Wabah capai tahap kritis, Turki tingkatkan tes virus corona
27 Maret 2020 13:00 WIB
Presiden Turki Tayyip Erdogan mengikuti KTT G20 secara virtual di Huber Mansion, Istanbul, Kamis (26/3/2020). KTT G20 kali ini mengangkat tema utama tentang penanggulangan pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Presidential Press Office/Handout via REUTERS/pras.
Ankara/Istanbul (ANTARA) - Sepekan setelah mengirim setengah juta alat uji virus corona ke Amerika Serikat, Turki sedang berjuang untuk meningkatkan tes virus corona di dalam negeri karena dokter memperingatkan negara itu menghadapi wabah COVID-19 yang tumbuh dengan cepat.
Turki melaporkan infeksi pertamanya hanya lebih dari dua minggu lalu.
Sejak itu, lonjakan kasus menjadi 3.629 telah melampaui angka di sebagian besar negara lain dan pemerintah telah gagal memenuhi target untuk melakukan 10.000 tes per hari.
Dalam wawancara dengan Reuters, para ahli mendesak imbaun tinggal di rumah secara tegas.
Beberapa ahli juga mengatakan ekspor 500.000 alat uji virus corona ke AS membuat Turki memesan satu juta alat tes penyakit itu dari China.
"Angka tes kami rendah. Kami tentu tidak siap. Negara-negara yang siap harus memiliki angka tes tinggi," kata Sinan Adiyaman, ketua Asosiasi Dokter Turki (TTB).
Pemerintah mengatakan telah mengambil langkah-langkah tepat waktu untuk menunda wabah.
Tetapi Adiyaman mengatakan Turki lambat dalam beberapa langkah, termasuk menangguhkan liga olahraga dan mengkarantina yang datang dari luar negeri, terutama ribuan yang kembali bulan ini dari ibadah umroh.
"Sekitar 200.000 orang tiba dari luar negeri sejak wabah dimulai, dan mereka hanya diberikan tes demam sederhana dan dilepaskan di seluruh Turki dengan cara yang tidak terkendali," katanya. "Anda tidak bisa melawan pandemi dengan cara ini."
Sejauh ini, virus corona menewaskan 75 orang di Turki, hub internasional yang memiliki salah satu bandara terbesar di dunia di Istanbul.
Sekitar 40.000 tes telah dilakukan termasuk sekitar 7.000 tes dalam 24 jam terakhir, menunjukkan Turki ingin memenuhi target Menteri Kesehatan Fahrettin Koca yang ditetapkan seminggu lalu.
Jumlah itu hanya dua pertiga dibandingkan tes yang dilakukan di Korea Selatan dimana negeri ginseng itu melakukan lebih banyak tes setiap harinya daripada Turki.
Untuk mengatasi virus itu, Ankara telah menutup sekolah, kafe dan bar, melarang shalat berjamaah, dan menunda pertandingan olahraga dan penerbangan. Presiden Tayyip Erdogan mengatakan Turki, yang memiliki populasi sekitar 83 juta, akan mengatasi wabah dalam dua hingga tiga minggu.
Mustafa Cankurtaran, kepala geriatri di Fakultas Kedokteran Universitas Hacettepe, mengatakan timnya mengikuti pedoman nasional, hanya menguji pasien "berisiko" dengan batuk dan demam. Tetapi bulan depan akan menjadi tahap kritis karena wabah akan meluas, katanya.
Margin tipis
Awal pekan ini Koca mengatakan kit yang dikirim ke AS diproduksi secara lokal dengan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk virus corona. Dia mengatakan Turki memiliki kapasitas produksi bulanan sebanyak 2 juta alat tes, dan menambahkan bahwa alat tes yang dibeli dari China adalah "tes cepat", bukan PCR.
Adiyaman TTB mengatakan pengiriman alat tes membahayakan kesehatan masyarakat dan tenaga medis.
"Mengekspor alat tes ke Amerika Serikat sementara Turki membutuhkannya dan itu perlu digunakan di sini, akan menjadi kesalahan yang tidak termaafkan," katanya.
Irshad Shaikh, Ketua program keamanan kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia di Turki, mengatakan negara itu sekarang memiliki sedikit tempat untuk melakukan kesalahan dan harus menguji setiap orang yang telah melakukan kontak dengan virus.
Bagaimanapun, bahwa ekspor alat tes ke Amerika Serikat, yang dia katakan berada dalam "situasi berbahaya," dapat dilihat sebagai bentuk investasi modal.
"Sekarang jika AS berhasil dalam pengembangan vaksin, kami sudah memiliki uang tunai yang diinvestasikan di bank," kata Shaikh kepada Reuters.
Di antara langkah-langkah penahanan, Ankara mengatakan pihaknya mengkarantina Muslim yang kembali dari Umrah di Arab Saudi.
Tetapi Nihat Gonul, pejabat lokal sebuah desa di provinsi Sakarya sekitar 120 km sebelah timur Istanbul, mengatakan dua peziarah yang kembali, melanjutkan kehidupan mereka secara normal dan menghadiri pertemuan selama berhari-hari sebelum pihak berwenang datang untuk mengkarantina mereka.
"Ada suasana ketidakpastian di desa ini. Orang-orang takut, tidak yakin harus berpikir apa," kata Gonul.
Sumber : Reuters
Baca juga: Turki perpanjang penutupan sekolah hingga 30 April karena wabah corona
Baca juga: Turki tangkap ratusan orang terkait unggahan provokatif soal COVID-19
Baca juga: Turki berlakukan pembatasan toko, bus saat corona telan 37 jiwa
Turki melaporkan infeksi pertamanya hanya lebih dari dua minggu lalu.
Sejak itu, lonjakan kasus menjadi 3.629 telah melampaui angka di sebagian besar negara lain dan pemerintah telah gagal memenuhi target untuk melakukan 10.000 tes per hari.
Dalam wawancara dengan Reuters, para ahli mendesak imbaun tinggal di rumah secara tegas.
Beberapa ahli juga mengatakan ekspor 500.000 alat uji virus corona ke AS membuat Turki memesan satu juta alat tes penyakit itu dari China.
"Angka tes kami rendah. Kami tentu tidak siap. Negara-negara yang siap harus memiliki angka tes tinggi," kata Sinan Adiyaman, ketua Asosiasi Dokter Turki (TTB).
Pemerintah mengatakan telah mengambil langkah-langkah tepat waktu untuk menunda wabah.
Tetapi Adiyaman mengatakan Turki lambat dalam beberapa langkah, termasuk menangguhkan liga olahraga dan mengkarantina yang datang dari luar negeri, terutama ribuan yang kembali bulan ini dari ibadah umroh.
"Sekitar 200.000 orang tiba dari luar negeri sejak wabah dimulai, dan mereka hanya diberikan tes demam sederhana dan dilepaskan di seluruh Turki dengan cara yang tidak terkendali," katanya. "Anda tidak bisa melawan pandemi dengan cara ini."
Sejauh ini, virus corona menewaskan 75 orang di Turki, hub internasional yang memiliki salah satu bandara terbesar di dunia di Istanbul.
Sekitar 40.000 tes telah dilakukan termasuk sekitar 7.000 tes dalam 24 jam terakhir, menunjukkan Turki ingin memenuhi target Menteri Kesehatan Fahrettin Koca yang ditetapkan seminggu lalu.
Jumlah itu hanya dua pertiga dibandingkan tes yang dilakukan di Korea Selatan dimana negeri ginseng itu melakukan lebih banyak tes setiap harinya daripada Turki.
Untuk mengatasi virus itu, Ankara telah menutup sekolah, kafe dan bar, melarang shalat berjamaah, dan menunda pertandingan olahraga dan penerbangan. Presiden Tayyip Erdogan mengatakan Turki, yang memiliki populasi sekitar 83 juta, akan mengatasi wabah dalam dua hingga tiga minggu.
Mustafa Cankurtaran, kepala geriatri di Fakultas Kedokteran Universitas Hacettepe, mengatakan timnya mengikuti pedoman nasional, hanya menguji pasien "berisiko" dengan batuk dan demam. Tetapi bulan depan akan menjadi tahap kritis karena wabah akan meluas, katanya.
Margin tipis
Awal pekan ini Koca mengatakan kit yang dikirim ke AS diproduksi secara lokal dengan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk virus corona. Dia mengatakan Turki memiliki kapasitas produksi bulanan sebanyak 2 juta alat tes, dan menambahkan bahwa alat tes yang dibeli dari China adalah "tes cepat", bukan PCR.
Adiyaman TTB mengatakan pengiriman alat tes membahayakan kesehatan masyarakat dan tenaga medis.
"Mengekspor alat tes ke Amerika Serikat sementara Turki membutuhkannya dan itu perlu digunakan di sini, akan menjadi kesalahan yang tidak termaafkan," katanya.
Irshad Shaikh, Ketua program keamanan kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia di Turki, mengatakan negara itu sekarang memiliki sedikit tempat untuk melakukan kesalahan dan harus menguji setiap orang yang telah melakukan kontak dengan virus.
Bagaimanapun, bahwa ekspor alat tes ke Amerika Serikat, yang dia katakan berada dalam "situasi berbahaya," dapat dilihat sebagai bentuk investasi modal.
"Sekarang jika AS berhasil dalam pengembangan vaksin, kami sudah memiliki uang tunai yang diinvestasikan di bank," kata Shaikh kepada Reuters.
Di antara langkah-langkah penahanan, Ankara mengatakan pihaknya mengkarantina Muslim yang kembali dari Umrah di Arab Saudi.
Tetapi Nihat Gonul, pejabat lokal sebuah desa di provinsi Sakarya sekitar 120 km sebelah timur Istanbul, mengatakan dua peziarah yang kembali, melanjutkan kehidupan mereka secara normal dan menghadiri pertemuan selama berhari-hari sebelum pihak berwenang datang untuk mengkarantina mereka.
"Ada suasana ketidakpastian di desa ini. Orang-orang takut, tidak yakin harus berpikir apa," kata Gonul.
Sumber : Reuters
Baca juga: Turki perpanjang penutupan sekolah hingga 30 April karena wabah corona
Baca juga: Turki tangkap ratusan orang terkait unggahan provokatif soal COVID-19
Baca juga: Turki berlakukan pembatasan toko, bus saat corona telan 37 jiwa
Penerjemah: Azis Kurmala
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020
Tags: