IABI: Pemerintah harus pastikan masker-penyanitasi tangan tersedia
22 Maret 2020 14:35 WIB
Pelaku UKM menata produk masker di rumah produksinya di Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (21/3/2020). Pelaku UKM mengaku, permintaan masker di tengah mewabahnya penyakit COVID-19 di Indonesia dalam kurun dua pekan terakhir telah menyebabkan permintaan masker dari industri rumahan meningkat, yakni dibanding hari biasanya sebelum wabah Novel Corona merebak sekitar 750-an buah, menjadi 1.800-2.200 buah per hari. ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/hp.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Dicky Pelupessy menyarankan pemerintah harus memastikan ketersediaan masker dan penyanitasi tangan berbasis alkohol (hand sanitizer) di pasar dalam rangka mengurangi kecemasan masyarakat dalam menghadapi pandemi COVID-19.
"Ada barang-barang yang kemudian orang merasa aman kalau ada barang-barang itu seperti masker dan penyanitasi tangan. Sebaiknya pasokannya diperbanyak, ditambah, dan diperluas," kata Dicky kepada wartawan ANTARA dan RRI usai jumpa pers yang diadakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Kantor Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Minggu, terkait "panic buying".
"Panic buying" adalah fenomena di mana masyarakat melakukan pembelian berlebih atau yang biasa disebut penimbunan, barang tertentu pada saat terjadi situasi darurat.
Dicky mengatakan bahwa agak sulit menetapkan patokan jumlah barang yang seharusnya dibeli masyarakat agar tidak melakukan pembelian berlebihan secara panik karena beberapa barang sedikit di pasaran seperti masker dan penyanitasi tangan itu.
Di saat wabah virus COVID-19 terjadi seperti sekarang ini, masyarakat diliputi kecemasan karena takut barang yang mendesak dibutuhkan tidak ada atau sulit didapatkan di pasaran.
Barang-barang yang menjadi incaran masyarakat saat ini adalah penyanitasi tangan dan masker. Akibatnya, masyarakat berbondong-bondong mencari dan membeli produk-produk tersebut, harga kedua barang itu menjadi melonjak tinggi, dan sulit dicari dan didapatkan.
Namun, dia menyarankan agar masyarakat cerdas dalam berbelanja barang kebutuhan saat menghadapi wabah virus COVID-19 ini, bukan panik berbelanja sehingga berbelanja berlebihan dan seolah menimbun barang, tapi menggunakan akal sehat (common sense) dalam berbelanja yakni berbelanja sesuai kebutuhan dan kemampuan.
"Ada barang-barang yang lebih sedikit atau pasokannya lebih kurang dibanding barang yang lain jadi agak sulit menggunakan patokan," katanya.
Bila perlu, kata Dicky, pemerintah bisa memastikan ketersediaan barang dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa pasokan barang mendesak itu aman.
Misalnya satu pabrik atau anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang biasanya bergerak di usaha lain sekarang memroduksi masker. "Itu memberikan sinyal yang baik," katanya.
"Pemerintah harus serius untuk kemudian menyediakan barang-barang yang dibutuhkan mendesak agar membuat orang merasa aman," demikian Dicky Pelupessy.
Baca juga: Darurat COVID-19, pemerintah setop ekspor masker
Baca juga: Litbang Kemenperin produksi cairan pembersih tangan 500 liter/hari
Baca juga: Pemerintah disarankan tetapkan batas harga jual masker
Baca juga: 1.000 penyanitasi tangan disiapkan ACT Sulsel di tempat publik
Baca juga: Kemendikbud: Dana BOS bisa dipakai sekolah beli penyanitasi tangan
"Ada barang-barang yang kemudian orang merasa aman kalau ada barang-barang itu seperti masker dan penyanitasi tangan. Sebaiknya pasokannya diperbanyak, ditambah, dan diperluas," kata Dicky kepada wartawan ANTARA dan RRI usai jumpa pers yang diadakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Kantor Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Minggu, terkait "panic buying".
"Panic buying" adalah fenomena di mana masyarakat melakukan pembelian berlebih atau yang biasa disebut penimbunan, barang tertentu pada saat terjadi situasi darurat.
Dicky mengatakan bahwa agak sulit menetapkan patokan jumlah barang yang seharusnya dibeli masyarakat agar tidak melakukan pembelian berlebihan secara panik karena beberapa barang sedikit di pasaran seperti masker dan penyanitasi tangan itu.
Di saat wabah virus COVID-19 terjadi seperti sekarang ini, masyarakat diliputi kecemasan karena takut barang yang mendesak dibutuhkan tidak ada atau sulit didapatkan di pasaran.
Barang-barang yang menjadi incaran masyarakat saat ini adalah penyanitasi tangan dan masker. Akibatnya, masyarakat berbondong-bondong mencari dan membeli produk-produk tersebut, harga kedua barang itu menjadi melonjak tinggi, dan sulit dicari dan didapatkan.
Namun, dia menyarankan agar masyarakat cerdas dalam berbelanja barang kebutuhan saat menghadapi wabah virus COVID-19 ini, bukan panik berbelanja sehingga berbelanja berlebihan dan seolah menimbun barang, tapi menggunakan akal sehat (common sense) dalam berbelanja yakni berbelanja sesuai kebutuhan dan kemampuan.
"Ada barang-barang yang lebih sedikit atau pasokannya lebih kurang dibanding barang yang lain jadi agak sulit menggunakan patokan," katanya.
Bila perlu, kata Dicky, pemerintah bisa memastikan ketersediaan barang dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa pasokan barang mendesak itu aman.
Misalnya satu pabrik atau anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang biasanya bergerak di usaha lain sekarang memroduksi masker. "Itu memberikan sinyal yang baik," katanya.
"Pemerintah harus serius untuk kemudian menyediakan barang-barang yang dibutuhkan mendesak agar membuat orang merasa aman," demikian Dicky Pelupessy.
Baca juga: Darurat COVID-19, pemerintah setop ekspor masker
Baca juga: Litbang Kemenperin produksi cairan pembersih tangan 500 liter/hari
Baca juga: Pemerintah disarankan tetapkan batas harga jual masker
Baca juga: 1.000 penyanitasi tangan disiapkan ACT Sulsel di tempat publik
Baca juga: Kemendikbud: Dana BOS bisa dipakai sekolah beli penyanitasi tangan
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020
Tags: