WHO: Peluang membendung virus corona di Timur Tengah pudar
3 April 2020 14:27 WIB
Sejumlah petugas kesehatan menyemprotkan desinfektan ke tangan beberapa anak selama kampanye kesadaran melawan COVID-19 di Sanaa, Yaman, Minggu (22/3/2020). Pemerintah Yaman mulai melakukan kampanye dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana melindungi diri dari coronavirus baru. ANTARA/Xinhua/Mohammed Mohammed/aa.
Kairo (ANTARA) - Pemerintah negara-negara di Timur Tengah perlu bertindak cepat untuk menghentikan penyebaran virus corona setelah kasus itu naik menjadi hampir 60.000, hampir dua kali lipat dari seminggu sebelumnya, kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kamis (2/4).
"Kasus baru telah dilaporkan di beberapa negara paling rentan dan memiliki sistem kesehatan yang rapuh," kata Ahmed Al-Mandhari, direktur WHO untuk wilayah Mediterania Timur.
Wilayah tugas Ahmed meliputi Pakistan, Afghanistan, Somalia dan Djibouti, juga negara-negara Timur Tengah.
"Bahkan di negara-negara dengan sistem kesehatan yang lebih kuat, kita telah melihat lonjakan yang mengkhawatirkan terkait jumlah kasus dan kematian yang dilaporkan," katanya dalam sebuah pernyataan.
Kecuali Iran yang telah melaporkan lebih dari 50.000 kasus, jumlah orang yang mengidap virus corona di Timur Tengah relatif rendah dibandingkan dengan Eropa, Amerika Serikat dan Asia.
Tetapi, para pejabat kesehatan khawatir bahwa kasus-kasus penyakit pernapasan akibat virus yang sangat menular itu tidak banyak dilaporkan.
Para pejabat juga khawatir bahwa banyak negara, dengan pemerintahan yang lemah serta sistem kesehatan yang rusak karena konflik, akan kewalahan mengatasi penyebaran wabah tersebut.
"Saya memperingatkan dengan sangat serius betapa darurat keadaan ini," kata Mandhari. "Peningkatan jumlah kasus menunjukkan bahwa penularan terjadi dengan cepat di tingkat lokal dan masyarakat."
"Kita masih punya peluang, tetapi peluang ini tertutup hari demi hari," ia menambahkan.
WHO mengatakan jumlah kasus corona di kawasan itu telah meningkat menjadi 58.168 dari 32.442 pada tanggal 26 Maret, yaitu ketika kasus COVID-19 secara global melampaui angka satu juta.
Salah satu negara yang paling parah terkena dampak konflik adalah Yaman. Untuk negara itu, Bank Dunia mengatakan pada Kamis bahwa pihaknya akan menyediakan dana darurat senilai 26,9 juta dolar AS (sekitar Rp444 miliar) guna membantu WHO serta otoritas lokal meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi, menampung dan merawat para pasien virus corona.
Yaman belum melaporkan satu pun kasus virus corona. Tapi, negara itu terutama dianggap sangat rentan karena konflik lima tahun telah membawa sistem kesehatannya ke jurang kehancuran.
Yaman sudah terlebih dahulu bergelut dengan krisis yang tumpang tindih menyangkut penyakit menular, termasuk kolera, difteri dan demam berdarah. Selain itu, warga dalam jumlah besar terlantar akibat perang.
Sekitar 24 juta dari 29 juta penduduk di negara itu membutuhkan bantuan kemanusiaan. Tidak ada dokter di 18% distrik negara itu, sebagian besar petugas layanan kesehatan belum dibayar setidaknya selama dua tahun, dan alat uji COVID-19 tersedia hanya untuk 600 orang, menurut Bank Dunia.
Sumber: Reuters
Baca juga: Pasien positif di RS Darurat Wisma Atlet bertambah jadi 165 orang
Baca juga: Polri dukung Pemerintah soal PSBB
"Kasus baru telah dilaporkan di beberapa negara paling rentan dan memiliki sistem kesehatan yang rapuh," kata Ahmed Al-Mandhari, direktur WHO untuk wilayah Mediterania Timur.
Wilayah tugas Ahmed meliputi Pakistan, Afghanistan, Somalia dan Djibouti, juga negara-negara Timur Tengah.
"Bahkan di negara-negara dengan sistem kesehatan yang lebih kuat, kita telah melihat lonjakan yang mengkhawatirkan terkait jumlah kasus dan kematian yang dilaporkan," katanya dalam sebuah pernyataan.
Kecuali Iran yang telah melaporkan lebih dari 50.000 kasus, jumlah orang yang mengidap virus corona di Timur Tengah relatif rendah dibandingkan dengan Eropa, Amerika Serikat dan Asia.
Tetapi, para pejabat kesehatan khawatir bahwa kasus-kasus penyakit pernapasan akibat virus yang sangat menular itu tidak banyak dilaporkan.
Para pejabat juga khawatir bahwa banyak negara, dengan pemerintahan yang lemah serta sistem kesehatan yang rusak karena konflik, akan kewalahan mengatasi penyebaran wabah tersebut.
"Saya memperingatkan dengan sangat serius betapa darurat keadaan ini," kata Mandhari. "Peningkatan jumlah kasus menunjukkan bahwa penularan terjadi dengan cepat di tingkat lokal dan masyarakat."
"Kita masih punya peluang, tetapi peluang ini tertutup hari demi hari," ia menambahkan.
WHO mengatakan jumlah kasus corona di kawasan itu telah meningkat menjadi 58.168 dari 32.442 pada tanggal 26 Maret, yaitu ketika kasus COVID-19 secara global melampaui angka satu juta.
Salah satu negara yang paling parah terkena dampak konflik adalah Yaman. Untuk negara itu, Bank Dunia mengatakan pada Kamis bahwa pihaknya akan menyediakan dana darurat senilai 26,9 juta dolar AS (sekitar Rp444 miliar) guna membantu WHO serta otoritas lokal meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi, menampung dan merawat para pasien virus corona.
Yaman belum melaporkan satu pun kasus virus corona. Tapi, negara itu terutama dianggap sangat rentan karena konflik lima tahun telah membawa sistem kesehatannya ke jurang kehancuran.
Yaman sudah terlebih dahulu bergelut dengan krisis yang tumpang tindih menyangkut penyakit menular, termasuk kolera, difteri dan demam berdarah. Selain itu, warga dalam jumlah besar terlantar akibat perang.
Sekitar 24 juta dari 29 juta penduduk di negara itu membutuhkan bantuan kemanusiaan. Tidak ada dokter di 18% distrik negara itu, sebagian besar petugas layanan kesehatan belum dibayar setidaknya selama dua tahun, dan alat uji COVID-19 tersedia hanya untuk 600 orang, menurut Bank Dunia.
Sumber: Reuters
Baca juga: Pasien positif di RS Darurat Wisma Atlet bertambah jadi 165 orang
Baca juga: Polri dukung Pemerintah soal PSBB
Penerjemah: Tia Mutiasari
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020
Tags: