Artikel
Seruan perlindungan alam di tengah krisis COVID-19
Oleh Virna P Setyorini
3 April 2020 23:07 WIB
Pemadam kebakaran berupaya memadamkan kebakaran hutan yang bermula dekat Xichang di Perfektur Otonomi Liangshan Yi, provinsi Sichuan, China, Selasa (31/3/2020). ANTARA FOTO/China Daily via REUTERS/hp/djo
Jakarta (ANTARA) - Beberapa hari terakhir warga dunia yang masih berjuang melawan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dikejutkan dengan berita beroperasinya kembali pasar grosir makanan laut Huanan di Distrik Jianghan, Wuhan, Provinsi Hubei, China, yang diduga menjadi sumber penyebaran virus corona tipe baru penyebab pandemi ini.
Seperti tidak jera, pasar yang sempat ditutup pada 1 Januari 2020 setelah Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengumumkan wabah pneumonia di Wuhan pada 31 Desember 2019, kini geliat perdagangan hewan dan makanan laut hidup itu dimulai lagi.
Kota Wuhan pun masih berstatus lockdown, rencananya baru akan dibuka pada 8 April mendatang. Bahkan, kini pemerintah Negeri Tirai Bambu juga menerapkan karantina wilayah yang sama pada Jia yang terletak di Provinsi Henan, setelah ditemukan kasus COVID-19 baru di kota tersebut.
Baca juga: Deforestasi berperan dalam peningkatan zoonosis
Kamis (2/4), Menteri Urusan Lingkungan Hidup Jerman Svenja Schulze menyampaikan pesan pada Platform Kebijakan-Ilmu Antar-Pemerintah tentang Layanan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (IPBES), bahwa risiko wabah penyakit, termasuk pandemi meningkat semakin banyak saat alam dihancurkan.
Konservasi alam yang dilakukan di banyak wilayah di dunia merupakan kunci untuk mencegah penyakit menular baru, ujar Schulze di hadapan para ilmuwan terkenal.
Rute transmisi yang sebenarnya dari virus corona baru dari hewan ke manusia belum diteliti secara meyakinkan. Namun telah didokumentasikan dengan baik bahwa sekitar 70 persen dari patogen manusia berasal dari fauna, termasuk HIV, ebola, influenza, MERS dan SARS.
Risiko penularan sangat tinggi di pasar satwa liar di mana orang-orang datang bersama-sama dengan spesies yang berbeda dalam ruang terbatas dan di mana hewan disimpan dalam kondisi kebersihan yang tidak dapat diterima.
Baca juga: Amankan potensi kehati, LIPI siapkan peta zoonosis di Indonesia
Dalam pandangan para ilmuwan, ada risiko yang bahkan lebih mendasar dari penularan hewan ke manusia ketika ekosistem dibiarkan tidak seimbang karena intervensi manusia, ujar Schulze.
"Sekarang adalah waktu untuk mengatasi krisis akut. Tetapi akan ada waktu setelah pandemi. Pada saat itu, kita harus memahami penyebab krisis ini sehingga kita dapat mencegah masa depan dengan lebih baik,” katanya.
“Ilmu pengetahuan memberi tahu kita bahwa perusakan ekosistem membuat wabah penyakit dan pandemi lebih mungkin terjadi. Ini menunjukkan bahwa perusakan alam adalah krisis di balik krisis corona,” lanjutnya.
Sebaliknya, kebijakan perlindungan lingkungan yang baik yang melindungi beragam ekosistem adalah tindakan pencegahan penting terhadap munculnya penyakit baru.
“Saya akan sangat menghargainya jika Dewan Keanekaragaman Hayati Dunia mengumpulkan tingkat pengetahuan global tentang pertanyaan-pertanyaan ini, memprosesnya dan menjadikannya tersedia bagi politik di seluruh dunia,” ujar Schulze.
Setelah pandemi, komunitas global memiliki kesempatan untuk mengadopsi strategi keanekaragaman hayati global baru, dan untuk menunjukkan bahwa dunia telah belajar dari pandemi masa lalu.
Baca juga: Ilmuwan IPBES: sejuta spesies flora dan fauna terancam punah
Kata ahli
Dr. Sandra Junglen, kepala kelompok kerja Ecology of Novel Arboviruses di Institute for Virology, Charité Universitätsmedizin Berlin mengatakan munculnya berbagai penyakit dapat dijelaskan dengan perambahan manusia ke alam yang sebelumnya tidak pernah tersentuh.
Penggunaan lahan secara intensif, penyebaran monokultur atau penggundulan hutan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan mengubah komposisi populasi mamalia.
Berkurangnya keanekaragaman hayati berarti lebih banyak hewan dari satu spesies di habitat yang sama. Jika ekosistem menjadi tidak seimbang dengan cara ini, penyakit menular dapat menyebar dengan lebih mudah.
“Keanekaragaman hayati dan ekosistem yang berfungsi dapat melindungi manusia dari penyebaran penyakit menular,” ujar Junglen.
Sementara itu, Profesor Josef Settele dari Pusat Penelitian Lingkungan Helmholtz (UFZ), selaku ketua bersama Laporan Global IPBES, mengatakan meskipun masih ada pertanyaan tersisa, namun sains di seluruh dunia sudah menjelaskan bahwa pelestarian ekosistem utuh dan keanekaragaman hayati khasnya, umumnya dapat mengurangi risiko kejadian penyakit menular.
“Kita manusia bergantung pada fungsi, ekosistem yang beragam. Dengan perusakan ekosistem, kita juga menghancurkan penghidupan kita, seperti yang ditunjukkan oleh epidemi corona. Itulah sebabnya kita harus bekerja sama untuk perubahan transformatif dalam masyarakat kita untuk melindungi mata penghidupan kita,” ujar dia.
Elemen-elemen kunci dari perubahan semacam itu disorot dalam laporan global oleh World Biodiversity Council. “Ini tidak lain adalah reorganisasi mendasar yang menyeluruh sistem di seluruh faktor teknologi, ekonomi dan sosial, termasuk paradigma, tujuan, dan nilai,” kata Settele.
Baca juga: IPBES sebut perubahan lingkungan di wilayah adat lebih kecil
Sumber obat hilang
Ada alasan lain mengapa ekosistem harus tetap terjaga, hutan tetap lestari, keanekaragaman hayati tetap dipertahankan. Karena di sana pula sumber calon-calon obat dari penyakit-penyakit baru yang mungkin dapat mewabah di masa depan.
Peneliti Centre for Drug Discovery and Development di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fauzia Nurul Izzati kepada ANTARA mengatakan sekarang tren kesehatan pun back to nature.
Baca juga: Pakar : Konservasi Alam Perlindungan Terhadap Ekosistem
“Saya rasa pas banget dengan apa yang kita lakukan saat ini. Namanya juga dari alam, biasa kita konsumsi dari dulu sampai sekarang, maka efek tidak baiknya jauh lebih sedikit dari obat konvensional,” kata Fauzia menjelaskan tren obat-obatan dan fitofarmaka yang sedang dikembangkan saat ini.
Itu pula yang terjadi pada jahe merah. Siapa sangka tanaman yang awalnya berasal dari hutan di Benua Afrika tersebut dimanfaatkan oleh dokter-dokter di China untuk meningkatkan sistem imun tubuh pasien-pasien COVID-19 di negara itu.
Manfaatnya banyak, kata Fauzia. Zat yang terkandung dalam jahe merah, selain bisa untuk mengobati hipertensi juga punya aktivitas imunomodulator, memiliki antioksidan tinggi dan antiinflamasi sehingga dapat digunakan membantu melawan corona.
Baca juga: Hutan harapan jadi pusat riset internasional
Potensi-potensi obat dari keanekaragaman hayati di hutan-hutan Indonesia pun sangat besar mengingat statusnya sebagai Mega Biodiversity. Namun, jelas keberadaannya sangat terancam dengan aktivitas masif manusia yang semakin merangsek ke pedalaman hutan.
Koordinator peneliti pada Centre for Drug Discovery and Development di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Masteria Yonavilsa Putra mengatakan sulit baginya menjawab bagaimana cara melindungi sumber-sumber obat masa depan di keanekaragaman hayati hutan-hutan Indonesia. Bertahan atau lenyap di tengah deforestasi dan alih fungsi menjadi kebun-kebun monokultur.
Menurut dia, sangat perlu kesadaran masyarakat, kesadaran industri, dan di sana perannya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melindungi hutan. Selain sebagai paru-paru dunia, hutan banyak menyimpan kemungkinan tanaman-tanaman obat yang belum sempat tereksplorasi.
Baca juga: Kepala LIPI sebut keterlibatan swasta cara cepat hasilkan fitofarmaka
Bagaimanapun dunia masih sakit. Bahkan China, tempat di mana virus tersebut pertama menyebar kembali mengantisipasi gelombang kedua serangan virus corona baru yang menjadi pandemi di penjuru dunia.
WHO mencatat angka kematian baru tertinggi karena terinfeksi SARS-CoV-2 terjadi di Amerika Serikat mencapai 996 jiwa hanya pada 2 April. Dan di hari yang sama jumlah kasus COVID-19 baru menjangkit 24.103 jiwa.
Sementara di Eropa, angka kematian tertinggi pada 2 April 2019 terjadi di Spanyol yang mencapai angka 864 jiwa, dengan angka kasus baru mencapai 7.719 jiwa.
Hilangnya banyak nyawa seharusnya menjadi pesan kuat bagi manusia untuk tidak terjatuh pada lubang yang sama. Bahwa keseimbangan alam menjadi jaminan keberlangsungan masa depan.
Baca juga: LIPI terkendala hasilkan fitofarmaka, ini sebabnya
Seperti tidak jera, pasar yang sempat ditutup pada 1 Januari 2020 setelah Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengumumkan wabah pneumonia di Wuhan pada 31 Desember 2019, kini geliat perdagangan hewan dan makanan laut hidup itu dimulai lagi.
Kota Wuhan pun masih berstatus lockdown, rencananya baru akan dibuka pada 8 April mendatang. Bahkan, kini pemerintah Negeri Tirai Bambu juga menerapkan karantina wilayah yang sama pada Jia yang terletak di Provinsi Henan, setelah ditemukan kasus COVID-19 baru di kota tersebut.
Baca juga: Deforestasi berperan dalam peningkatan zoonosis
Kamis (2/4), Menteri Urusan Lingkungan Hidup Jerman Svenja Schulze menyampaikan pesan pada Platform Kebijakan-Ilmu Antar-Pemerintah tentang Layanan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (IPBES), bahwa risiko wabah penyakit, termasuk pandemi meningkat semakin banyak saat alam dihancurkan.
Konservasi alam yang dilakukan di banyak wilayah di dunia merupakan kunci untuk mencegah penyakit menular baru, ujar Schulze di hadapan para ilmuwan terkenal.
Rute transmisi yang sebenarnya dari virus corona baru dari hewan ke manusia belum diteliti secara meyakinkan. Namun telah didokumentasikan dengan baik bahwa sekitar 70 persen dari patogen manusia berasal dari fauna, termasuk HIV, ebola, influenza, MERS dan SARS.
Risiko penularan sangat tinggi di pasar satwa liar di mana orang-orang datang bersama-sama dengan spesies yang berbeda dalam ruang terbatas dan di mana hewan disimpan dalam kondisi kebersihan yang tidak dapat diterima.
Baca juga: Amankan potensi kehati, LIPI siapkan peta zoonosis di Indonesia
Dalam pandangan para ilmuwan, ada risiko yang bahkan lebih mendasar dari penularan hewan ke manusia ketika ekosistem dibiarkan tidak seimbang karena intervensi manusia, ujar Schulze.
"Sekarang adalah waktu untuk mengatasi krisis akut. Tetapi akan ada waktu setelah pandemi. Pada saat itu, kita harus memahami penyebab krisis ini sehingga kita dapat mencegah masa depan dengan lebih baik,” katanya.
“Ilmu pengetahuan memberi tahu kita bahwa perusakan ekosistem membuat wabah penyakit dan pandemi lebih mungkin terjadi. Ini menunjukkan bahwa perusakan alam adalah krisis di balik krisis corona,” lanjutnya.
Sebaliknya, kebijakan perlindungan lingkungan yang baik yang melindungi beragam ekosistem adalah tindakan pencegahan penting terhadap munculnya penyakit baru.
“Saya akan sangat menghargainya jika Dewan Keanekaragaman Hayati Dunia mengumpulkan tingkat pengetahuan global tentang pertanyaan-pertanyaan ini, memprosesnya dan menjadikannya tersedia bagi politik di seluruh dunia,” ujar Schulze.
Setelah pandemi, komunitas global memiliki kesempatan untuk mengadopsi strategi keanekaragaman hayati global baru, dan untuk menunjukkan bahwa dunia telah belajar dari pandemi masa lalu.
Baca juga: Ilmuwan IPBES: sejuta spesies flora dan fauna terancam punah
Kata ahli
Dr. Sandra Junglen, kepala kelompok kerja Ecology of Novel Arboviruses di Institute for Virology, Charité Universitätsmedizin Berlin mengatakan munculnya berbagai penyakit dapat dijelaskan dengan perambahan manusia ke alam yang sebelumnya tidak pernah tersentuh.
Penggunaan lahan secara intensif, penyebaran monokultur atau penggundulan hutan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan mengubah komposisi populasi mamalia.
Berkurangnya keanekaragaman hayati berarti lebih banyak hewan dari satu spesies di habitat yang sama. Jika ekosistem menjadi tidak seimbang dengan cara ini, penyakit menular dapat menyebar dengan lebih mudah.
“Keanekaragaman hayati dan ekosistem yang berfungsi dapat melindungi manusia dari penyebaran penyakit menular,” ujar Junglen.
Sementara itu, Profesor Josef Settele dari Pusat Penelitian Lingkungan Helmholtz (UFZ), selaku ketua bersama Laporan Global IPBES, mengatakan meskipun masih ada pertanyaan tersisa, namun sains di seluruh dunia sudah menjelaskan bahwa pelestarian ekosistem utuh dan keanekaragaman hayati khasnya, umumnya dapat mengurangi risiko kejadian penyakit menular.
“Kita manusia bergantung pada fungsi, ekosistem yang beragam. Dengan perusakan ekosistem, kita juga menghancurkan penghidupan kita, seperti yang ditunjukkan oleh epidemi corona. Itulah sebabnya kita harus bekerja sama untuk perubahan transformatif dalam masyarakat kita untuk melindungi mata penghidupan kita,” ujar dia.
Elemen-elemen kunci dari perubahan semacam itu disorot dalam laporan global oleh World Biodiversity Council. “Ini tidak lain adalah reorganisasi mendasar yang menyeluruh sistem di seluruh faktor teknologi, ekonomi dan sosial, termasuk paradigma, tujuan, dan nilai,” kata Settele.
Baca juga: IPBES sebut perubahan lingkungan di wilayah adat lebih kecil
Sumber obat hilang
Ada alasan lain mengapa ekosistem harus tetap terjaga, hutan tetap lestari, keanekaragaman hayati tetap dipertahankan. Karena di sana pula sumber calon-calon obat dari penyakit-penyakit baru yang mungkin dapat mewabah di masa depan.
Peneliti Centre for Drug Discovery and Development di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fauzia Nurul Izzati kepada ANTARA mengatakan sekarang tren kesehatan pun back to nature.
Baca juga: Pakar : Konservasi Alam Perlindungan Terhadap Ekosistem
“Saya rasa pas banget dengan apa yang kita lakukan saat ini. Namanya juga dari alam, biasa kita konsumsi dari dulu sampai sekarang, maka efek tidak baiknya jauh lebih sedikit dari obat konvensional,” kata Fauzia menjelaskan tren obat-obatan dan fitofarmaka yang sedang dikembangkan saat ini.
Itu pula yang terjadi pada jahe merah. Siapa sangka tanaman yang awalnya berasal dari hutan di Benua Afrika tersebut dimanfaatkan oleh dokter-dokter di China untuk meningkatkan sistem imun tubuh pasien-pasien COVID-19 di negara itu.
Manfaatnya banyak, kata Fauzia. Zat yang terkandung dalam jahe merah, selain bisa untuk mengobati hipertensi juga punya aktivitas imunomodulator, memiliki antioksidan tinggi dan antiinflamasi sehingga dapat digunakan membantu melawan corona.
Baca juga: Hutan harapan jadi pusat riset internasional
Potensi-potensi obat dari keanekaragaman hayati di hutan-hutan Indonesia pun sangat besar mengingat statusnya sebagai Mega Biodiversity. Namun, jelas keberadaannya sangat terancam dengan aktivitas masif manusia yang semakin merangsek ke pedalaman hutan.
Koordinator peneliti pada Centre for Drug Discovery and Development di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Masteria Yonavilsa Putra mengatakan sulit baginya menjawab bagaimana cara melindungi sumber-sumber obat masa depan di keanekaragaman hayati hutan-hutan Indonesia. Bertahan atau lenyap di tengah deforestasi dan alih fungsi menjadi kebun-kebun monokultur.
Menurut dia, sangat perlu kesadaran masyarakat, kesadaran industri, dan di sana perannya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melindungi hutan. Selain sebagai paru-paru dunia, hutan banyak menyimpan kemungkinan tanaman-tanaman obat yang belum sempat tereksplorasi.
Baca juga: Kepala LIPI sebut keterlibatan swasta cara cepat hasilkan fitofarmaka
Bagaimanapun dunia masih sakit. Bahkan China, tempat di mana virus tersebut pertama menyebar kembali mengantisipasi gelombang kedua serangan virus corona baru yang menjadi pandemi di penjuru dunia.
WHO mencatat angka kematian baru tertinggi karena terinfeksi SARS-CoV-2 terjadi di Amerika Serikat mencapai 996 jiwa hanya pada 2 April. Dan di hari yang sama jumlah kasus COVID-19 baru menjangkit 24.103 jiwa.
Sementara di Eropa, angka kematian tertinggi pada 2 April 2019 terjadi di Spanyol yang mencapai angka 864 jiwa, dengan angka kasus baru mencapai 7.719 jiwa.
Hilangnya banyak nyawa seharusnya menjadi pesan kuat bagi manusia untuk tidak terjatuh pada lubang yang sama. Bahwa keseimbangan alam menjadi jaminan keberlangsungan masa depan.
Baca juga: LIPI terkendala hasilkan fitofarmaka, ini sebabnya
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: