Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta termasuk dalam ketentuan fatwa MUI mengatakan DKI Jakarta merupakan kawasan yang masuk ketentuan penyebaran COVID-19 yang sangat tinggi sehingga umat Islam di zona tersebut boleh tidak Jumatan dan menggantinya dengan shalat dhuhur.

Zainut kepada wartawan di Jakarta, Jumat, mengatakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperpanjang masa status tanggap darurat COVID-19, dari semula 23 Maret-5 April menjadi sampai 19 April 2020. Perpanjangan dilakukan melihat penyebaran virus SARS-CoV-2 di ibu kota yang meningkat tajam.

"Artinya untuk kawasan DKI Jakarta termasuk dalam ketentuan fatwa MUI jika di suatu kawasan penyebaran COVID-19 tinggi atau sangat tinggi, maka boleh tidak shalat Jumat dan diganti dengan shalat dhuhur," kata dia.

Dia menyebut Komisi Fatwa MUI mengeluarkan tiga kategori status shalat Jumat di masa wabah COVID-19. Pertama, ketika di suatu kawasan tingkat penyebaran COVID-19 terkendali, maka umat Islam wajib melaksanakan shalat Jumat.

Baca juga: Din Syamsuddin: COVID-19 itu memindahkan masjid ke rumah

Kedua, kata dia, jika di suatu kawasan penyebaran COVID-19 tidak terkendali bahkan mengancam jiwa, maka umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat dhuhur.

Ketiga, lanjut dia, apabila di suatu kawasan yang potensi penyebarannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan oleh pihak yang berwenang, umat Islam boleh tidak menyelenggarakan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat dhuhur.

Zainut mengatakan DKI Jakarta masuk dalam kriteria ketiga, yaitu daerah dengan ancaman tinggi dari COVID-19 dan ada penetapan pihak berwenang mengenai status penyebaran virus SARS-CoV-2.

Sementara itu, dia mengatakan Komisi Fatwa MUI menyatakan boleh hukumnya tidak shalat Jumat tiga kali beruntun karena suatu daerah rawan wabah COVID-19 yang mudah menular dalam kerumunan.

Meninggalkan Jumatan dan menggantinya dengan shalat Dhuhur, kata dia, dilakukan ketika ada udzur seperti sakit, safar (perjalanan) atau udzur lainnya misalnya adanya ancaman bahaya terhadap keselamatan jiwa seperti wabah corona.

Waketum MUI mengatakan banyak perbedaan pendapat dalam memahami hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Thabrani dengan bunyi "Siapa yang mendengar adzan Jumatan tiga kali, kemudian dia tidak menghadirinya maka dicatat sebagai orang munafik."

"Ancaman hadits tersebut berlaku bagi orang yang meninggalkan Jumatan tanpa udzur. Sedangkan orang yang memiliki udzur tidak melaksanakan shalat Jumat... maka dia tidak masuk dalam kategori yang disebutkan dalam hadits tersebut," kata dia.

Baca juga: Wantim MUI terkait COVID-19: Setiap jiwa sangat berarti