Ekonom prediksi butuh stimulus Rp1.000 triliun tahan dampak COVID-19
29 Maret 2020 19:04 WIB
Peneliti Indef Mohammad Fadhil Hasan (kedua dari kanan) memberikan paparan dalam diskusi dengan media bertajuk "Tantangan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial" di Jakarta, Kamis (11/4/2019). ANTARA/Zubi Mahrofi.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom senior lembaga kajian ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan memperkirakan dibutuhkan stimulus fiskal sebesar Rp1.000 triliun untuk menahan dampak COVID-19 bagi perekonomian nasional.
"Saya perkirakan stimulus yang signifikan dan bisa menghasilkan situasi cukup baik sebesar Rp600 triliun hingga Rp1.000 triliun. Mungkin pelebaran defisit anggaran bisa di atas lima persen," ujar Fadhil Hasan melalui video konferensi di Jakarta, Minggu.
Dengan demikian, lanjut dia, harus ada peraturan yang mendukung. Pemerintah dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai perubahan postur APBN 2020.
"Harus ada payung hukum yang jelas, agar tetap akuntabel dan tidak menyalahi aturan ketika ada pelebaran defisit untuk realokasi berbagai anggaran yang saat ini difokuskan untuk bidang kesehatan," paparnya.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal tiga persen dari produk domestik bruto (PDB).
Fadhil mengatakan untuk mendukung stimulus ekonomi terdampak COVID-19, pemerintah dapat menerbitkan surat utang untuk Bank Indonesia.
Dana dari penerbitan surat utang itu, lanjut dia, dapat disalurkan ke beberapa pos seperti kesejahteraan rakyat, perlindungan UMKM, serta pembelian alat kesehatan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak memaksakan defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah mewabahnya COVID-19.
“Saat ini kita tidak meng-constraint-kan diri kita apakah hanya di bawah tiga persen sesuai dengan Undang-Undang,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (24/3).
Sri Mulyani menyatakan kebijakan tersebut diambil sebagai upaya dalam menjaga keselamatan dan kesehatan rakyat serta mengurangi risiko terkecil bagi dunia usaha dari kebangkrutan akibat pandemi COVID-19.
“Fokus kami rakyat, kesehatan terjaga atau terselamatkan dan mengurangi sekecil mungkin risiko bagi masyarakat dan dunia usaha dari kemungkinan terjadi kebangkrutan,” ujarnya.
Baca juga: Ekonom: Penanganan COVID-19 menjadi perhatian investor
Baca juga: Ekonom: solidaritas modal penting lawan COVID-19
Baca juga: Indef minta perusahaan nasional maksimalkan dana CSR perangi COVID-19
"Saya perkirakan stimulus yang signifikan dan bisa menghasilkan situasi cukup baik sebesar Rp600 triliun hingga Rp1.000 triliun. Mungkin pelebaran defisit anggaran bisa di atas lima persen," ujar Fadhil Hasan melalui video konferensi di Jakarta, Minggu.
Dengan demikian, lanjut dia, harus ada peraturan yang mendukung. Pemerintah dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai perubahan postur APBN 2020.
"Harus ada payung hukum yang jelas, agar tetap akuntabel dan tidak menyalahi aturan ketika ada pelebaran defisit untuk realokasi berbagai anggaran yang saat ini difokuskan untuk bidang kesehatan," paparnya.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal tiga persen dari produk domestik bruto (PDB).
Fadhil mengatakan untuk mendukung stimulus ekonomi terdampak COVID-19, pemerintah dapat menerbitkan surat utang untuk Bank Indonesia.
Dana dari penerbitan surat utang itu, lanjut dia, dapat disalurkan ke beberapa pos seperti kesejahteraan rakyat, perlindungan UMKM, serta pembelian alat kesehatan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak memaksakan defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah mewabahnya COVID-19.
“Saat ini kita tidak meng-constraint-kan diri kita apakah hanya di bawah tiga persen sesuai dengan Undang-Undang,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (24/3).
Sri Mulyani menyatakan kebijakan tersebut diambil sebagai upaya dalam menjaga keselamatan dan kesehatan rakyat serta mengurangi risiko terkecil bagi dunia usaha dari kebangkrutan akibat pandemi COVID-19.
“Fokus kami rakyat, kesehatan terjaga atau terselamatkan dan mengurangi sekecil mungkin risiko bagi masyarakat dan dunia usaha dari kemungkinan terjadi kebangkrutan,” ujarnya.
Baca juga: Ekonom: Penanganan COVID-19 menjadi perhatian investor
Baca juga: Ekonom: solidaritas modal penting lawan COVID-19
Baca juga: Indef minta perusahaan nasional maksimalkan dana CSR perangi COVID-19
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: