Jakarta (ANTARA) - Kondisi pasar keuangan global makin bergejolak akibat penyebaran COVID-19 yang masif ke berbagai belahan dunia, terutama sejak awal Maret 2020.

Meski wabah tersebut mulai mereda di China dan Korea Selatan, namun di negara-negara Eropa dan Asia lainnya, COVID-19 justru sedang memasuki masa kritis, termasuk di Indonesia.

Kondisi itu yang menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) melorot drastis dari posisi pada Senin (2/3) 5.455,05 menjadi 4.194,94 pada Jumat (20/3).

BEI sempat melakukan kebijakan penolakan otomatis (auto rejection) asimetris dan pembekuan perdagangan sementara (trading halt) untuk mencegah kepanikan pasar.

Pergerakan mata rupiah juga mengalami hal yang serupa, dari posisi pada Senin (2/3) senilai Rp14.375 per dolar AS, makin melemah hingga berada pada Rp15.960 per dolar AS pada Jumat (20/3).

Beberapa analis menyatakan ketidakpastian ini dipengaruhi oleh lambatnya penanganan pemerintah terhadap COVID-19 dan peningkatan kasus positif Corona di Indonesia.

Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan kondisi yang terjadi di bursa saham itu merupakan sentimen negatif dan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.

Saat ini OJK juga menilai fundamental pasar modal Indonesia masih dalam keadaan bagus dan tidak mengalami masalah dari sisi tata kelola.

Bank Indonesia (BI) ikut memberikan respons atas pelemahan rupiah dengan mengucurkan hingga Rp300 triliun sejak awal tahun untuk intervensi pasar untuk menahan turunnya rupiah.

Intervensi itu dilakukan di pasar spor, pasar Domestic Non Delivery Forward (DNDF) maupun pembelian kembali Surat Berharga Negara (SBN) yang dilepas investor asing di pasar sekunder.

Dalam rapat kabinet terbatas pada Jumat (20/3), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta dukungan seluruh pihak dalam menghadapi tantangan ekonomi saat ini dan ke depan dari dampak pandemi COVID-19.

Presiden meminta dukungan dari asosiasi usaha, kelompok profesi, serikat buruh, serikat pekerja, himpunan nelayan dan petani dalam menghadapi potensi turunnya kinerja ekonomi.

"Pertumbuhan ekonomi kita yang semula diproyeksikan 5-5,4 persen akan mengalami penurunan. Tantangan ini harus kita hadapi dan kita jawab," ujar Presiden Jokowi.

Baca juga: Sri Mulyani sebut stimulus jilid tiga fokus pada bidang kesehatan


Stimulus ketiga

Meski menghadapi tantangan ekonomi yang berat, Presiden Jokowi juga menyadari penyebaran COVID-19 membutuhkan penanganan yang mendesak.

Pemerintah sudah memastikan akan menerbitkan stimulus ketiga yang fokus kepada peningkatan anggaran kesehatan untuk penanganan wabah maupun jaminan pengaman sosial untuk mitigasi dampak.

Stimulus ini juga fokus kepada pemberian insentif bagi pelaku usaha dan UMKM agar kegiatan produksi tetap berjalan dan mengurangi adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan penanganan COVID-19 menjadi prioritas utama dalam stimulus ketiga seiring dengan makin tingginya kasus positif di Indonesia.

Sri Mulyani sudah mengidentifikasi Rp62,3 triliun anggaran APBN tahun 2020 untuk belanja Kementerian/Lembaga yang bisa direalokasi dalam menangani penyebaran COVID-19.

Belanja yang direalokasi itu sebelumnya merupakan anggaran untuk perjalanan dinas, belanja modal bukan prioritas, belanja barang non-operasional, hingga cadangan. Ia menyatakan anggaran untuk perjalanan dinas Kementerian/Lembaga bisa mencapai kisaran Rp43 triliun.

Menurut dia, setidaknya 50 persen realokasi anggaran itu di antaranya bisa digunakan untuk kebutuhan kesehatan untuk penanganan COVID-19.

Selain itu, juga sudah diidentifikasi realokasi belanja pemerintah daerah Rp56-59 triliun yang bisa digunakan untuk prioritas penanganan, seperti pengadaan alat kesehatan berupa tes kit, alat pelindung diri, kelengkapan rumah sakit, persiapan wisma atlet, dan pembangunan rumah sakit di Pulau Galang, Kepulauan Riau.

Pemerintah ikut mengalokasikan anggaran sebesar Rp6,1 triliun dalam bentuk asuransi dan santunan kepada tenaga medis yang menangani wabah.

"Mereka (tenaga medis) ada di depan yang menghadapi risiko paling besar," kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Meski begitu, lanjut dia, desain pemberian santunan dan asuransi kepada tenaga medis itu masih dimatangkan pemerintah.

Pemerintah juga masih menghitung besaran dana agar segera bisa diberikan kepastian kepada seluruh tenaga medis baik dokter, dokter spesialis dan perawat atau paramedis.

"Kami sudah mencadangkan total untuk intervensi ini antara Rp3,1 hingga Rp6,1 triliun," imbuh Sri Mulyani.

Sebagai gambaran hingga saat ini total rumah sakit yang disiapkan untuk menangani pasien COVID-19 mencapai 359 rumah sakit di seluruh Indonesia. Pemerintah telah menunjuk rumah sakit atau rujukan sebanyak 132 rumah sakit, ditambah 109 RS milik TNI, RS Polri (53) dan RS BUMN (65).

Sementara itu pada Minggu (22/3), sudah ada 514 kasus positif COVID-19 yang tersebar di 20 provinsi di Indonesia dengan 29 orang di antaranya sembuh dan 48 orang lainnya meninggal dunia.

Angka kematian yang mendekati 10 persen ini merupakan salah satu tertinggi di antara negara-negara yang juga terdampak oleh wabah COVID-19.

Baca juga: Ekonom Indef dorong percepatan stimulus kesehatan

Mitigasi kesehatan

Ekonom Chatib Basri mengatakan dalam kondisi diberlakukannya pembatasan sosial maka stimulus fiskal akan lebih baik diarahkan untuk menangani persoalan kesehatan.

Stimulus itu dapat diarahkan untuk menanggulangi wabah dan menurunkan penularan dengan memberikan test kit yang memadai, tenaga medis yang mencukupi serta obat-obatan yang ampuh.

Selain itu, untuk memitigasi dampak wabah kepada masyarakat yang berpotensi kehilangan pekerjaan juga diperlukan perluasan pemberian bantuan sosial.

Pemerintah, lanjut dia, juga perlu memastikan stok makanan dalam keadaan terkendali, karena kenaikan harga makanan bisa menimbulkan keresahan sosial.

"Setelah situasi kembali normal, barulah standar counter cyclical fiscal monetary untuk mendorong permintaan bisa kembali dijalankan," kata Chatib.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga mendorong pemerintah mempercepat pelaksanaan stimulus ketiga yang menyasar kesehatan.

Stimulus ini diperlukan karena penyebaran COVID-19 telah meluas dan makin menambah korban terdampak baik di tingkat nasional dan global.

"Harusnya stimulus ketiga menjadi stimulus yang pertama, mendahulukan masalah kesehatan," kata Bhima saat dihubungi di Jakarta.

Menurut dia, stimulus satu terkait pariwisata dan stimulus dua terkait pajak pekerja serta dunia usaha baru dapat diterapkan apabila masa pemulihan sudah berlangsung.

Meski terbit dalam tataran pelaksanaan yang berbeda, Bhima mengharapkan stimulus yang sudah diluncurkan pemerintah dapat saling mendukung untuk memperkuat kinerja ekonomi.

Setelah persoalan kesehatan dapat ditangani, tugas berat selanjutnya adalah mendorong daya dongkrak ekonomi yang terhenti selama periode krusial ini.

Selama pembatasan sosial, konsumsi rumah tangga pasti terdampak oleh berkurangnya permintaan dan investasi ikut melemah seiring dengan pembatasan akses dari negara-negara tertentu.

Selain itu, kinerja ekspor impor yang sudah lama mengalami kelesuan karena adanya perang dagang makin terkontraksi dengan adanya wabah COVID-19.

Kepala Departemen Ekonomi Centre of Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri memperkirakan penyebaran Virus Corona dapat memperlemah kinerja ekonomi hingga empat-enam bulan.

Bank Indonesia bahkan sudah merevisi turun pertumbuhan ekonomi pada 2020 menjadi 4,2 persen-4,6 persen, dari sebelumnya 5,0-5,4 persen.

Dalam skenario terburuk Menkeu Sri Mulyani Indrawati ikut memprediksi pertumbuhan ekonomi hanya berada pada kisaran nol hingga 2,5 persen.

Beberapa sektor jasa seperti usaha produksi tersier, pariwisata maupun restoran dan hotel diperkirakan terdampak lebih dalam karena berkurangnya permintaan.

Oleh karena itu, setelah upaya pemulihan sudah membuahkan hasil, maka pemerintah harus mulai memikirkan upaya membangun kepercayaan publik untuk kembali membangun ekonomi ke depannya.

"Kepercayaan dunia usaha harus ditanam kembali. Birokrasi tidak boleh ribet, jangan sampai banyak aturan yang menghambat upaya memulai kembali usaha dan investasi," kata Yose Rizal.

Baca juga: Pemerintah bersiap hadapi ancaman perlambatan ekonomi akibat Corona