Pakar katakan pemerintah perlu petakan komunitas tangani COVID-19
29 Maret 2020 12:42 WIB
Ilustrasi - Sejumlah pedagang di lokasi penjualan sala lauak di Pantai Gandoriah, Pariaman, bercengkerama dengan tetap menjaga jarak fisik ketika tidak ada pembeli. (Antara Sumbar/Aadiaat M.S)
Jakarta (ANTARA) - Pakar komunikasi dari Universitas Indonesia Dr Firman Kurniawan Sujono mengusulkan agar pemerintah memetakan komunitas-komunitas yang didengar oleh masyarakat untuk menangani pandemi COVID-19 di Tanah Air.
"Kemenkominfo dapat memetakan komunitas-komunitas yang didengar untuk menyuarakan pesan-pesan pembatasan jarak fisik dengan segera dan serempak," ujar Firman di Jakarta, Minggu.
Kemudian, kata dia, diikuti dengan unggahan secara masif kelompok-kelompok yang telah mematuhi pembatasan jarak fisik.
Pembatasan jarak fisik, menurut Firman, merupakan salah satu solusi untuk mencegah semakin merebaknya pandemi COVID-19 di Tanah Air. Upaya itu juga untuk mengatasi ketidakseimbangan penularan COVID-19 dan kemampuan penanganan pasien COVID-19.
ia mengemukakan bahwa kekuatan pemerintah terbatas dalam menghadapi penyebaran penularan yang luas, dengan berbagai kesiapan tenaga medis dan ketersediaan fasilitas kesehatan.
"Untuk itu dapat dikembangkan pola komunikasi yang berbasis komunitas," kata Firman.
Menurut teori, ujar dia, bukti sosial yang dikemukakan oleh Richard Shutton, persepsi masyarakat akan terbentuk berdasar bukti sosial berupa kepatuhan masyarakat mayoritas. Hal itu diperkuat konsep network society, yang mana masyarakat akan terserap di dalam jejaring yang besar dan semakin membesar, dengan informasi yang dianggapnya benar.
Baca juga: Pakar: Pemerintah harus beri perintah bukan imbauan pembatasan fisik
"Jadi jika hari ini, pembatasan jarak fisik dianggap sebagai kebenaran untuk mencegah penularan COVID-19, maka harus digaungkan secepat-secepatnya sehingga menjadi norma baru yang dipatuhi. Melalui media sosial, upaya seperti itu mungkin dilakukan," kata dia.
Melalui media sosial, dapat ditampilkan foto-foto, tayangan, ulasan terkait kelompok atau komunitas masyarakat yang telah patuh pada norma baru itu. Dengan mengikuti logika jejaring, kelompok yang belum mengadopsi norma baru itu akan tersedot ke dalam jejaring. Media sosial mempercepat seluruh proses itu.
Baca juga: Harus jaga jarak karena tidak semua kasus COVID-19 memiliki gejala
Firman juga menambahkan secara khusus, pembentukan norma baru itu juga bertumpu pada angkatan muda, karena mereka merupakan pengguna media sosial terbanyak dengan sebaran 35 persen hingga 42 persen. Kelompok itu, lanjut dia, melalui produksi dan distribusi konten mempunyai kekuatan membuktikan secara sosial, sebagai kelompok yang patuh pada norma baru.
Baca juga: Erick sebut jaga jarak fisik pilihan terbaik cegah penyebaran COVID-19
Kelompok muda juga dapat menjadi agen penyebaran virus COVID-19, karena biasanya tidak menunjukkan gejala terinfeksi. Di Korea Selatan misalnya, sekitar 30 persen pasien positif COVID-19 berusia 20 hingga 29 tahun. Demikian juga di Tiongkok, yang mana sekitar 55,1 persen penderita COVID-19 pada rentang usia 15-49 tahun.
Untuk itu, Firman menyarankan agar kelompok muda menjadi agen pembentukan norma baru dalam mencegah COVID-19 di Tanah Air.
"Kemenkominfo dapat memetakan komunitas-komunitas yang didengar untuk menyuarakan pesan-pesan pembatasan jarak fisik dengan segera dan serempak," ujar Firman di Jakarta, Minggu.
Kemudian, kata dia, diikuti dengan unggahan secara masif kelompok-kelompok yang telah mematuhi pembatasan jarak fisik.
Pembatasan jarak fisik, menurut Firman, merupakan salah satu solusi untuk mencegah semakin merebaknya pandemi COVID-19 di Tanah Air. Upaya itu juga untuk mengatasi ketidakseimbangan penularan COVID-19 dan kemampuan penanganan pasien COVID-19.
ia mengemukakan bahwa kekuatan pemerintah terbatas dalam menghadapi penyebaran penularan yang luas, dengan berbagai kesiapan tenaga medis dan ketersediaan fasilitas kesehatan.
"Untuk itu dapat dikembangkan pola komunikasi yang berbasis komunitas," kata Firman.
Menurut teori, ujar dia, bukti sosial yang dikemukakan oleh Richard Shutton, persepsi masyarakat akan terbentuk berdasar bukti sosial berupa kepatuhan masyarakat mayoritas. Hal itu diperkuat konsep network society, yang mana masyarakat akan terserap di dalam jejaring yang besar dan semakin membesar, dengan informasi yang dianggapnya benar.
Baca juga: Pakar: Pemerintah harus beri perintah bukan imbauan pembatasan fisik
"Jadi jika hari ini, pembatasan jarak fisik dianggap sebagai kebenaran untuk mencegah penularan COVID-19, maka harus digaungkan secepat-secepatnya sehingga menjadi norma baru yang dipatuhi. Melalui media sosial, upaya seperti itu mungkin dilakukan," kata dia.
Melalui media sosial, dapat ditampilkan foto-foto, tayangan, ulasan terkait kelompok atau komunitas masyarakat yang telah patuh pada norma baru itu. Dengan mengikuti logika jejaring, kelompok yang belum mengadopsi norma baru itu akan tersedot ke dalam jejaring. Media sosial mempercepat seluruh proses itu.
Baca juga: Harus jaga jarak karena tidak semua kasus COVID-19 memiliki gejala
Firman juga menambahkan secara khusus, pembentukan norma baru itu juga bertumpu pada angkatan muda, karena mereka merupakan pengguna media sosial terbanyak dengan sebaran 35 persen hingga 42 persen. Kelompok itu, lanjut dia, melalui produksi dan distribusi konten mempunyai kekuatan membuktikan secara sosial, sebagai kelompok yang patuh pada norma baru.
Baca juga: Erick sebut jaga jarak fisik pilihan terbaik cegah penyebaran COVID-19
Kelompok muda juga dapat menjadi agen penyebaran virus COVID-19, karena biasanya tidak menunjukkan gejala terinfeksi. Di Korea Selatan misalnya, sekitar 30 persen pasien positif COVID-19 berusia 20 hingga 29 tahun. Demikian juga di Tiongkok, yang mana sekitar 55,1 persen penderita COVID-19 pada rentang usia 15-49 tahun.
Untuk itu, Firman menyarankan agar kelompok muda menjadi agen pembentukan norma baru dalam mencegah COVID-19 di Tanah Air.
Pewarta: Indriani
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: