Sri Mulyani tegaskan butuh kebijakan luar biasa atasi dampak COVID-19
1 April 2020 13:57 WIB
Presiden Joko Widodo bersama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti KTT Luar Biasa G20 secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (26/3/2020) malam. ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr/aa.
Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan wabah virus corona atau COVID-19 merupakan kejadian yang tidak biasa sehingga dibutuhkan kebijakan luar biasa dalam menghadapi dan mengatasi dampaknya.
“Ini inkonvensional, nonkonvensional, dan unorthodox yang artinya tidak bisa disebut biasa lagi. Situasi ini adalah extraordinary atau di luar suasana biasa sehingga membutuhkan action dan policy yang extraordinary,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Sri Mulyani menyatakan berbagai negara telah mengeluarkan langkah-langkah inkonvensional dengan menyinergikan antara kebijakan fiskal, moneter, dan relaksasi di sektor keuangan dalam rangka merespons wabah tersebut.
Ia mencontohkan Australia memberikan jaminan pendapatan kepada seluruh warganya dengan nilai minimal 1.500 dolar Australia per orang sehingga membutuhkan hingga 130 miliar dolar Australia.
“Pemerintah memberikan minimum income support kepada seluruh orang Australia yang harus didaftarkan dan itu termasuk dalam paket 9,7 persen terhadap Gross Domestic Product (GDP) nya Austalia,” ujarnya.
Sri Mulyani mengatakan hal itu dilakukan agar masyarakat Australia terutama kelompok bawah dan pekerja merasa tenang dalam menghadapi kebijakan larangan ke luar rumah.
Kemudian, Kanada juga turut mengeluarkan insentif fiskal sebesar 6 persen dari GDP, Perancis sebesar 2 persen dari GDP, dan Singapura yang menggelontorkan dana luar biasa dengan nilai paket mencapai hampir 11 persen dari GDP.
“Italia bahkan yang terkena tidak bisa melakukan cukup besar karena mereka constraint dari fiskalnya yang memang sudah sangat besar dan GDP dari Italia itu sudah sampai 100 persen,” jelasnya.
Tak hanya itu, Amerika Serikat turut mengeluarkan dana sebesar 2 triliun dolar AS atau 10,5 persen dari GDP serta akan menambah 2 triliun dolar AS khusus untuk pembangunan infrastruktur dalam rangka pemulihan.
Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) juga mendanai obligasi swasta atau corporate bond dan obligasi daerah atau municipal bond serta melakukan kerjasama swap line dengan lebih dari 160 negara di dunia.
“Ini menggambarkan bahwa krisis ini menyebabkan untuk negara berkembang tidak hanya terpengaruh dari sisi ekspor tetapi juga capital outflow dan di sektor keuangan,” tegasnya.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani mengatakan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang dipusatkan dalam tiga hal yaitu kesehatan, kondisi masyarakat atau social safety net, dan sektor keuangan.
“Pemerintah melakukan berbagai kebijakan inkonvensional di bidang fiskal yaitu meningkatkan anggaran untuk kesehatan sudah pasti karena fasilitas medis untuk menopang tenaga medis dan pembelian alat-alat kesehatan,” katanya.
Baca juga: G20 lahirkan "terobosan" kebijakan bantu masalah likuiditas dan kurs
Baca juga: Pemerintah koordinasikan realokasi anggaran daerah tangani COVID-19
Baca juga: Sri Mulyani sebut biaya pasien COVID-19 dari APBN dan APBD
“Ini inkonvensional, nonkonvensional, dan unorthodox yang artinya tidak bisa disebut biasa lagi. Situasi ini adalah extraordinary atau di luar suasana biasa sehingga membutuhkan action dan policy yang extraordinary,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Sri Mulyani menyatakan berbagai negara telah mengeluarkan langkah-langkah inkonvensional dengan menyinergikan antara kebijakan fiskal, moneter, dan relaksasi di sektor keuangan dalam rangka merespons wabah tersebut.
Ia mencontohkan Australia memberikan jaminan pendapatan kepada seluruh warganya dengan nilai minimal 1.500 dolar Australia per orang sehingga membutuhkan hingga 130 miliar dolar Australia.
“Pemerintah memberikan minimum income support kepada seluruh orang Australia yang harus didaftarkan dan itu termasuk dalam paket 9,7 persen terhadap Gross Domestic Product (GDP) nya Austalia,” ujarnya.
Sri Mulyani mengatakan hal itu dilakukan agar masyarakat Australia terutama kelompok bawah dan pekerja merasa tenang dalam menghadapi kebijakan larangan ke luar rumah.
Kemudian, Kanada juga turut mengeluarkan insentif fiskal sebesar 6 persen dari GDP, Perancis sebesar 2 persen dari GDP, dan Singapura yang menggelontorkan dana luar biasa dengan nilai paket mencapai hampir 11 persen dari GDP.
“Italia bahkan yang terkena tidak bisa melakukan cukup besar karena mereka constraint dari fiskalnya yang memang sudah sangat besar dan GDP dari Italia itu sudah sampai 100 persen,” jelasnya.
Tak hanya itu, Amerika Serikat turut mengeluarkan dana sebesar 2 triliun dolar AS atau 10,5 persen dari GDP serta akan menambah 2 triliun dolar AS khusus untuk pembangunan infrastruktur dalam rangka pemulihan.
Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) juga mendanai obligasi swasta atau corporate bond dan obligasi daerah atau municipal bond serta melakukan kerjasama swap line dengan lebih dari 160 negara di dunia.
“Ini menggambarkan bahwa krisis ini menyebabkan untuk negara berkembang tidak hanya terpengaruh dari sisi ekspor tetapi juga capital outflow dan di sektor keuangan,” tegasnya.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani mengatakan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang dipusatkan dalam tiga hal yaitu kesehatan, kondisi masyarakat atau social safety net, dan sektor keuangan.
“Pemerintah melakukan berbagai kebijakan inkonvensional di bidang fiskal yaitu meningkatkan anggaran untuk kesehatan sudah pasti karena fasilitas medis untuk menopang tenaga medis dan pembelian alat-alat kesehatan,” katanya.
Baca juga: G20 lahirkan "terobosan" kebijakan bantu masalah likuiditas dan kurs
Baca juga: Pemerintah koordinasikan realokasi anggaran daerah tangani COVID-19
Baca juga: Sri Mulyani sebut biaya pasien COVID-19 dari APBN dan APBD
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: