Jakarta (ANTARA News) - Iklan politik di Indonesia berpotensi menganggu demokratik media massa, bila pihak media berketergantungan ke pemasang iklan, media berupaya menyenangkan pemasang iklan, dan pemberitaan media menjadi bias tidak berpihak ke parpol kecil yang tidak mampu memasang iklan, kata pakar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Drs. Zulkarimein Nasution MA.

"Oleh karena itu, media massa harus mempertegas dinding api (firewall) antara berita yang menjunjung kode etik jurnalistik dengan iklannya, sehingga kebijakan redaksi tidak dipengaruhi keinginan pemasang iklan," katanya dalam Bedah Kasus di Sekretariat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Jakarta, Selasa.

"Setiap menjelang lima tahunan jelang pemilu rasanya wartawan dan pengelola media massa perlu diingatkan lagi mengenai etika jurnalistik menghadapi iklan politik, termasuk menghadapi pemilik media yang aktivis parpol," kata Zulkarimein dalam Bedah Kasus bertopik "Banjir Advertorial dan Iklan Politik Dalam Pemilu".

Ia mengingatkan, media massa perlu meneguhkan ketaatan terhadap kode etik jurnalistik, menegakkan akuntabilitas media, memperkokoh pengawasan internal, mencerdaskan khalayak dan dewan kehormatan organisasi profesi harus bersikap tegas terhadap anggotanya.

Zulkarimein mengemukakan, iklan politik di Indonesia agaknya muncul sejak 1999 saat Akbar Tanjung selaku Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) mempromosikan Golkar Baru, yang lepas dari bayang-bayang Orde Baru (Orba), di berbagai media massa.

Hanya saja, ia menilai, di Indonesia kecenderungan iklan politik jelang pemilihan umum (pemilu) 2009, menurut dia, ke arah gaya Amerika Serikat (AS), terutama meniru fenomena Presiden Barrack Hussein Obama Jr. saat berkampanye melawan teman sekaligus saingannya di Partai Demokrat, Hillary Clinton, dan pesaingnya dari Partai Republik, John Mcain.

"Hanya saja, rakyat Amerika betah mendengarkan pidato kampanye Obama, sedangkan di Indonesia politisi yang berkampanye lebih sering diselingi penampilan penyanyi dangdut. Bahkan, ada indikasi rakyat datang ke kampanye untuk menonton penyanyi dangdutnya dibanding dngarkan pidato politik," katanya menambahkan.

Kredibilitas media

Sementara itu, Saur Hutabarat dari Media Indonesia dan Metro TV (Media Grup) mengemukakan, tidak ada koran atau media massa yang mampu bertahan atau mempertahankan kredibilitasnya dengan hanya mengandalkan "durian runtuh" berupa iklan partai politik (parpol) setiap lima tahun sekali.

Ia menilai, parpol gurem sulit untuk menggoyahkan idealisme pers untuk bertahan terhadap kode etiknya. "Bahkan, parpol besar pun belum tentu bisa," ujarnya.

Menanggapi posisi pemilik media yang juga aktivis parpol, Saur menilai, memang satu hal yang sulit, tetapi kebijakan pemberitaan media massa harus menempatkan idealisme jurnalisme di atas kepentingan iklan parpol yang sesaat.

Surya Paloh sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar sekaligus pemilik Media Grup, menurut dia, jika tampil di medianya dalam kemasan berita, maka harus memiliki pula nilai berita.

Menanggapi kecenderungan pemilu 2014, Saur menilai, bakal banyak parpol menjadi merasa miskin untuk beriklan secara total di media massa. "Oleh karena, saat itu tarif iklan pasti sudah jauh lebih mahal dari sekarang. Belum tentu masih ada parpol berani beriklan layaknya Prabowo dari Partai Gerindra," ujarnya.

Ia juga mengemukakan, iklan parpol yang nilainya besar dari Partai Demokrat, Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) perlu ditelaah lebih jauh berkaitan dengan perolehan suara dalam pemilu 2009.

Selain itu, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa calon legislator (caleg) yang dapat lolos ke parlemen berdasarkan suara terbanyak mengakibatkan uang beredar ke arah individu caleg, dan bukan ke dana parpol sebagai prioritas.

"Itu sebabnya iklan besaran uangnya ke individu caleg secara 'out door', di spanduk dan baliho caleg, lebih dominan ke daerah pemilihannya. Bukan ke arah media massa," ujarnya.

Dalam forum yang sama, Rikard Bagun selaku Pemimpin Redaksi (Pemred) Kompas, mempertanyakan: "Siapa bilang ada banjir uang di media massa dari iklan parpol?" Oleh karena, ia menilai, nilai pemberitaan politik media massa jauh lebih besar nilainya dibanding besaran iklan parpol.

Apalagi, ia mengemukakan, iklan parpol di media massa lebih sering menipu, karena menampilkan sesuatu yang dilebih-lebihkan, jauh dari realitas (hyper realita). "Ada dua hal, yang menyangkut uang dan 'hyper realita' ini harus diuji akuntabilitasnya," ujar Rikard.

Dalam beberapa tahun ini, ia menilai, ada pergeseran dari produksi ke konsumsi sehingga politisi berkejaran memasang iklan konsumtif, dan bukan memperlihatkan produktivitasnya.

"Di situ tidak ada kritik balik, dan masyarakat atau publik tidak diberi kesempatan menyampaikan kritik. Dalam hal inilah wartawan dan organisasi, seperti PWI perlu berperan menyampaikan kritik publik," katanya.

Dinding api orientasi industri pers, menurut dia, harus tegas untuk menjaga independensi terhadap godaan semacam iklan parpol yang memang bisa meroboh dinding tersebut. Padahal, ia menegaskan, kredibilitas jurnalisme kalau harus dikorbankan, maka habis pula bisnis media massa bersangkutan.

Rikard pun menilai, di Indonesia senantiasa digaungkan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi, setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif.

"Padahal, ketiga pilar lainnya dibiayai negara, sedangkan pilar keempat yang namanya pers atau media massa harus membiayai dirinya sendiri," ujarnya.

Ia pun menolak anggapan bahwa iklan parpol adalah banjir uang bagi media massa, karena sering ada tokoh yang risau dan sulit menerima kenyataan bila dirinya dikritik media massa lantaran dirinya merasa sudah merasa memasang iklan.

"Hal ini bukan perkara mudah, tetapi media massa memang harus mampu mempertahankan idealisme pemberitaannya," demikian Rikard Bagun.

Bedah kasus Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dipandu Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, Marah Sakti Siregar, itu dihadiri pula para tokoh pers nasional, antara lain DH Assegaff (Media Grup), Sofyan Lubis(Pos Kota), Tribuana Said (Waspada), Rusdy Effendi (Banjarmasin Post) dan Syafik Umar (Pikiran Rakyat), serta H. Margiono (Ketua PWI Pusat). (*)