Jakarta (ANTARA News) - Swasembada kenapa harus dipaksakan? Pertanyaan itu mulai ramai disampaikan saat perundingan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), yang akhirnya melahirkan WTO. Pertanyaan sama semakin ramai dan berani dilontarkan secara terbuka ketika Indonesia mulai terkena dampak krisis ekonomi tahun 1997.
Bahkan dalam sebuah diskusi tentang masalah pertanian, ketika Indonesia menandatangani Letter Of Intent (LoI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF), ekonom Emil Salim juga melontarkan pertanyaan senada. Artinya apakah semua komoditas pangan harus dihasilkan dari bumi Indonesia dan mentabukan komoditas yang dibeli dari negara lain, meski sebenarnya harga impor lebih murah ketimbang harus memproduksi sendiri.
Banyak yang terperangah dengan pertanyaan tersebut, apalagi jika dikaitkan dengan masalah swasembada yang dianggap begitu sakral dan punya embel-embel "harus". Harus dicapai dan dipertahankan. Tidak ada pilihan lain !
Dalam konteks politik pangan Orde Baru, swasembada seolah menjadi suatu yang begitu dibanggakan. Terlebih ketika Indonesia memperoleh penghargaan dari FAO sebagai negara yang berhasil swasembada beras tahun 1984. Prestasi itu semakin memperkuat kesakralan swasembada.
Politik perberasan yang diterapkan pemerintah ketika itu memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam mewujudkan ketentraman ekonomi masyarakat. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar dan hampir semuanya merupakan pengonsumsi beras, para penentu kebijakan ketika itu tahu benar bahwa masalah perut tidak bisa ditawar lagi jika pembangunan ingin lancar.
Mantan Kabulog Bustanil Arifin pernah mengatakan, "Beras harus ditangani secara lebih serius jika ingin mencegah kemerosotan di bidang ekonomi supaya tidak menjalar pada kehidupan politik". Penegasan itu bisa menjadi contoh bahwa beras merupakan alat politik ketika itu.
Penegasan itu juga bukan tanpa alasan kuat. Tuntutan "Turunkan harga" sebagai salah satu butir dari Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang diteriakkan para mahasiswa dan pemuda angkatan 1966, merupakan beban bagi pemerintah Orde Baru yang ketika itu baru ditegakkan. Beras yang langsung menguasai hajat hidup orang banyak menjadi punya andil dalam pemulihan stabilitas ekonomi.
Beras kemudian dikukuhkan sebagai komoditas politik, dimana pemerintah berkepentingan langsung mengatur dan mengendalikannya, dan tidak diserahkan semata-mata kepada pasar.
Mereka yang mendukung swasembada juga menilai faktor besarnya jumlah penduduk merupakan salah satu kunci bahwa dalam masalah pangan Indonesia tidak boleh tergantung dari negara lain.
Jumlah pemakan beras tersebut tentu akan menjadi ancaman jika suatu saat Indonesia harus melulu mengimpor. Pihak penjual atau pemerintah negara asal beras bisa saja memainkan harga dan menekan Indonesia untuk semakin tergantung dengan beras impor.
Krisis ekonomi 1997 yang mengakibatkan anjlognya rupiah secara langsung juga menjadi alasan bahwa sudah seharusnya pertanian menjadi primadona. Biaya impor tentu akan melonjak besar dengan melemahnya rupiah tersebut, dari semula kurs yang hanya sekitar Rp2.500 per dolar, kemudian terus melemah hingga mencapai Rp16.000 per dolar.
Bayangkan saja berapa besar biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mengimpor beras. Sebelum swasembada tahun 1984, Indonesia dikenal sebagai pengimpor beras terbesar di dunia dengan jumlah pembelian mencapai sekitar 2,5 juta ton per tahun.
Alasan demikian menjadi hal utama bagi mereka yang menyatakan swasembada harus dilakukan dan dipertahankan. Namun, tidak sedikit juga pengamat yang berpandangan lain seperti seorang Emil Salim. Noer Soetrisno salah seorangnya, karena ia pun berani tidak popular dan menentang arus bahwa swasembada bukan suatu yang sakral dan keharusan.
Dalam pandangan Noer Soetrisno, selain menimbulkan besarnya biaya impor, sebenarnya ada dampak positif dari krisis itu yakni naiknya pendapatan ekspor dari produk pertanian yang menjadi andalan Indonesia seperti CPO, karet, dan coklat. Noer menyebut hal ini sebagai "awan proteksi".
Memang, menurut Noer, ada optimisme baru dari krisis itu, bahwa seolah-olah tanpa pertanian pembangunan akan menghadapi kesulitan. Krisis menjadi momentum untuk membangkitkan lagi swasembada beras dan komoditas pangan lainnya setelah sejak 1994 predikat swasembada yang sempat bertahan 10 tahun, gagal dipertahankan.
Pandangan-pandangan semacam ini dalam jangka pendek sangat benar. Terbukti bahwa hanya sektor pertanian dan industri yang mengolah pertanian bersama industri abstraktif lain sajalah yang dapat terus melaju tanpa kesulitan.
Petani di luar Jawa dan di sepanjang pantai yang mengusahakan komoditas ekspor benar-benar mendapatkan "keuntungan" dari kenaikan harga di pasar dunia yang kemudian dikonversinya dalam mata uang rupiah.
Mahalnya Swasembada
Gagalnya panen pada tahun 1994 menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor beras besar di dunia. Masuknya Indonesia di pasar beras dunia waktu itu menyebabkan harga beras yang selama ini bergerak di tingkat harga rendah, mulai kembali naik. Dengan hanya sekitar 12 juta ton beras yang tersedia di pasaran dunia ketika itu, tentu pengaruh Indonesia cukup besar.
Meski demikian, harga beras di pasar internasional itu jika dibanding dengan harga beras lokal, tetap lebih murah beras impor. Oleh karena itu, memang masuk akal jika ada yang mempertanyakan mengapa swasembada yang berbiaya mahal harus tetap dipertahankan hanya demi sebuah kebanggaan. Bank Dunia sebenarnya juga pernah melaporkan bahwa swasembada merupakan program mahal.
Bulog misalnya, ketika itu harus mengeluarkan biaya ekstra yang tidak sedikit untuk menyangga dan memelihara stoknya jika produksi beras berlimpah. Bulog pun harus menderita defisit yang terus membesar sejak swasembada tahun 1984.
Pada periode 1984/1985 Bulog mengalami defisit sebesar Rp26,7 miliar dan naik menjadi Rp112,6 miliar pada 1985/1986 dan Rp123,4 miliar pada tahun 1986/1987, dan turun kembali menjadi Rp115 miliar tahun 1993/1994.
Defisit sebesar Rp115 miliar itu terjadi karena banyaknya beras yang diekspor. Kondisi itu nampaknya berkaitan dengan jumlah pengadaan dan produksi beras dalam negeri yang melebihi kemampuan Bulog untuk memeliharanya.
Hal itu berarti bahwa Bulog yang ketika itu ditugasi pemerintah dalam pengadaan beras bagi golongan anggaran dan juga untuk stabilisasi harga, akan memperoleh untung jika pengadaan dalam negeri pas-pasan atau tidak berlimpah.
Bahkan keuntungan akan lebih besar jika justru diadakan melalui impor mengingat harga beras di luar negeri yang lebih murah. Kondisi itu pernah terjadi pada tahun 1994, ketika Bulog memperoleh surplus sekitar Rp133 miliar saat impor beras kali pertama setelah 10 tahun swasembada.
Kembali masuknya beras impor akhirnya juga membuat semakin luasnya pengertian swasembada. Swasembada tidak lagi hanya berarti semua kebutuhan harus dipenuhi dari dalam negeri dan menabukan impor atau yang lebih dikenal dengan swasembada absolut, dimana selisih suplai dan permintaan beras sama dengan nol.
Ada juga istilah lain yaitu swasembada on trend yang berarti produksi beras mengikuti garis trend konsumsi. Dengan demikian dalam jangka panjang trend kenaikan produksi dijaga di tingkat yang sama dengan kenaikan konsumsi dan keseimbangan antara jumlah yang diekspor dan yang diimpor dapat dicapai.
Itu berarti jika Indonesia mengalami kekurangan, impor perlu dilakukan, sementara jika terjadi cadangan yang berlimpah maka ekspor pun juga dimungkinkan. Konsep tersebut memungkinkan Indonesia untuk ikut dalam perdagangan beras internasional.
Swasembada Produksi vs Ekonomi
Bagi Noer Soetrisno, swasembada tidak harus selalu dikaitkan dengan memproduksi secara berlimpah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri atau swasembada per komoditas seperti beras. Namun lebih dari itu, yaitu swasembada dalam pengertian ekonomi.
Dalam pengertian tersebut asal muasal komoditas tidak dipersoalkan, karena yang lebih penting adalah adanya kemampuan dari diri sendiri untuk memenuhi semua kebutuhannya.
Kemampuan itu bisa berarti adanya dukungan dana dan ini sebenarnya yang diperlihatkan Indonesia sejak tahun 1983 atau setahun sebelum terjadinya swasembada.
Pada tahun tersebut untuk pertama kalinya, neraca perdagangan pangan Indonesia bisa mencapai surplus. Ini berarti total ekspor produk pangan Indonesia lebih besar dibandingkan dengan total impor produk yang sama, dan sejak saat itu surplus terus meningkat dan stabil pada tingkat dua miliar dolar AS.
Dengan surplus tersebut berarti Indonesia mampu untuk memenuhi semua kebutuhan pangannya, baik itu melalui impor atau produk sendiri, tergantung mana yang lebih efisien dan tidak mengeluarkan biaya besar.
Dari sisi petani, pengertian swasembada secara absolut sebenarnya sangat merugikan mengingat sistem pertanian Indonesia ditopang oleh pertanian rakyat, terutama untuk tanaman bahan pangan.
Dalam pertanian rakyat, kata Noer, petani hanya memiliki satu lahan, sementara penentuan komoditas yang akan ditanam tergantung dari hasil atau harga saat panen. Itu berarti jika petani mengalami kerugian di satu komoditas, maka pada musim tanam berikutnya ia akan jera dan berpindah ke komoditas lain.
Dengan demikian penetapan swasembada sebenarnya berbenturan dengan ciri fleksibilitas pilihan petani karena ia harus menanam apa yang dinginkan pemerintah.
Swasembada sebenarnya juga tidak digariskan dalam UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Bahkan dalam UU itu sama sekali tidak ada kata-kata swasembada. Yang ada hanya soal kemandirian pangan yang bisa diartikan sebagai kemampuan menghasilkan sendiri atau memenuhi kebutuhannya itu dari kemampuannya sendiri.
Lalu bagaimana dengan besarnya jumlah penduduk Indonesia? Apakah jika konsep tersebut yang dipilih, tidak justru menyulitkan pemerintah dalam memenuhi pangan bagi seluruh penduduk? Hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan.
Mengapa? Karena, menurut Noer, pemenuhan pangan (beras) itu bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, menghasilkan atau memproduksi sendiri. Kedua, dengan menghasilkan uang berlebih untuk membeli (impor) pangan.
Cara pertama yang dikenal dengan swasembada obsolut ternyata kurang memberi dampak positif. Selain berbiaya mahal, ia juga mengekang hak-hak petani untuk menanam tanaman pilihannya.
Sementara cara kedua, merupakan pilihan yang disarankan apalagi dengan posisi Indonesia selama ini yang ternyata mempunyai uang berlebih, terlihat dari selalu surplusnya neraca perdagangan pangan.
Kalau pun masalah itu masih ditakutkan, masih ada cara lain yang juga secara bertahap sudah dilakukan, yaitu dengan perdagangan biasa atau sistem saling membutuhkan. Dalam kerangka tersebut, posisi Indonesia sebenarnya cukup kuat di antara mitra-mitra penghasil beras, khususnya di kawasan Asean seperti Vietnam.
Dengan posisinya sebagai salah satu produsen pupuk di Asean, Indonesia bisa menawarkan pupuknya itu ke Vietnam. Timbal baliknya adalah Vietnam juga harus menyediakan beras bagi Indonesia jika Indonesia sedang dalam kondisi kekurangan.
Vietnam bisa menempatkan Indonesia sebagai prioritas pertamanya untuk memperoleh beras, demikian juga sebaliknya Indonesia menempatkan negara itu sebagai prioritas pertama untuk memperoleh pupuk. (*)
Swasembada, Haruskah?
28 April 2009 11:16 WIB
Oleh Oleh B Wahyu S
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009
Tags: