Kegiatan dibatasi, WHO ingatkan negara jamin martabat, kesejahteraan
31 Maret 2020 21:34 WIB
Arsip Foto - Direktur General World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus berbicara padai pertemuan Munich Security Conference di Jerman (15/2/2020). ANTARA/REUTERS/Andreas Gebert/aa. (REUTERS/ANDREAS GEBERT)
Jakarta (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan negara-negara dunia agar menjamin martabat dan kesejahteraan warganya saat menerapkan pembatasan aktivitas dan pergerakan demi menekan penyebaran SARS-CoV-2/COVID-19, demikian kata Direktur Jenderal WHO Tedros Ghebreyesus dalam sesi pengarahan harian di Jenewa, Swiss.
"Kami memahami banyak negara saat ini menerapkan kebijakan yang membatasi kegiatan dan pergerakan warga. Penting bagi negara-negara itu untuk menghormati martabat dan kesejahteraan warga. Penting bagi pemerintah untuk menyampaikan informasi periode waktu pembatasan tersebut, serta menyediakan jaminan hidup untuk warga lanjut usia, pengungsi, dan kelompok yang rentan," kata Ghebreyesus dalam pidatonya, Senin (30/3), sebagaimana dipantau dalam laman resmi WHO, Selasa.
Ia menjelaskan pemerintah negara-negara mitra wajib menjamin kesejahteraan warga yang kehilangan sumber pendapatannya selama pembatasan itu diterapkan.
"Pemerintah wajib menjamin kesejahteraan mereka yang membutuhkan uang untuk membeli makanan, perlengkapan sanitasi, dan kebutuhan mendasar lainnya," tambah dia.
Dalam kesempatan itu, Ghebreyesus mengatakan perhatian lebih diberikan ke negara-negara berpendapatan rendah dan menengah yang sebagian besar berada di wilayah Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.
Baca juga: Jangan lupakan fundamental penanganan melawan COVID-19
Baca juga: Kepala WHO puji pesan Klopp soal COVID-19
"Beberapa negara memiliki sistem jaminan sosial yang kuat, tetapi banyak yang tidak. Saya berasal dari Afrika, sebagaimana anda tahu, dan saya tahu banyak orang yang harus bekerja tiap harinya untuk membeli roti, dan pemerintah di seluruh negara perlu memikirkan jaminan hidup bagi kelompok ini," terang Ghebreyesus.
Ia pun menjelaskan lockdown, atau penutupan/karantina secara menyeluruh yang membatasi aktivitas serta pergerakan warga, bukan satu-satunya langkah yang dapat menekan penularan virus. Namun, kebijakan pembatasan perlu diikuti dengan penguatan sistem kesehatan.
Banyak negara telah menerapkan aturan pembatasan kegiatan, karantina secara menyeluruh, dan menutup perbatasan, di antaranya Italia, Spanyol, Inggris, Prancis, Filipina, bahkan Timor Leste.
Selama pembatasan berlangsung, warga tidak diperkenankan ke luar rumah kecuali untuk keperluan esensial seperti membeli kebutuhan pokok, obat-obatan, serta mendatangi rumah sakit untuk perawatan.
Menurut Worldometers, laman penyedia data statistik independen, per Selasa (31/3), jumlah pasien positif COVID-19 di dunia mencapai 799.710 jiwa. Dari jumlah itu, 38.720 di antaranya meninggal dunia dan 169.976 pasien lainnya dinyatakan sembuh.
SARS-CoV-2 pertama kali mewabah di Kota Wuhan, China, pada akhir tahun lalu dan saat ini virus itu telah menyebar ke sekitar 200 negara dan wilayah.
Kasus tertinggi tidak lagi ditemukan di China, tetapi di Amerika Serikat dengan 164.359 pasien positif, disusul oleh Italia dengan 101.739 pasien, dan Spanyol 94.417.
Di China, jumlah pasien positif COVID-19 mencapai 81.518 jiwa dan 3.305 di antaranya meninggal dunia, sementara 76.052 lainnya berhasil pulih.
Baca juga: WHO minta negara gunakan waktu saat "lockdown" untuk menyerang virus
Baca juga: WHO: Mempersiapkan sistem rujukan COVID-19 sangat penting
"Kami memahami banyak negara saat ini menerapkan kebijakan yang membatasi kegiatan dan pergerakan warga. Penting bagi negara-negara itu untuk menghormati martabat dan kesejahteraan warga. Penting bagi pemerintah untuk menyampaikan informasi periode waktu pembatasan tersebut, serta menyediakan jaminan hidup untuk warga lanjut usia, pengungsi, dan kelompok yang rentan," kata Ghebreyesus dalam pidatonya, Senin (30/3), sebagaimana dipantau dalam laman resmi WHO, Selasa.
Ia menjelaskan pemerintah negara-negara mitra wajib menjamin kesejahteraan warga yang kehilangan sumber pendapatannya selama pembatasan itu diterapkan.
"Pemerintah wajib menjamin kesejahteraan mereka yang membutuhkan uang untuk membeli makanan, perlengkapan sanitasi, dan kebutuhan mendasar lainnya," tambah dia.
Dalam kesempatan itu, Ghebreyesus mengatakan perhatian lebih diberikan ke negara-negara berpendapatan rendah dan menengah yang sebagian besar berada di wilayah Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.
Baca juga: Jangan lupakan fundamental penanganan melawan COVID-19
Baca juga: Kepala WHO puji pesan Klopp soal COVID-19
"Beberapa negara memiliki sistem jaminan sosial yang kuat, tetapi banyak yang tidak. Saya berasal dari Afrika, sebagaimana anda tahu, dan saya tahu banyak orang yang harus bekerja tiap harinya untuk membeli roti, dan pemerintah di seluruh negara perlu memikirkan jaminan hidup bagi kelompok ini," terang Ghebreyesus.
Ia pun menjelaskan lockdown, atau penutupan/karantina secara menyeluruh yang membatasi aktivitas serta pergerakan warga, bukan satu-satunya langkah yang dapat menekan penularan virus. Namun, kebijakan pembatasan perlu diikuti dengan penguatan sistem kesehatan.
Banyak negara telah menerapkan aturan pembatasan kegiatan, karantina secara menyeluruh, dan menutup perbatasan, di antaranya Italia, Spanyol, Inggris, Prancis, Filipina, bahkan Timor Leste.
Selama pembatasan berlangsung, warga tidak diperkenankan ke luar rumah kecuali untuk keperluan esensial seperti membeli kebutuhan pokok, obat-obatan, serta mendatangi rumah sakit untuk perawatan.
Menurut Worldometers, laman penyedia data statistik independen, per Selasa (31/3), jumlah pasien positif COVID-19 di dunia mencapai 799.710 jiwa. Dari jumlah itu, 38.720 di antaranya meninggal dunia dan 169.976 pasien lainnya dinyatakan sembuh.
SARS-CoV-2 pertama kali mewabah di Kota Wuhan, China, pada akhir tahun lalu dan saat ini virus itu telah menyebar ke sekitar 200 negara dan wilayah.
Kasus tertinggi tidak lagi ditemukan di China, tetapi di Amerika Serikat dengan 164.359 pasien positif, disusul oleh Italia dengan 101.739 pasien, dan Spanyol 94.417.
Di China, jumlah pasien positif COVID-19 mencapai 81.518 jiwa dan 3.305 di antaranya meninggal dunia, sementara 76.052 lainnya berhasil pulih.
Baca juga: WHO minta negara gunakan waktu saat "lockdown" untuk menyerang virus
Baca juga: WHO: Mempersiapkan sistem rujukan COVID-19 sangat penting
Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: