Ecoton: Sampah masker jadi masalah baru lingkungan
20 Maret 2020 15:52 WIB
Para pekerja di unit pengolahan Golimbah Bandung sedang memilah-milah sampah plastik dan rumah tangga untuk didaur ulang menjadi bahan bermanfaat (20/3) (ANTARA/HO)
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Enviromental Conservation Organization (Ecoton), Prigi Arisandi mengatakan masker sekali pakai yang dijual di pasaran umumnya terbuat dari bahan sintetis sehingga masuk kategori sampah residu dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan..
"Masker di pasaran umumnya nonwoven (sintetis) sehingga masuk kategori sampah ;residu' yang pengolahannya harus di-dumping di TPA, sehingga untuk antisipasi jumlah sampah masker yang jumlahnya bakal melimpah maka pemerintah daerah dan kabupaten harus menyediakan layanan kontainer khusus sampah bekas masker," ujarnya di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Imam Prasodjo sarankan tiga pertahanan untuk mencegah COVID-19
“Minimnya informasi tentang efektivitas penggunaan masker sebagai alat antisipasi mencegah virus corona ini menjadi sebab utama pembelian secara massal. Padahal di sisi lain pemakaian masker sendiri justru akan sia-sia jika tidak diiringi dengan upaya antisipasi lainnya,” ujarnya.
Ia lebih lanjut mengatakan ketidakadaan masker di pasaran bisa diantisipasi dengan masker buatan sendiri (handmade masker) sebagai filter partikulat.
"Untuk meningkatkan efektivitasnya kalau terbuat dari kain maka harus dibuat berlapis sebagai filter partikulat dan kelembaban kain harus tetap terjaga," ujarnya.
Sementara itu, Archie Satya Nugroho dari Golimbah mengatakan, fenomena melonjaknya pembelian terhadap masker sekali pakai di Indonesia berpotensi menimbulkan masalah baru bagi lingkungan.
Baca juga: Sosiolog: Bisa ada sanksi jika masyarakat tak sadar pembatasan sosial
“Masker sekali pakai ini sifatnya sampah non-daur ulang sehingga akan berakhir di tempat pembuangan sampah (TPS) liar, sungai dan laut. Selain itu, sampah masker juga berpotensi sebagai media penyebaran berbagai penyakit,” ujar Archie, pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO).
Golimbah ujarnya akan melakukan riset untuk menindaklanjuti masalah ini dengan mencoba menggabungkan teknologi hidrotermal dan pirolisis. Kemudian akan dilakukan beberapa kali tes untuk melihat sampah masker tersebut dapat berpotensi menjadi bahan yang lebih bernilai guna.
Lebih lanjut, Archie menambahkan untuk prosesnya sendiri akan dilakukan dengan menggunakan temperatur sangat tinggi mulai 150 derajat Celcius hingga 500 derajat Celcius sehingga bakteri ataupun virus yang menempel pada masker tersebut akan mati.
“Terkait riset sampah masker sekali pakai ini sudah mulai sejak Maret dan ditargetkan akan selesai dalam waktu dua hingga tiga bulan ke depan. Pasalnya, dalam riset ini pengumpulan masker kami lakukan secara mandiri, tidak melalui donasi dan hal ini yang masih menjadi kendala karena kami harus berhati-hati,” ujarnya.
Baca juga: Penularan COVID-19 di Yogyakarta terbagi dalam tiga kluster
Baca juga: Gubernur Jatim tetapkan status darurat bencana COVID-19
Baca juga: Komunitas Singapura di Batam sumbang APD COVID-19
"Masker di pasaran umumnya nonwoven (sintetis) sehingga masuk kategori sampah ;residu' yang pengolahannya harus di-dumping di TPA, sehingga untuk antisipasi jumlah sampah masker yang jumlahnya bakal melimpah maka pemerintah daerah dan kabupaten harus menyediakan layanan kontainer khusus sampah bekas masker," ujarnya di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Imam Prasodjo sarankan tiga pertahanan untuk mencegah COVID-19
“Minimnya informasi tentang efektivitas penggunaan masker sebagai alat antisipasi mencegah virus corona ini menjadi sebab utama pembelian secara massal. Padahal di sisi lain pemakaian masker sendiri justru akan sia-sia jika tidak diiringi dengan upaya antisipasi lainnya,” ujarnya.
Ia lebih lanjut mengatakan ketidakadaan masker di pasaran bisa diantisipasi dengan masker buatan sendiri (handmade masker) sebagai filter partikulat.
"Untuk meningkatkan efektivitasnya kalau terbuat dari kain maka harus dibuat berlapis sebagai filter partikulat dan kelembaban kain harus tetap terjaga," ujarnya.
Sementara itu, Archie Satya Nugroho dari Golimbah mengatakan, fenomena melonjaknya pembelian terhadap masker sekali pakai di Indonesia berpotensi menimbulkan masalah baru bagi lingkungan.
Baca juga: Sosiolog: Bisa ada sanksi jika masyarakat tak sadar pembatasan sosial
“Masker sekali pakai ini sifatnya sampah non-daur ulang sehingga akan berakhir di tempat pembuangan sampah (TPS) liar, sungai dan laut. Selain itu, sampah masker juga berpotensi sebagai media penyebaran berbagai penyakit,” ujar Archie, pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO).
Golimbah ujarnya akan melakukan riset untuk menindaklanjuti masalah ini dengan mencoba menggabungkan teknologi hidrotermal dan pirolisis. Kemudian akan dilakukan beberapa kali tes untuk melihat sampah masker tersebut dapat berpotensi menjadi bahan yang lebih bernilai guna.
Lebih lanjut, Archie menambahkan untuk prosesnya sendiri akan dilakukan dengan menggunakan temperatur sangat tinggi mulai 150 derajat Celcius hingga 500 derajat Celcius sehingga bakteri ataupun virus yang menempel pada masker tersebut akan mati.
“Terkait riset sampah masker sekali pakai ini sudah mulai sejak Maret dan ditargetkan akan selesai dalam waktu dua hingga tiga bulan ke depan. Pasalnya, dalam riset ini pengumpulan masker kami lakukan secara mandiri, tidak melalui donasi dan hal ini yang masih menjadi kendala karena kami harus berhati-hati,” ujarnya.
Baca juga: Penularan COVID-19 di Yogyakarta terbagi dalam tiga kluster
Baca juga: Gubernur Jatim tetapkan status darurat bencana COVID-19
Baca juga: Komunitas Singapura di Batam sumbang APD COVID-19
Pewarta: Zita Meirina dan Zainiya Abidatun
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020
Tags: