Jakarta (ANTARA) - Pemerintah diminta untuk memisahkan rumah sakit khusus penanganan COVID-19 dengan yang menangani pasien penyakit kronis lainnya seperti diabetes, hipertensi, tuberkulosis dan lainnnya agar tidak menjadikan penularan.

Komite Ahli TB Indonesia dr Pandu Riono, MPH, PhD dalam keterangan Hari TBC Sedunia melalui konferensi video di Jakarta, Selasa mengatakan orang-orang yang memiliki penyakit kronis dan harus tetap berobat ke rumah sakit memiliki risiko terinfeksi virus COVID-19 bila tidak ada pemisahan fasilitas layanan kesehatan.

Menurut Pandu, rumah sakit yang ditunjuk sebagai rujukan COVID-19 seharusnya khusus menangani pasien virus corona jenis baru tersebut. Sementara pasien-pasien dengan penyakit kronis dipindahkan ke rumah sakit lain yang terbebas dari pelayanan virus corona.
Baca juga: Hingga Selasa, 71 pasien COVID-19 dirawat di RS Darurat Wisma Atlet
Baca juga: RS Darurat di Wisma Atlet untuk pasien positif dengan Tes PCR


Hal itu bertujuan untuk menghindari orang dengan penyakit kronis terinfeksi virus COVID-19 yang bisa mengakibatkan dampak yang lebih buruk dibandingkan orang sehat yang terinfeksi corona jenis baru itu.

"Saran saya ke pemerintah beberapa waktu lalu kita jangan lagi konsep rumah sakit rujukan, tapi rumah sakit khusus korona dan tidak ada mengobati penyakit lain. Sehingga SDM bisa difokuskan untuk melayani orang-orang dengan COVID-19 saja. Sehingga orang dengan penyakit lain, tetap dapat pelayanan," kata dia.

Pandu mengingatkan pelayanan kesehatan bagi pasien penyakit kronis seperti tuberkulosis harus terus berjalan dan pasien mendapatkan obat tanpa terputus. SDM kesehatan seperti dokter spesialis paru juga harus tetap memberikan layanan kesehatan untuk pasien TB yang menjadi salah satu prioritas program pemerintah.

Menurut dia, pemerintah harus tetap memastikan pelayanan kesehatan dasar bagi pasien di luar COVID-19 tetap berjalan sebagaimana biasanya.
Baca juga: Tangani COVID-19, RSUP Ratatotok Buyat ditunjuk untuk rujukan pasien

"Orang dengan kondisi kronis termasuk TB, apapun yang terjadi tidak boleh putus pengobatannya. Artinya kita harus antisipasi itu terjadi," kata dia.

Pandu mengatakan adanya wabah COVID-19 ini dapat dipastikan akan mengganggu program eliminasi TB yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Pasien TB dikhawatirkan tidak datang ke rumah sakit untuk kontrol kesehatannya secara rutin karena menghindari penularan COVID-19.

"Disrupsi dari layanan ini pasti terjadi, tidak bisa dihindari. Yang perlu diantisipasi supaya jangan sampai memutus layanan dan deteksi TB, dan pasien yang dalam masa pengobatan, itu lebih berbahaya," kata Pandu.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu mengatakan estimasi jumlah kasus TB di Indonesia mencapai 845 ribu kasus, namun hanya 570.289 kasus yang tercatat. Dari jumlah kasus tercatat tersebut, sebanyak 4.194 kasus merupakan TB resisten obat atau tahap penyakit TBC tingkat lanjut yang membutuhkan penanganan dan obat khusus.
Baca juga: Pemkab Boyolali siapkan RS khusus pasien COVID-19