Sosiolog: Kohesivitas sosial perlu ditingkatkan hadapi COVID-19
24 Maret 2020 20:16 WIB
Direktur Utama Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya Arief Nasrudin (kiri) dan sosiolog yang juga dosen Universitas Indonesia Imam B Prasodjo (kanan) saat jumpa pers yang diadakan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Graha BNPB, Jakarta, Jumat (20/3/2020). (ANTARA/Dewanto Samodr (ANTARA/Dewanto Samodro)
Jakarta (ANTARA) - Sosiolog yang juga dosen Universitas Indonesia Jakarta Imam B Prasodjo mengatakan kohesivitas sosial perlu ditingkatkan untuk menghadapi virus corona penyebab COVID-19.
"Jangan ada jarak sosial saat menghadapi virus corona ini, meskipun jarak secara fisik harus kita lakukan untuk mencegah penularan COVID-19," kata Imam saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Imam mengatakan istilah social distancing yang selama ini kerap digunakan untuk mengampanyekan saling menjaga jarak untuk mencegah penularan virus corona sedikit salah kaprah.
Secara konsep social distancing atau penjarakan sosial sebenarnya berarti pemaksaan jarak antara kelompok masyarakat yang secara sosial berbeda.
"Misalnya, jarak sosial antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin, jarak sosial antara etnis satu dengan etnis lainnya," tuturnya.
Menurut Imam, COVID-19 akan lebih mudah dihadapi bila dilakukan bersama-sama tanpa memandang status sosial seseorang. Karena itu, kohesivitas sosial perlu ditingkatkan.
Untuk menghindari penularan virus corona, yang perlu dilakukan adalah physical distancing atau penjarakan fisik, yaitu mencegah orang satu sama lain berdekatan.
"Dengan tidak berdekatan, maka akan mencegah percikan-percikan yang terjadi saat seseorang batuk, bersin, bahkan berbicara; yang kemungkinan membawa virus corona hinggap di tubuh kita," tuturnya.
Apa pun istilah yang kemudian banyak dipakai, Imam tidak terlalu setuju dengan frasa social distancing atau physical distancing.
"Karena itu berbahasa Inggris dan tidak semua orang memahami. Yang lebih baik disosialisasikan adalah jaga jarak. Mungkin bisa menggunakan bahasa daerah, Jawa misalnya, ojo dempet-dempetan," katanya.
Baca juga: Imam Prasodjo sarankan tiga pertahanan untuk mencegah COVID-19
Baca juga: Imam Prasodjo: Social distancing itu "ojo dempet-dempet"
"Jangan ada jarak sosial saat menghadapi virus corona ini, meskipun jarak secara fisik harus kita lakukan untuk mencegah penularan COVID-19," kata Imam saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Imam mengatakan istilah social distancing yang selama ini kerap digunakan untuk mengampanyekan saling menjaga jarak untuk mencegah penularan virus corona sedikit salah kaprah.
Secara konsep social distancing atau penjarakan sosial sebenarnya berarti pemaksaan jarak antara kelompok masyarakat yang secara sosial berbeda.
"Misalnya, jarak sosial antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin, jarak sosial antara etnis satu dengan etnis lainnya," tuturnya.
Menurut Imam, COVID-19 akan lebih mudah dihadapi bila dilakukan bersama-sama tanpa memandang status sosial seseorang. Karena itu, kohesivitas sosial perlu ditingkatkan.
Untuk menghindari penularan virus corona, yang perlu dilakukan adalah physical distancing atau penjarakan fisik, yaitu mencegah orang satu sama lain berdekatan.
"Dengan tidak berdekatan, maka akan mencegah percikan-percikan yang terjadi saat seseorang batuk, bersin, bahkan berbicara; yang kemungkinan membawa virus corona hinggap di tubuh kita," tuturnya.
Apa pun istilah yang kemudian banyak dipakai, Imam tidak terlalu setuju dengan frasa social distancing atau physical distancing.
"Karena itu berbahasa Inggris dan tidak semua orang memahami. Yang lebih baik disosialisasikan adalah jaga jarak. Mungkin bisa menggunakan bahasa daerah, Jawa misalnya, ojo dempet-dempetan," katanya.
Baca juga: Imam Prasodjo sarankan tiga pertahanan untuk mencegah COVID-19
Baca juga: Imam Prasodjo: Social distancing itu "ojo dempet-dempet"
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2020
Tags: