Padang, (ANTARA) - Kota tepi air atau waterfront city merupakan konsep pengembangan kota yang mungkin terdengar baru, yang pertama kali digagas oleh seorang pakar urban Amerika Serikat yaitu James Rouse pada 1970 untuk mengatasi kondisi sungai kota yang kumuh.

Penerapan konsep waterfront city sebenarnya sudah dimulai di Indonesia pada 1620 di Sungai Ciliwung, Jakarta atau Batavia ketika masa penjajahan Belanda. Saat itu waterfront city hanya untuk sarana transportasi serta membangun suatu kota tiruan Belanda. Lalu bagaimana waterfront city sekarang?

Pengembangan konsep waterfront city di Indonesia saat ini sudah kian pesat karena tidak saja untuk tata kota dan mengatasi banjir, namun juga untuk pariwisata. Bahkan saat ini kota-kota di Indonesia berlomba-lomba untuk mengembangkan konsep tersebut.

Salah satu kota yang sedang giat-giatnya membangun konsep waterfront city tersebut yaitu Kota Pariaman, Sumatera Barat. Menariknya, kota yang berdiri secara otonom pada 2002 ini mengembangkan konsep kota tepi air untuk seluruh sungai dan pantai.

Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Provinsi Sumbar Syafriyanti mengatakan Pariaman merupakan satu-satunya kota di provinsi itu yang mengusung konsep pembangunan waterfront city.

"Kalau kota yang memiliki konsep waterfront city memang di Pariaman," kata dia.

Meskipun daerah lainnya di Sumbar juga menata sungai dengan konsep waterfront city yang pembangunannya dibantu pemerintah provinsi, namun secara keseluruhan tidak mengusung konsep waterfront city seperti di Pariaman.

Wali Kota Pariaman Genius Umar mengatakan pengembangan konsep waterfront city di daerah itu dimulai semenjak dua tahun lalu dan hingga sekarang telah menelan anggaran lebih dari Rp15 miliar.

"Dana pembangunannya berasal dari berbagai sumber mulai dari APBD, APBN hingga tanggung jawab sosial atau CSR perusahaan BUMN, salah satunya PT PLN," kata dia.

Baca juga: Pariaman minta bantuan pemerintah pusat bangun "waterfront city"

Adapun lokasi yang sudah dikembangkan berdasarkan konsep waterfront city yaitu Muara Pariaman, Talo Pauh, lalu beberapa lokasi di sejumlah sungai yaitu Batang Pampan, Batang Piaman, hingga Batang Mangur. Nantinya secara bertahap semua sungai, pantai, dan talao atau danau kecil di daerah itu memiliki konsep kota tepi air.

Ia menyampaikan pengembangan kota dengan konsep waterfront city tersebut yaitu memberdayakan aliran sungai yang ada di Kota Pariaman guna menunjang pariwisata.

Hal tersebut dapat dilihat dari Talao Pauh, Kecamatan Pariaman Tengah, yang dibangun pada 2019 oleh pemerintah pusat dengan dana sebesar Rp8,3 miliar dan kini telah menjadi objek wisata baru yang disukai milenial untuk swafoto.

Talao Pauh dikelilingi trek jalan kaki yang dapat digunakan untuk joging guna mendukung wisata olahraga di Kota Pariaman, dan di tengah danau kecil itu terdapat dua jembatan yang menghubungkan dua sisi danau sehingga wisatawan dapat berjalan di atasnya dan berfoto. Di kawasan talao itu juga terdapat sejumlah gazebo yang difungsikan sebagai tempat beristirahat pengunjung bercengkrama dengan keluarga atau teman sejawat.

Meskipun talao tersebut telah banyak dikunjungi oleh wisatawan, namun pengembangannya masih akan dilakukan, salah satunya akan dilengkapi air mancur, penambahan lampu serta melepas sejumlah jenis ikan guna menambah daya tarik objek wisata itu.

"Sekarang pH air masih buruk karena baru selesai pembangunan, jadi harus ada rekayasa teknologi yaitu dengan air mancur," katanya

Sedangkan untuk penerangan, lanjutnya pihaknya akan menambah lampu di kawasan itu serta di jembatan yang menghubungkan antara dua sisi talao sehingga dengan adanya penerangan itu maka objek wisata tersebut dapat dikunjungi malam hari.

“Di jembatan akan kami pasangkan lampu hias berbentuk rumah adat Minangkabau," ujarnya.

Belum selesai sempurna pembangunan Talao Pauh, Pemerintah Kota Pariaman sedang merancang pembangunan Taloa Manggung di Kecamatan Pariaman Utara untuk menjadi objek wisata baru.

"Saya sudah minta Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan untuk membuat perencanaannya," kata dia.

Dana pengembangan talao ini pun juga akan diminta ke pemerintah pusat karena daerah itu keterbatasan anggaran. Menurutnya Talao Manggung memiliki potensi lebih besar dari pada Talao Pauh karena lebih luas serta pemerintah desa ikut mengembangkannya.

Sedangkan untuk tahun ini, kata dia pemerintah pusat akan mengucurkan Rp16 miliar untuk pembangunan waterfront city di Sungai Batang Piaman dan untuk sungai Batang Pampan Rp12 miliar.


Pembangunan waterfront city tersebut nantinya juga akan dilanjutkan ke seluruh aliran sungai di Kota Pariaman. Jika pembangunan waterfront city di Sungai Batang Piaman saja terwujud maka terjadi peningkatan penerapan konsep kota tepi air secara drastis di Kota Pariaman apalagi seluruh wilayah di kota itu.

Baca juga: Konsep "Waterfront City" untuk pikat wisatawan ke Danau Toba

Pasalnya jika melihat ke kota negara maju salah satunya Melaka, Malaysia, yang memanfaatkan sungai Melaka River Cruise untuk mengelilingi kota maka Pariaman juga dapat melakukan hal serupa untuk menarik wisatawan dan meningkatkan pendapatan warga. Warga dapat membuka usaha perahu wisata untuk menyusuri Sungai Batang Piaman yang melintasi kota tabuik itu.

Ketua DPRD Kota Pariaman Fitri Nora mengatakan konsep waterfront city yang dikembangkan oleh pemerintah setempat di daerah itu dapat mengedukasi generasi muda untuk menjaga lingkungan.

"Inti dari waterfront city kan kebersihan lingkungan, tanpa kebersihan lingkungan konsep ini tidak akan terwujud," kata dia.

Ia mengatakan untuk mewujudkan hal tersebut warga dan terutama generasi muda di Pariaman tidak membuang sampah sembarangan serta tidak menjadikan sungai sebagai tong sampah.

"Jika mengacu ke luar negeri yang memiliki konsep waterfront city, warga dan wisatawannya duduk di tepi sungai dan bahkan menyusurinya, di sini pun juga bisa seperti itu," ujarnya.

Namun, lanjutnya agar warga dan wisatawan nyaman duduk di tepi sungai maka sepanjang aliran sungai di daerah itu harus bersih.

Ketua Kamar Dagang dan Industri Kota Pariaman Jamohor mendukung pengembangan waterfront city di daerah itu karena potensial meningkatkan pendapatan warga dari sektor pariwisata. Warga tidak saja bisa menjadi pemandu wisata namun juga menjual makanan dan suvenir di lokasi objek wisata.

“Jadi hendaknya juga diikuti dengan pelatihan pembuatan suvenir khas Pariaman untuk warga,” ujar dia.

Ia menyampaikan istri-istri nelayan dapat membuat makanan ringan serta suvenir sambil menunggu suaminya pulang melaut sehingga dapat menambah pendapatan keluarga.

Meskipun pengembangan waterfront city terbilang baru di Pariaman, namun secara bertahap akan membuahkan hasil terutama untuk peningkatan ekonomi masyarakat.

Untuk itu mulai tahun ini Pemerintah Kota Pariaman mengubah mekanisme penyelenggaraan kegiatan wisata dengan menjadikan warga dan komunitas sebagai pelaksana.

"Biasanya acara wisata diselenggarakan pemerintah namun mulai tahun ini 38 dari 48 kegiatan yang akan diselenggarakan di Kota Pariaman dilaksanakan oleh komunitas atau masyarakat," kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Pariaman Alfian.

Hal itu, kata dia, untuk memberikan ruang kepada masyarakat terlibat dalam mengembangkan pariwisata di daerah itu. "Jadi pemerintah daerah hanya sebagai regulator, pembina, dan pengawas saja," katanya.

Baca juga: Pemkot Pariaman promosikan pariwisata ke tingkat Asia Pasifik