Penanganan terlambat-penyakit penyerta sebab kematian COVID-19 tinggi
27 Maret 2020 16:05 WIB
Ilustrasi. Sejumlah tenaga medis mempersiapkan pelaksanaan rapid test di Puskesmas Abadijaya, Depok, Jawa Barat, Jumat (27/3/2020). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/foc.
Jakarta (ANTARA) - Ahli sekaligus praktisi kesehatan Prof Dr dr Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB mengatakan tingginya angka kematian akibat virus corona baru COVID-19 di Indonesia dikarenakan penanganan terlambat yang disertai penyakit penyerta pasien.
Prof Ari dalam keterangannya pada media melalui konferensi video di Jakarta, Jumat, mengatakan pasien dengan kasus khusus mendapatkan penanganan yang terlambat dikarenakan keterbatasan kapasitas rumah sakit dalam menangani pasien COVID-19 yang membludak.
Selain itu, pasien yang meninggal kebanyakan juga datang dengan kondisi yang sudah terjadi komplikasi seperti gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, jumlah trombosit atau sel darah yang menurun, tekanan darah turun karena "shock", saturasi oksigen dalam darah turun, serta kesadaran yang mulai menurun.
Ari yang merupakan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia juga menjelaskan, orang tua atau lansia juga sangat memengaruhi risiko akan kematian yang diakibatkan bila terinfeksi COVID-19.
"Faktor umur, semakin tinggi umurnya semakin tinggi juga risikonya. Oleh karena itu saya ingatkan sekali lagi, untuk orang tua yang di atas 60 tahun harus benar-benar stay at home. merekalah yang berisiko kalau terinfeksi bisa berujung pada kematian," kata Prof Ari.
Baca juga: Masyarakat diminta konsisten laksanakan pedoman antisipasi corona
Baca juga: Gugus Tugas: Indonesia butuh 1.500 dokter dan 2.500 perawat
Selain itu penyakit penyerta yang sudah diderita oleh pasien sebelum terinfeksi juga memengaruhi kasus kematian yang disebabkan oleh COVID-19. Beberapa penyakit kronis penyerta yang jadi perhatian adalah diabetes dan kelainan pada fungsi paru.
"Faktor penyakit penyerta terutama kencing manis. Pada spesial kasus, pasien dengan penyakit paru kronis, jadi yang memang sudah ada kelainan pada paru, atau fungsi parunya tidak baik, ini menjadi risiko tinggi mengalami kematian apabila terinfeksi," kata Prof Ari.
Dia menerangkan kondisi saat ini rumah sakit rujukan mengalami kelebihan kapasitas dalam penanganan COVID-19 dan keterbatasan alat kesehatan ventilator yang dibutuhkan pasien dengan gagal napas.
Ari menyebut penanganan pasien dengan kondisi paru yang terinfeksi tidak memungkinkan dilakukan apabila tidak menggunakan alat bantu napas.
"Di sinilah kita harus menjaga ketersediaan ventilator kita cukup, harus meningkatkan ketersediaan ventilator di saat sekarang. Sesuatu yang krusial kalau pasien terjadi gagal napas," kata dia.
Ari juga memaparkan hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan internasional Lancet bahwa pasien COVID-19 dengan fungsi ginjal yang bermasalah juga berisiko mengalami kematian apabila tidak mendapat alat bantu cuci darah setiap saat.
Menurut Ari, alat bantu cuci darah tersebut juga masih terbatas.
Baca juga: 170 ribu APD telah didistribusikan untuk penanganan COVID-19
Baca juga: Gugus Tugas sebar relawan medis tangani COVID-19
Prof Ari dalam keterangannya pada media melalui konferensi video di Jakarta, Jumat, mengatakan pasien dengan kasus khusus mendapatkan penanganan yang terlambat dikarenakan keterbatasan kapasitas rumah sakit dalam menangani pasien COVID-19 yang membludak.
Selain itu, pasien yang meninggal kebanyakan juga datang dengan kondisi yang sudah terjadi komplikasi seperti gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, jumlah trombosit atau sel darah yang menurun, tekanan darah turun karena "shock", saturasi oksigen dalam darah turun, serta kesadaran yang mulai menurun.
Ari yang merupakan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia juga menjelaskan, orang tua atau lansia juga sangat memengaruhi risiko akan kematian yang diakibatkan bila terinfeksi COVID-19.
"Faktor umur, semakin tinggi umurnya semakin tinggi juga risikonya. Oleh karena itu saya ingatkan sekali lagi, untuk orang tua yang di atas 60 tahun harus benar-benar stay at home. merekalah yang berisiko kalau terinfeksi bisa berujung pada kematian," kata Prof Ari.
Baca juga: Masyarakat diminta konsisten laksanakan pedoman antisipasi corona
Baca juga: Gugus Tugas: Indonesia butuh 1.500 dokter dan 2.500 perawat
Selain itu penyakit penyerta yang sudah diderita oleh pasien sebelum terinfeksi juga memengaruhi kasus kematian yang disebabkan oleh COVID-19. Beberapa penyakit kronis penyerta yang jadi perhatian adalah diabetes dan kelainan pada fungsi paru.
"Faktor penyakit penyerta terutama kencing manis. Pada spesial kasus, pasien dengan penyakit paru kronis, jadi yang memang sudah ada kelainan pada paru, atau fungsi parunya tidak baik, ini menjadi risiko tinggi mengalami kematian apabila terinfeksi," kata Prof Ari.
Dia menerangkan kondisi saat ini rumah sakit rujukan mengalami kelebihan kapasitas dalam penanganan COVID-19 dan keterbatasan alat kesehatan ventilator yang dibutuhkan pasien dengan gagal napas.
Ari menyebut penanganan pasien dengan kondisi paru yang terinfeksi tidak memungkinkan dilakukan apabila tidak menggunakan alat bantu napas.
"Di sinilah kita harus menjaga ketersediaan ventilator kita cukup, harus meningkatkan ketersediaan ventilator di saat sekarang. Sesuatu yang krusial kalau pasien terjadi gagal napas," kata dia.
Ari juga memaparkan hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan internasional Lancet bahwa pasien COVID-19 dengan fungsi ginjal yang bermasalah juga berisiko mengalami kematian apabila tidak mendapat alat bantu cuci darah setiap saat.
Menurut Ari, alat bantu cuci darah tersebut juga masih terbatas.
Baca juga: 170 ribu APD telah didistribusikan untuk penanganan COVID-19
Baca juga: Gugus Tugas sebar relawan medis tangani COVID-19
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2020
Tags: