepala BNPB.

Sebetulnya dalam Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa (PUEBI), ada aturan tata cara penulis singkatan dan akronim. Jika mengacu pada PUEBI, penulisan akronimnya: Covid-19.

Karena berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal kapital atau huruf "c" saja yang besar. Namun, pada kenyataannya peraturan perundang-undangan menulisnya dengan menggunakan huruf besar semua (COVID-19).

Ini baru dari sisi peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan singkatan dan akronim bahasa Indonesia (yang merupakan bagian dari kebenaran versi Pemerintah). Belum menyentuh kebenaran: agama; norma; dan hati nurani.

Setelah Keppres No. 7/2020, Pemerintah juga menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait dengan pandemi Covid-19.

Pada tanggal 31 Maret 2020, setidaknya ada tiga peraturan perundang-undangan, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Pemerintah pada hari Selasa (31/3) juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Pada hari yang sama, lahir pula produk peraturan perundang-undangan berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Jumatan

Sebelumnya, pada hari Senin (16/3), Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19. Salah satu yang mengemuka adalah salat Jumat dapat diganti dengan salat Zuhur. Karena salat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang, berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.

Hal yang menjadi pertimbangan fatwa itu, yakni COVID-19 telah tersebar ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia, WHO telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi, dan perlu langkah-langkah keagamaan untuk pencegahan dan penanggulangan COVID-19 agar tidak meluas. Fatwa ini juga disertai firman Allah Swt. dan Hadis Rasulullah saw.

Dalam fatwa itu, ada tiga rekomendasi, yaitu:

1. Pemerintah wajib melakukan pembatasan superketat terhadap keluar dan masuknya orang dan barang ke dan dari Indonesia, kecuali petugas medis dan barang kebutuhan pokok serta keperluan emergency.

2. Umat Islam wajib mendukung dan menaati kebijakan pemerintah yang melakukan isolasi dan pengobatan terhadap orang yang terpapar COVID-19 agar penyebaran virus tersebut dapat dicegah.

3.Masyarakat hendaknya proporsional dalam menyikapi orang yang suspect atau terpapar COVID-19. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan bisa menerima kembali orang yang dinyatakan negatif dan/atau dinyatakan sudah sembuh ke tengah masyarakat serta tidak memperlakukannya secara buruk.

Poin terakhir ini tampaknya perlu kearifan ketika ada tetangga yang masuk kategori orang dalam pemantauan (ODP) maupun pasien dalam pengawasan (PDP) terkait dengan COVID-19. Jangan sampai mereka yang sudah dinyatakan sembuh merasa dikucilkan di lingkungannya.

Sebaiknya, masyarakat menjaga diri dengan membiasakan cuci tangan memakai sabun, tidak memegang wajah (hidung, mulut, mata) ketika tangan tidak bersih, selalu jaga jarak dengan orang lain minimal 1 meter ketika berada di tempat keramaian, menggunakan masker jika flu atau menutup dengan lengan bagian dalam saat bersin dan batuk, dan tetap berada di rumah atau hanya keluar jika sangat diperlukan.

Budaya Kerja

Upaya mencegah penularan virus ini secara langsung menyentuh pula norma (aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat), bahkan di lingkungan tempat kerja.

Muncul kebijakan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) bagi aparatur sipil negara (ASN), karyawan sejumlah BUMN, maupun pekerja di sejumlah perusahaan swasta pada masa pandemi Covid-19.

Virus corona ini tampaknya mampu mengubah budaya kerja. Mereka bisa bekerja di mana pun berada sepanjang ada jaringan internet. Akan tetapi, tidak semua jenis pekerjaan bisa dilakukan di luar kantor/perusahaan.

Dengan teknologi informasi yang makin pesat kemajuannya, sejumlah instansi/perusahaan tetap eksis di tengah pandemi COVID-19. Tidak bisa dibayangkan bila virus ini melanda Indonesia sebelum 1990-an.

Terkait dengan profesi jurnalis, misalnya, komputerisasi mulai merambah media massa sekitar 1986 meski kala itu belum semua wartawan/reporter surat kabar/tabloid/majalah maupun media media elektronik menggunakan komputer sebagai alat kerja.

Kehadiran teknologi ini telah mengubah pola kerja di dunia kewartawanan. Kini, di mana pun berada kalangan jurnalis bisa bekerja dengan ponselnya sepanjang ada jaringan internetnya. Mereka tetap bisa menyebarluaskan informasi, termasuk Covid-19, kepada masyarakat.

Virus corona ini tidak hanya mengubah budaya kerja sejumlah profesi, termasuk wartawan, tetapi juga menyentuh kebiasaan sebagian masyarakat setelah akad nikah menggelar pesta perkawinan. Pada resepsi ini tentu mengundang banyak orang yang berpotensi terjadinya penularan virus corona secara massal.

Tidak pelak lagi, aparat kepolisian membubarkan pesta pernikahan di sejumlah tempat, seperti di Kabupaten Nagan Raya (Provinsi Aceh), Kabupaten Bone (Sulawesi Selatan), Kota Jambi, Kabupaten Bogor (Jawa Barat), Kota Palangka Raya (Kalimantan Tengah), dan Kabupaten Kudus (Jawa Tengah).

Apa yang dilakukan polisi itu tidak lain untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan Maklumat Kapolri Nomor: Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (COVID-19). Polri senantiasa mengacu asas keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto).

Dalam maklumat yang ditandatangani Kapolri Jenderal Pol. Idham Azis pada tanggal 19 Maret 2020, disebutkan sejumlah kegiatan sosial kemasyarakatan yang tidak boleh diadakan, yakni pertemuan sosial, budaya, keagamaan, dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, sarasehan, dan kegiatan lainnya yang sejenis.

Berikutnya, kegiatan konser musik, pekan raya, festival, bazar, pasar malam, pameran, dan resepsi keluarga; kegiatan olahraga, kesenian, dan jasa hiburan; unjuk rasa, pawai, dan karnaval; dan kegiatan lainnya yang menjadikan berkumpulnya massa.

Disebutkan pula dalam Maklumat Kapolri bahwa apabila dalam keadaan mendesak dan tidak dapat dihindari, kegiatan yang melibatkan banyak orang dilaksanakan dengan tetap menjaga jarak dan wajib mengikuti prosedur pemerintah terkait dengan pencegahan penyebaran Covid-19.

Tiga versi kebenaran: agama (Fatwa MUI), pemerintah (termasuk di dalamnya Maklumat Kapolri), dan norma sosial (aturan yang menata tindakan manusia dalam pergaulan dengan sesamanya) inilah yang akan berpengaruh pada hati nurani setiap anak bangsa.

Di lubuk hati yang paling dalam, kemungkinan besar anak bangsa tidak tega melihat penderitaan sesama. Oleh karena itu, jika masih punya nasionalisme tinggi, semua anak bangsa hendaknya memerangi virus corona dengan mematuhi anjuran pemerintah, seperti jaga jarak, berdiam diri di rumah, serta menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan masing-masing.

Apalagi, data BNPB pada hari Jumat (3/4) pukul 12.00 WIB menyebutkan virus sudah menyebar ke 32 provinsi dengan jumlah terpapar sebanyak 1.986 orang positif, 134 orang sembuh, dan 181 orang meninggal dunia.

Mari disetop bersama. Jangan sampai virus corona ini mengusik rasa aman masyarakat Indonesia selamanya. Jangan sampai Covid-19 menghancurkan segala lini: politik, ekonomi, dan sosial budaya bangsa ini.