Jakarta (ANTARA News) - Di Indonesia, kegiatan wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf.

Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah dibangun di atas tanah wakaf.

Ajaran wakaf ini terus berkembang di bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial, maupun pasca kolonial pada masa Indonesia merdeka.

Masa pemerintahan kolonial merupakan momentum kegiatan wakaf. Karena pada masa itu, perkembangan organisasi keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, masjid, semuanya merupakan swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf.

Namun, perkembangan wakaf kemudian hari tak mengalami perubahan yang berarti.

Kegiatan wakaf dilakukan terbatas untuk kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid, mushalla, langgar, madrasah, perkuburan, sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat secara ekonomis bagi rakyat banyak.

Walaupun beberapa aturan telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan mekanisme wakaf, seperti PP Noor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf pertanahan saja.

Ini berarti tak jauh beda dengan model wakaf pada periode awal, identik dengan wakaf tanah, dan kegunaannya pun terbatas pada kegiatan sosial keagamaan, seperti masjid, kuburan, madrasah, dan lain-lain.

Dalam perjalanannya, Peraturan Pemerintah ini bertahan cukup lama dan tidak ada aturan lain yang dibentuk hingga tahun 2004.

Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan, maka tidaklah heran jika perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi.

Walaupun cukup banyak lembaga wakaf yang berdiri, akan tetapi hanya sebagian kecil lembaga wakaf (nazhir) saja yang mampu mengelola harta benda wakaf secara optimal.

Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan wakaf di Indonesia belum mampu memberikan kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan umat.

Stagnasi perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pada tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk peningkatan kesejahteraan umat.

Ternyata konsep tersebut menarik dan mampu memberikan energi untuk menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf.

Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud).

Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh hadirnya UU No. 41/2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bererak, tetapi juga dapat berupa benda bergerak, seperti uang.

Selain itu, diatur pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai dari pembentukan nazhir sampai dengan pengelolaan harta wakaf.

Untuk dapat menjalankan fungsinya, UU ini masih memerlukan perangkat lain yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama tentang Wakaf Uang (PMA wakaf uang) yang akan menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral nazhir wakaf.

Setelah melalui proses panjang, pada penghujung tahun 2006 terbitlah PP No. 42/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf.

Setelah itu, pada juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 75/M tahun 2007 yang memutuskan dan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010. (*)


[Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia]