Artikel
Pembatasan sosial skala besar didukung terpenuhinya aneka kebutuhan
Oleh Hanni Sofia
31 Maret 2020 15:51 WIB
Seorang pria berkeliling sambil mengenakan topeng dan membawa sejumlah imbauan guna mengajak masyarakat membantu penanganan virus Corona (COVID-19) di Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (29/3/2020). Aksi itu sebagai bentuk kepedulian serta menyatakan keprihatinan atas masih banyaknya warga yang belum menaati imbauan pemerintah dan minimnya perlengkapan pelindung diri bagi petugas maupun relawan dalam upaya penanganan COVID-19. ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/foc.
Jakarta (ANTARA) - Kelak, COVID-19 akan menjadi catatan sejarah tersendiri manakala pandemi itu mampu melumpuhkan seluruh sendi kehidupan.
Tak ubahnya negara lain di dunia, Indonesia merespon dengan cara tersendiri dalam menghadapi wabah ini. Ketika banyak Pemerintah di berbagai negara frustasi kemudian melakukan lockdown, namun Indonesia memilih tidak.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih untuk menerapkan pembatasan sosial skala besar yang ditegakkan dengan lebih tegas dan disiplin sehingga efektif untuk menekan penyebaran virus corona.
Bahkan kebijakan itu jika perlu, akan diterapkan seiring dengan aturan darurat sipil dan karantina kesehatan.
Meski mobilitas orang dan barang menjadi terbatas karenanya namun Presiden Jokowi meminta kepada jajarannya untuk memastikan bahwa pasokan obat dan kebutuhan logistik makanan dan air minum berkualitas tetap terjamin bagi seluruh masyarakat.
“Saya minta dan pastikan bahwa apotik dan toko-toko penyuplai kebutuhan pokok bisa tetap buka untuk melayani kebutuhan warga dengan menerapkan protokol jaga jarak yang ketat,” kata Presiden Jokowi.
Faktanya, tak semata bahan pokok, ketersediaan air minum kemasan berkualitas pun tak terelakkan terutama bagi masyarakat di perkotaan. Oleh karena itu, distribusi terhadapnya juga harus menjadi perhatian serius.
Di sisi lain ketersediaan nutrisi berupa susu termasuk untuk balita dan anak hingga kebutuhan obat untuk rumah sakit perlu menjadi perhatian yang lain di kala kebijakan pengetatan mobilitas diterapkan dalam berbagai bentuk.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga menekankan pentingnya produk makanan minuman termasuk susu untuk dijamin akses dan ketersediaannya.
Senada disampaikan pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo mengingatkan kejadian pada krisis 1998 dimana kelangkaan susu anak menyebabkan munculnya gerakan Suara Ibu Peduli.
“Jadi harus dipastikan produk pangan yang penting untuk kebutuhan gizi dan kesehatan keluarga termasuk air kemasan galon dan susu anak harus tetap tersedia dan diberi akses dari produksi, distribusi, pedagang, hingga ke tangan konsumen,” katanya.
Air minum
Air minum dalam kemasan yang berkualitas dan nutrisi untuk balita dan anak serta obat-obatan menjadi isu lain yang kerap terlewat.
Padahal hal itu menyangkut hajat hidup orang banyak yang mesti mendapatkan perhatian serius. Oleh karena itu, dalam hal pembatasan sosial skala besar harus ada kebijakan pendukung yang memungkinkan pasokan atas beberapa kebutuhan logistik termasuk air minum berkualitas tetap terpenuhi.
Di sisi lain, negara juga berkewajiban untuk menyelamatkan warganya dari wabah termasuk mengantisipasi potensi adanya generasi yang hilang karena kekurangan nutrisi saat pandemi melanda.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menegaskan pentingnya pemenuhan hak konsumen atas barang konsumsi jika kebijakan pembatasan skala besar diberlakukan untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19.
Tulus Abadi mengatakan hal pertama yang harus menjadi perhatian saat diterapkan kebijakan pembatasan mobilisasi diperketat adalah pasokan logistik yang harus terjaga.
“Karena saat kebijakan itu dilakukan, yang tetap harus dibuka adalah akses pada logistik,” katanya.
Bahkan lebih ideal jika konsumen atau masyarakat secara umum seluruh kebutuhan logistiknya ditanggung oleh negara.
Tulus mencontohkan di banyak negara yang memutuskan untuk menerapkan karantina wilayah atau memilih untuk lockdown menanggung kebutuhan konsumsi masyarakat dengan baik.
“Di Australia misalnya, setiap orang diberikan subsidi sebesar Rp11 juta selama masa karantina wilayah diterapkan di negara itu,” katanya.
Menurut Tulus, hal itu merupakan hak warga negara yang dijamin undang-undang manakala memang karantina wilayah untuk kepentingan yang lebih besar diterapkan.
Ia menambahkan, jika pemenuhan kebutuhan hak hidup akan pangan tidak bisa dipenuhi sehingga tidak dapat dilakukan maka Pemerintah harus mampu menjamin akses pada bahan pangan mudah.
“Akses-akses harus dipermudah dengan harga yang wajar jangan sampai dikarantina wilayah tapi masyarakat sulit mengakses bahan logistik dan kalau ada pun harganya di luar batas rasional,” katanya.
Ia menekankan pentingnya aksesibilitas dan keterjangkauan atas barang konsumsi bagi masyarakat.
“Jadi antara aksesilibilitas dan keterjangkauan itu harus dua paket yang harus diperhatikan oleh pemerintah kalau tidak ya jangan main-main dengan karantina wilayah atau bahkan lockdown,” katanya.
Tulus juga mengusulkan ada bentuk kompensasi yang diberikan Pemerintah di saat situasi sulit akibat pandemi COVID-19 misalnya memberikan subsidi potongan 30-50 persen tagihan konsumen misalnya listrik, telepon, atau air khususnya bagi daerah-daerah yang dinyatakan harus karantina wilayah.
Semua hal itu, kata Tulus, perlu sangat dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya “social unrest”, chaos, atau kerusuhan yang sebenarnya tidak perlu terjadi di kalangan masyarakat.
Mobilitas Medis
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menginginkan agar para tenaga medis diberikan keleluasaan dalam melakukan mobilisasi saat menangani pasien COVID-19 jika kemungkinan pembatasan sosial skala besar diberlakukan.
Ia juga berharap fasilitas medis termasuk rumah sakit tetap mendapatkan jaminan pasokan yang kontinyu untuk kebutuhan pokok di antaranya bahan makanan, air minum berkualitas, hingga obat-obatan dan bahan nutrisi untuk pasien.
Ketua Umum Pengurus Besar IDI Daeng Mohammad Faqih mengatakan pemberlakuan pembatasan mobilitas termasuk misalnya karantina wilayah diharapkan tetap memperhatikan kepentingan pergerakan tenaga medis dan jaminan pasokan kebutuhan pokok fasilitas medis.
“Tenaga medis harus diberikan perlakuan khusus termasuk keleluasaan untuk melakukan mobiltas dalam upaya menangani pasien COVID-19 termasuk pasokan kebutuhannya,” kata Daeng.
Tenaga medis yang dimaksud juga tidak terbatas pada mereka yang berada di garda terdepan menangani pasien COVID-19 namun juga mereka yang berada di garda pendukung.
Selain itu, ia menegaskan pentingnya kepastian pasokan logistik, peralatan kesehatan, dan perlengkapan medis termasuk nutrisi obat-obatan hingga air minum berkualitas dalam kemasan jika karantina wilayah diterapkan.
Di lapangan saat ini misalnya sudah ada beberapa keluhan dari vendor atau perusahaan penyedia logistik termasuk penyedia air minum berkualitas yang kesulitan masuk ke wilayah pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit rujukan.
“Tenaga medis perlu support untuk kebutuhan operasional bahkan untuk misalnya kebutuhan air minum, sehingga perlu ada perlakuan berbeda dalam kebijakan karantina wilayah bagi tenaga kesehatan,” katanya.
Pihaknya berharap ada jaminan dari Pemerintah untuk rumah sakit dan tenaga medis dari sisi pemenuhan logistik dan kebutuhan air minum yang terjamin kualitas dan keamanannya.
IDI percaya bahwa hal itu telah dipikirkan dengan masak oleh pembuat kebijakan untuk masuk dalam skenario jika karantina wilayah diterapkan.
“Namun kami merasa sangat perlu untuk mengingatkan agar hal ini menjadi perhatian khusus,” kata Daeng.
Tak ubahnya negara lain di dunia, Indonesia merespon dengan cara tersendiri dalam menghadapi wabah ini. Ketika banyak Pemerintah di berbagai negara frustasi kemudian melakukan lockdown, namun Indonesia memilih tidak.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih untuk menerapkan pembatasan sosial skala besar yang ditegakkan dengan lebih tegas dan disiplin sehingga efektif untuk menekan penyebaran virus corona.
Bahkan kebijakan itu jika perlu, akan diterapkan seiring dengan aturan darurat sipil dan karantina kesehatan.
Meski mobilitas orang dan barang menjadi terbatas karenanya namun Presiden Jokowi meminta kepada jajarannya untuk memastikan bahwa pasokan obat dan kebutuhan logistik makanan dan air minum berkualitas tetap terjamin bagi seluruh masyarakat.
“Saya minta dan pastikan bahwa apotik dan toko-toko penyuplai kebutuhan pokok bisa tetap buka untuk melayani kebutuhan warga dengan menerapkan protokol jaga jarak yang ketat,” kata Presiden Jokowi.
Faktanya, tak semata bahan pokok, ketersediaan air minum kemasan berkualitas pun tak terelakkan terutama bagi masyarakat di perkotaan. Oleh karena itu, distribusi terhadapnya juga harus menjadi perhatian serius.
Di sisi lain ketersediaan nutrisi berupa susu termasuk untuk balita dan anak hingga kebutuhan obat untuk rumah sakit perlu menjadi perhatian yang lain di kala kebijakan pengetatan mobilitas diterapkan dalam berbagai bentuk.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga menekankan pentingnya produk makanan minuman termasuk susu untuk dijamin akses dan ketersediaannya.
Senada disampaikan pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo mengingatkan kejadian pada krisis 1998 dimana kelangkaan susu anak menyebabkan munculnya gerakan Suara Ibu Peduli.
“Jadi harus dipastikan produk pangan yang penting untuk kebutuhan gizi dan kesehatan keluarga termasuk air kemasan galon dan susu anak harus tetap tersedia dan diberi akses dari produksi, distribusi, pedagang, hingga ke tangan konsumen,” katanya.
Air minum
Air minum dalam kemasan yang berkualitas dan nutrisi untuk balita dan anak serta obat-obatan menjadi isu lain yang kerap terlewat.
Padahal hal itu menyangkut hajat hidup orang banyak yang mesti mendapatkan perhatian serius. Oleh karena itu, dalam hal pembatasan sosial skala besar harus ada kebijakan pendukung yang memungkinkan pasokan atas beberapa kebutuhan logistik termasuk air minum berkualitas tetap terpenuhi.
Di sisi lain, negara juga berkewajiban untuk menyelamatkan warganya dari wabah termasuk mengantisipasi potensi adanya generasi yang hilang karena kekurangan nutrisi saat pandemi melanda.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menegaskan pentingnya pemenuhan hak konsumen atas barang konsumsi jika kebijakan pembatasan skala besar diberlakukan untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19.
Tulus Abadi mengatakan hal pertama yang harus menjadi perhatian saat diterapkan kebijakan pembatasan mobilisasi diperketat adalah pasokan logistik yang harus terjaga.
“Karena saat kebijakan itu dilakukan, yang tetap harus dibuka adalah akses pada logistik,” katanya.
Bahkan lebih ideal jika konsumen atau masyarakat secara umum seluruh kebutuhan logistiknya ditanggung oleh negara.
Tulus mencontohkan di banyak negara yang memutuskan untuk menerapkan karantina wilayah atau memilih untuk lockdown menanggung kebutuhan konsumsi masyarakat dengan baik.
“Di Australia misalnya, setiap orang diberikan subsidi sebesar Rp11 juta selama masa karantina wilayah diterapkan di negara itu,” katanya.
Menurut Tulus, hal itu merupakan hak warga negara yang dijamin undang-undang manakala memang karantina wilayah untuk kepentingan yang lebih besar diterapkan.
Ia menambahkan, jika pemenuhan kebutuhan hak hidup akan pangan tidak bisa dipenuhi sehingga tidak dapat dilakukan maka Pemerintah harus mampu menjamin akses pada bahan pangan mudah.
“Akses-akses harus dipermudah dengan harga yang wajar jangan sampai dikarantina wilayah tapi masyarakat sulit mengakses bahan logistik dan kalau ada pun harganya di luar batas rasional,” katanya.
Ia menekankan pentingnya aksesibilitas dan keterjangkauan atas barang konsumsi bagi masyarakat.
“Jadi antara aksesilibilitas dan keterjangkauan itu harus dua paket yang harus diperhatikan oleh pemerintah kalau tidak ya jangan main-main dengan karantina wilayah atau bahkan lockdown,” katanya.
Tulus juga mengusulkan ada bentuk kompensasi yang diberikan Pemerintah di saat situasi sulit akibat pandemi COVID-19 misalnya memberikan subsidi potongan 30-50 persen tagihan konsumen misalnya listrik, telepon, atau air khususnya bagi daerah-daerah yang dinyatakan harus karantina wilayah.
Semua hal itu, kata Tulus, perlu sangat dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya “social unrest”, chaos, atau kerusuhan yang sebenarnya tidak perlu terjadi di kalangan masyarakat.
Mobilitas Medis
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menginginkan agar para tenaga medis diberikan keleluasaan dalam melakukan mobilisasi saat menangani pasien COVID-19 jika kemungkinan pembatasan sosial skala besar diberlakukan.
Ia juga berharap fasilitas medis termasuk rumah sakit tetap mendapatkan jaminan pasokan yang kontinyu untuk kebutuhan pokok di antaranya bahan makanan, air minum berkualitas, hingga obat-obatan dan bahan nutrisi untuk pasien.
Ketua Umum Pengurus Besar IDI Daeng Mohammad Faqih mengatakan pemberlakuan pembatasan mobilitas termasuk misalnya karantina wilayah diharapkan tetap memperhatikan kepentingan pergerakan tenaga medis dan jaminan pasokan kebutuhan pokok fasilitas medis.
“Tenaga medis harus diberikan perlakuan khusus termasuk keleluasaan untuk melakukan mobiltas dalam upaya menangani pasien COVID-19 termasuk pasokan kebutuhannya,” kata Daeng.
Tenaga medis yang dimaksud juga tidak terbatas pada mereka yang berada di garda terdepan menangani pasien COVID-19 namun juga mereka yang berada di garda pendukung.
Selain itu, ia menegaskan pentingnya kepastian pasokan logistik, peralatan kesehatan, dan perlengkapan medis termasuk nutrisi obat-obatan hingga air minum berkualitas dalam kemasan jika karantina wilayah diterapkan.
Di lapangan saat ini misalnya sudah ada beberapa keluhan dari vendor atau perusahaan penyedia logistik termasuk penyedia air minum berkualitas yang kesulitan masuk ke wilayah pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit rujukan.
“Tenaga medis perlu support untuk kebutuhan operasional bahkan untuk misalnya kebutuhan air minum, sehingga perlu ada perlakuan berbeda dalam kebijakan karantina wilayah bagi tenaga kesehatan,” katanya.
Pihaknya berharap ada jaminan dari Pemerintah untuk rumah sakit dan tenaga medis dari sisi pemenuhan logistik dan kebutuhan air minum yang terjamin kualitas dan keamanannya.
IDI percaya bahwa hal itu telah dipikirkan dengan masak oleh pembuat kebijakan untuk masuk dalam skenario jika karantina wilayah diterapkan.
“Namun kami merasa sangat perlu untuk mengingatkan agar hal ini menjadi perhatian khusus,” kata Daeng.
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2020
Tags: