Artikel
Ikhtiar berbagi bersama di tengah pandemi COVID-19
Oleh Andi Jauhary
19 Maret 2020 18:26 WIB
Ilustrasi - Wakil Wali Kota Sorong Pahima Iskandar (keempat kanan) membacakan dan membagikan surat edaran Wali Kota Sorong tentang antisipasi wabah virus corona kepada pengendara motor di jalan Pramuka Kota Sorong, Papua Barat, Rabu (5/2/2020). ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/ama. (ANTARA FOTO/OLHA MULALINDA)
Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Indonesia tidak dapat dipungkiri dikenal dengan nilai-nilai budaya saling membantu antarsesama, terlebih jika ada yang sedang mengalami musibah, baik bencana alam maupun non-alam, seperti bencana sosial-kemanusiaan.
Hari-hari ini, cobaan atas masalah yang sedang dialami bangsa dan rakyat Indonesia -- sebagai bagian dari warga dunia -- dari Sabang di Provinsi Aceh hingga Merauke di Provinsi Papua adalah pandemi virus corona jenis baru yang menyebabkan penyakit COVID-19.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lah yang telah menetapkannya penyakit itu sebagai pandemi.
Dalam data peta penyebaran virus COVID-19 tersebut, kini setidaknya sudah ada sebanyak 157 negara dan wilayah yang terjangkit virus COVID-19 itu.
Dampak dari pandemi penyakit COVID-19 itu merambah pada hampir semua sendi-sendi kehidupan, baik kesehatan sendiri, sosial, ekonomi dan lainnya.
Wujudnya, adalah kelangkaan sejumlah bahan dan alat pelindung diri (APD) kesehatan -- yang tidak hanya dibutuhkan masyarakat luas, namun justru untuk para tenaga kesehatan -- seperti masker untuk melindungi dari tertularnya seseorang dari orang yang sudah terinfeksi, dan juga penyanitasi tangan (hand sanitizer).
Jika pun ada, maka lonjakan harga terjadi secara fantastis. Sudah bukan rahasia lagi penyanitasi tangan yang sebelum COVID-19 harganya terjangkau di kisaran belasan ribu rupiah atau di bawahnya, kini "meroket" hingga enam dan tujuh kali lipat. Pun, demikian dengan harga masker.
Begitu sulitnya saat ini untuk mengakses masker dan penyanitasi tangan sebagai perlindungan diri dari orang yang sudah tertular, khususnya di tempat publik, dengan harga terjangkau sehingga menyebabkan sebagian besar masyarakat sangat kesulitan.
Sayangnya, dalam kondisi yang semestinya bisa terbangun rasa simpati dan empati, ada juga kalangan yang lebih mementingkan diri sendiri.
Salah satu contoh memprihatinkan adalah penjelasan Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bahteramas Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dr Sjarief Subijakto.
Ia menjelaskan di tengah merebaknya virus COVID-19, RSUD terpaksa membatalkan jadwal operasi pada pasien karena kehabisan stok masker.
Upaya berkoordinasi untuk mengadakan masker di RSUD tersebut sudah dilakukan dengan menghubungi Jakarta, Makassar, dan Surabaya, tapi masker kosong. Dicoba lagi melalui Dinas Kesehatan Provinsi Sultr,a namun cuma mendapat satu dus saja.
Dalam kondisi darurat itu, sebagai solusi untuk menghadapi situasi tersebut Sjarief Subijakto terpaksa meminta tenaga medis membuat masker dengan menjahit kain untuk digunakan sebagai alat pelindung diri (APD) sebanyak-banyaknya.
Menimbun
Alih-alih bisa saling membantu, bersolidaritas sosial, namun malah ada yang memanfaatkannya dengan pertimbangan keuntungan ekonomi, yakni menahan atau menimbun bahan dan alat-alat tersebut, dan kemudian menjualnya dengan harga sangat mahal.
Baca juga: Kemendikbud terapkan bekerja dari rumah bagi ASN Pusat
Praktik menimbun semacam itu, dalam Islam adalah perbuatan tercela, baik didasarkan pada hukum syariah maupun aturan-aturan fiqh.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dr H Anwar Abbas, MM, M.Ag menegaskan bahwa dalam Islam perbuatan menimbun barang tersebut dikenal dengan istilah "ihtikar", dan itu merupakan praktik dan perbuatan yang sangat tercela.
Karena itu, Pemerintah Indonesia melalui pihak kepolisian harus menindak tegas penimbun barang, khususnya oknum yang menimbun masker dan penyanitasi tangan, setelah munculnya virus corona itu.
Baca juga: RSUP Sardjito rawat satu pasien asal Jepang di ruang isolasi
Penimbun itu harus ditindak dan dihukum karena perbuatanitu jelas merupakan praktik yang dapat menimbulkan bencana dan mara bahaya, yakni tatkala ada oknum melakukan penimbunan tersebut, dan di saat ini justru sangat dibutuhkan, namun warga sulit mendapatkannya sehingga perbuataan tercela itu berdampak masyarakat lainnya lebih mudah terjangkit virus mematikan itu.
Rasulullah Muhammad SAW dalam sebuah hadisnya juga menegaskan bahwa menimbun barang yang dibutuhkan, termasuk perbuatan berdosa.
Sementara ulama besar Imam Nawawi, dalam kitab Syarah Sahih Muslim menyatakan pengertian menimbun barang dalam hadis ini bukanlah menimbun secara umum, namun dengan membeli barang tertentu dalam jumlah banyak, lalu menyimpannya dengan maksud harga barang tersebut menjadi tinggi saat terjadi kelangkaan.
Kesetiakawanan sosial
Dengan budaya saling menolong sesama, sebenarnya Indonesia juga memiliki rasa kesetiakawanan, yang kemudian oleh negara diadopsi dan diformalkan melalui yang sudah dikenal umum sebagai Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN).
Garda depan dalam HKSN yang diselenggarakan setiap tahun adalah Kementerian Sosial (Kemensos).
Baca juga: Pabrik masker ilegal di Cilincing datangkan mesin dan bahan dari China
Mensos masa bakti 27 Oktober 2014 - 17 Januari 2018 Khofifar Indar Parawansa pada peringatan HKSN 2017 di Sumenep, Madura, Jawa Timur menceritakan cikal bakal dan sejarah lahirnya HKSN.
Ia menyebut hal itu bermula dari "Peristiwa Maguwo 1948" di Yogyakarta pada 20 Desember, yang membuat Panglima Besar Jenderal Sudirman dan pasukannya memilih bergerilya untuk melawan Belanda.
Selama bergerilya, Jenderal Sudirman dan pasukannya mendapat perlindungan dari warga dan upaya perlindungan masyarakat terhadap Jenderal Sudirman dan pasukannya tersebut lah yang merupakan asal muasal peringatan HKSN.
Apa yang diceritakan Khofifah itu dikuatkan melalui penelusuran dalam laman Universitas Malahayati Bandarlampung http://malahayati.ac.id/?p=14965 bahwa tanggal 20 Desember 1949 dipilih karena bertepatan dengan peristiwa bersejarah bersatunya seluruh lapisan masyarakat untuk mempertahankan kedaulatan negara atau sehari setelah tentara kolonial Belanda menyerbu dan menduduki Ibu Kota negara Yogyakarta sehingga tanggal itu oleh Kemensos dijadikan sebagai "Hari Sosial".
Dalam perjalanan sejarahnya, pada akhirnya berubah menjadi "Hari Kebhaktian Sosial", dan berganti lagi menjadi "Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional".
Perjalanan sejarah pergantian itu bermula dari Hari Sosial I yang untuk pertama kali diperingati pada tanggal 20 Desember 1958 dan dicetuskan oleh Mensos saat itu H Moeljadi Djojomartono.
Lalu, pada peringatan XIX tanggal 20 Desember 1976 oleh Mensos HMS Mintardja SH nama Hari Sosial diubah menjadi Hari Kebhaktian Sosial dan pada peringatan XXVI tanggal 20 Desember 1983 oleh Mensos Nani Soedarsono SH diubah lagi menjadi Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional yang hingga kini dikenal dengan HKSN.
Dalam era kekinian, Kemensos menyebutkan bahwa kesetiakawanan nasional adalah nilai dasar yang terwujud dalam bentuk pikiran, sikap, dan tindakan saling peduli dan berbagi, yang dilandasi oleh kerelaan, kesetiaan, kebersamaan, toleransi, dan kesetaraan guna meningkatkan harkat, martabat, serta harga diri setiap warga negara Indonesia.
Pada peringatan HKSN 2019 di Banjarmasin, Kalsel dengan tema "Kesetiakawanan Menembus Batas" yang dihadiri Wapres KH Ma'ruf Amin dan Mensos Juliari P Batubara, Kemensos juga menyebut kesetiakawanan sosial masa kini adalah instrumen menuju kesejahteraan masyarakat melalui gerakan peduli dan berbagi oleh, dari, dan untuk masyarakat, baik pribadi maupun secara bersamaan berdasarkan nilai kemanusiaan, kebersamaan, kegotongroyongan dan kekeluargaan yang dilakukan secara terencana, terarah dan berkelanjutan menuju terwujudnya Indonesia Maju.
Amaliyah nyata
Guna mengejawantahkan solidaritas sosial-kemanusiaan di tengah kesulitan yang sangat mendesak saat ini, maka amaliyah nyata adalah sebuah keniscayaan.
Membantu sesama, menjadi pilihan agar antarsesama bisa mewujudkan petuah solidaritas "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing", yang bermakna bahwa jika ada musibah atau kesulitan antaranak bangsa bila ditangani bersama dengan saling tolong menolong maka beban yang berat akan menjadi ringan.
Meski minim publikasi, namun gerakan amaliyah nyata untuk bersolidaritas sosial itu sudah bergulir, dalam beragam bentuk.
Beberapa contoh di antaranya seperti yang dilakukan Badan Amil Zakat, Infak dan Sodaqoh (BAZIS) DKI Jakarta sebagai unit resmi di bawah Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), yang menyediakan antiseptik isi ulang (refil hand sanitizer) di sebanyak 1.400 titik di seluruh wilayah Jakarta, termasuk Kepulauan Seribu sebagai upaya mencegah penyebaran virus COVID-19.
Ketua BAZNAS (BAZIS) DKI Jakarta Ahmad Luthfi Fathullah menjelaskan upaya itu dilakukan pihaknya karena sejak merebaknya kasus COVID-19, kebutuhan terhadap masker dan penyanitasi tangan melonjak drastis sehingga terjadi kelangkaan dan harga melambung berkali lipat dibandingkan masa-masa normal.
Di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pelajar SMK Farmasi ISFI dan mahasiswa Akademisi Farmasi ISFI memproduksi sendiri penyanitasi tangan karena di daerah itu juga mengalami kelangkaan.
Berdasarkan uji laboratorium pada produk berbahan alkohol, gliserol, air masak, dan pewangi itu, produksi mereka mampu membunuh kuman dan bakteri di tangan.
Kepala SMK Farmasi ISFI Banjarmasin M. Noor Ipansyah menjelaskan upaya itu merupakan sikap sekolah untuk membantu masyarakat yang mengalami kekurangan antiseptik itu.
Awalnya, produksi itu untuk lingkungan sendiri, namun dilanjutkan dengan membagikan kepada masyarakat secara cuma-cuma.
Hal sama juga digagas Mahasiswa Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri (FTI) Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sulawesi Selatan yang membuat penyanitasi tangan.
Dekan FTI UMI Makassar Dr Zakir Sabhara menjelaskan sejak merebaknya COVID-19 banyak yang mencari penyanitasi tangan namun pasokannya ke apotek itu sangat langka sehingga anak-anak mahasiswa di FTI UMI membuat sendiri.
Pihaknya memroduksi cukup banyak, baik untuk kepentingan sivitas di UMI Makassar maupun untuk dibagikan kepada masyarakat.
Sedangkan untuk kebutuhan masker, komunitas di Riau, yakni Relawan Muda Riau membuat gerakan sosial berupa penggalangan sumbangan untuk membuat masker kain secara swadaya yang kemudian dibagikan ke masyarakat untuk mengantisipasi virus COVID-19.
Relawan Muda Riau adalah organisasi korps sukarelawan yang terdiri atas berbagai kalangan mulai dari anak muda ada, pelajar, hingga pekerja. Organisasi ini dibentuk pada 2016 dan sudah beberapa kali melakukan program sosial.
Sekretaris Relawan Muda Riau Atintan menyatakan mereka menerima sumbangan dari yang punya mesin jahit atau mereka yang penjahit, atau yang punya kain untuk menyumbang.
Gerakan relawan membuat masker kain itu bertujuan sebagai gerakan bersama untuk mencegah penyebaran virus COVID-19, terutama karena kondisi makin sulitnya mendapatkan masker.
Ikhtiar yang dilakukan beragam kalangan itu -- untuk tidak menyebutkan semua gerakan lainnya yang melaksanakan hal sama -- adalah bukti bahwa amaliyah nyata itu, di tengah pandemi COVID-19 -- adalah bukti bahwa kesetiakawanan sosial pada bangsa ini tidak redup.
Hari-hari ini, cobaan atas masalah yang sedang dialami bangsa dan rakyat Indonesia -- sebagai bagian dari warga dunia -- dari Sabang di Provinsi Aceh hingga Merauke di Provinsi Papua adalah pandemi virus corona jenis baru yang menyebabkan penyakit COVID-19.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lah yang telah menetapkannya penyakit itu sebagai pandemi.
Dalam data peta penyebaran virus COVID-19 tersebut, kini setidaknya sudah ada sebanyak 157 negara dan wilayah yang terjangkit virus COVID-19 itu.
Dampak dari pandemi penyakit COVID-19 itu merambah pada hampir semua sendi-sendi kehidupan, baik kesehatan sendiri, sosial, ekonomi dan lainnya.
Wujudnya, adalah kelangkaan sejumlah bahan dan alat pelindung diri (APD) kesehatan -- yang tidak hanya dibutuhkan masyarakat luas, namun justru untuk para tenaga kesehatan -- seperti masker untuk melindungi dari tertularnya seseorang dari orang yang sudah terinfeksi, dan juga penyanitasi tangan (hand sanitizer).
Jika pun ada, maka lonjakan harga terjadi secara fantastis. Sudah bukan rahasia lagi penyanitasi tangan yang sebelum COVID-19 harganya terjangkau di kisaran belasan ribu rupiah atau di bawahnya, kini "meroket" hingga enam dan tujuh kali lipat. Pun, demikian dengan harga masker.
Begitu sulitnya saat ini untuk mengakses masker dan penyanitasi tangan sebagai perlindungan diri dari orang yang sudah tertular, khususnya di tempat publik, dengan harga terjangkau sehingga menyebabkan sebagian besar masyarakat sangat kesulitan.
Sayangnya, dalam kondisi yang semestinya bisa terbangun rasa simpati dan empati, ada juga kalangan yang lebih mementingkan diri sendiri.
Salah satu contoh memprihatinkan adalah penjelasan Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bahteramas Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dr Sjarief Subijakto.
Ia menjelaskan di tengah merebaknya virus COVID-19, RSUD terpaksa membatalkan jadwal operasi pada pasien karena kehabisan stok masker.
Upaya berkoordinasi untuk mengadakan masker di RSUD tersebut sudah dilakukan dengan menghubungi Jakarta, Makassar, dan Surabaya, tapi masker kosong. Dicoba lagi melalui Dinas Kesehatan Provinsi Sultr,a namun cuma mendapat satu dus saja.
Dalam kondisi darurat itu, sebagai solusi untuk menghadapi situasi tersebut Sjarief Subijakto terpaksa meminta tenaga medis membuat masker dengan menjahit kain untuk digunakan sebagai alat pelindung diri (APD) sebanyak-banyaknya.
Menimbun
Alih-alih bisa saling membantu, bersolidaritas sosial, namun malah ada yang memanfaatkannya dengan pertimbangan keuntungan ekonomi, yakni menahan atau menimbun bahan dan alat-alat tersebut, dan kemudian menjualnya dengan harga sangat mahal.
Baca juga: Kemendikbud terapkan bekerja dari rumah bagi ASN Pusat
Praktik menimbun semacam itu, dalam Islam adalah perbuatan tercela, baik didasarkan pada hukum syariah maupun aturan-aturan fiqh.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dr H Anwar Abbas, MM, M.Ag menegaskan bahwa dalam Islam perbuatan menimbun barang tersebut dikenal dengan istilah "ihtikar", dan itu merupakan praktik dan perbuatan yang sangat tercela.
Karena itu, Pemerintah Indonesia melalui pihak kepolisian harus menindak tegas penimbun barang, khususnya oknum yang menimbun masker dan penyanitasi tangan, setelah munculnya virus corona itu.
Baca juga: RSUP Sardjito rawat satu pasien asal Jepang di ruang isolasi
Penimbun itu harus ditindak dan dihukum karena perbuatanitu jelas merupakan praktik yang dapat menimbulkan bencana dan mara bahaya, yakni tatkala ada oknum melakukan penimbunan tersebut, dan di saat ini justru sangat dibutuhkan, namun warga sulit mendapatkannya sehingga perbuataan tercela itu berdampak masyarakat lainnya lebih mudah terjangkit virus mematikan itu.
Rasulullah Muhammad SAW dalam sebuah hadisnya juga menegaskan bahwa menimbun barang yang dibutuhkan, termasuk perbuatan berdosa.
Sementara ulama besar Imam Nawawi, dalam kitab Syarah Sahih Muslim menyatakan pengertian menimbun barang dalam hadis ini bukanlah menimbun secara umum, namun dengan membeli barang tertentu dalam jumlah banyak, lalu menyimpannya dengan maksud harga barang tersebut menjadi tinggi saat terjadi kelangkaan.
Kesetiakawanan sosial
Dengan budaya saling menolong sesama, sebenarnya Indonesia juga memiliki rasa kesetiakawanan, yang kemudian oleh negara diadopsi dan diformalkan melalui yang sudah dikenal umum sebagai Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN).
Garda depan dalam HKSN yang diselenggarakan setiap tahun adalah Kementerian Sosial (Kemensos).
Baca juga: Pabrik masker ilegal di Cilincing datangkan mesin dan bahan dari China
Mensos masa bakti 27 Oktober 2014 - 17 Januari 2018 Khofifar Indar Parawansa pada peringatan HKSN 2017 di Sumenep, Madura, Jawa Timur menceritakan cikal bakal dan sejarah lahirnya HKSN.
Ia menyebut hal itu bermula dari "Peristiwa Maguwo 1948" di Yogyakarta pada 20 Desember, yang membuat Panglima Besar Jenderal Sudirman dan pasukannya memilih bergerilya untuk melawan Belanda.
Selama bergerilya, Jenderal Sudirman dan pasukannya mendapat perlindungan dari warga dan upaya perlindungan masyarakat terhadap Jenderal Sudirman dan pasukannya tersebut lah yang merupakan asal muasal peringatan HKSN.
Apa yang diceritakan Khofifah itu dikuatkan melalui penelusuran dalam laman Universitas Malahayati Bandarlampung http://malahayati.ac.id/?p=14965 bahwa tanggal 20 Desember 1949 dipilih karena bertepatan dengan peristiwa bersejarah bersatunya seluruh lapisan masyarakat untuk mempertahankan kedaulatan negara atau sehari setelah tentara kolonial Belanda menyerbu dan menduduki Ibu Kota negara Yogyakarta sehingga tanggal itu oleh Kemensos dijadikan sebagai "Hari Sosial".
Dalam perjalanan sejarahnya, pada akhirnya berubah menjadi "Hari Kebhaktian Sosial", dan berganti lagi menjadi "Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional".
Perjalanan sejarah pergantian itu bermula dari Hari Sosial I yang untuk pertama kali diperingati pada tanggal 20 Desember 1958 dan dicetuskan oleh Mensos saat itu H Moeljadi Djojomartono.
Lalu, pada peringatan XIX tanggal 20 Desember 1976 oleh Mensos HMS Mintardja SH nama Hari Sosial diubah menjadi Hari Kebhaktian Sosial dan pada peringatan XXVI tanggal 20 Desember 1983 oleh Mensos Nani Soedarsono SH diubah lagi menjadi Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional yang hingga kini dikenal dengan HKSN.
Dalam era kekinian, Kemensos menyebutkan bahwa kesetiakawanan nasional adalah nilai dasar yang terwujud dalam bentuk pikiran, sikap, dan tindakan saling peduli dan berbagi, yang dilandasi oleh kerelaan, kesetiaan, kebersamaan, toleransi, dan kesetaraan guna meningkatkan harkat, martabat, serta harga diri setiap warga negara Indonesia.
Pada peringatan HKSN 2019 di Banjarmasin, Kalsel dengan tema "Kesetiakawanan Menembus Batas" yang dihadiri Wapres KH Ma'ruf Amin dan Mensos Juliari P Batubara, Kemensos juga menyebut kesetiakawanan sosial masa kini adalah instrumen menuju kesejahteraan masyarakat melalui gerakan peduli dan berbagi oleh, dari, dan untuk masyarakat, baik pribadi maupun secara bersamaan berdasarkan nilai kemanusiaan, kebersamaan, kegotongroyongan dan kekeluargaan yang dilakukan secara terencana, terarah dan berkelanjutan menuju terwujudnya Indonesia Maju.
Amaliyah nyata
Guna mengejawantahkan solidaritas sosial-kemanusiaan di tengah kesulitan yang sangat mendesak saat ini, maka amaliyah nyata adalah sebuah keniscayaan.
Membantu sesama, menjadi pilihan agar antarsesama bisa mewujudkan petuah solidaritas "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing", yang bermakna bahwa jika ada musibah atau kesulitan antaranak bangsa bila ditangani bersama dengan saling tolong menolong maka beban yang berat akan menjadi ringan.
Meski minim publikasi, namun gerakan amaliyah nyata untuk bersolidaritas sosial itu sudah bergulir, dalam beragam bentuk.
Beberapa contoh di antaranya seperti yang dilakukan Badan Amil Zakat, Infak dan Sodaqoh (BAZIS) DKI Jakarta sebagai unit resmi di bawah Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), yang menyediakan antiseptik isi ulang (refil hand sanitizer) di sebanyak 1.400 titik di seluruh wilayah Jakarta, termasuk Kepulauan Seribu sebagai upaya mencegah penyebaran virus COVID-19.
Ketua BAZNAS (BAZIS) DKI Jakarta Ahmad Luthfi Fathullah menjelaskan upaya itu dilakukan pihaknya karena sejak merebaknya kasus COVID-19, kebutuhan terhadap masker dan penyanitasi tangan melonjak drastis sehingga terjadi kelangkaan dan harga melambung berkali lipat dibandingkan masa-masa normal.
Di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pelajar SMK Farmasi ISFI dan mahasiswa Akademisi Farmasi ISFI memproduksi sendiri penyanitasi tangan karena di daerah itu juga mengalami kelangkaan.
Berdasarkan uji laboratorium pada produk berbahan alkohol, gliserol, air masak, dan pewangi itu, produksi mereka mampu membunuh kuman dan bakteri di tangan.
Kepala SMK Farmasi ISFI Banjarmasin M. Noor Ipansyah menjelaskan upaya itu merupakan sikap sekolah untuk membantu masyarakat yang mengalami kekurangan antiseptik itu.
Awalnya, produksi itu untuk lingkungan sendiri, namun dilanjutkan dengan membagikan kepada masyarakat secara cuma-cuma.
Hal sama juga digagas Mahasiswa Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri (FTI) Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sulawesi Selatan yang membuat penyanitasi tangan.
Dekan FTI UMI Makassar Dr Zakir Sabhara menjelaskan sejak merebaknya COVID-19 banyak yang mencari penyanitasi tangan namun pasokannya ke apotek itu sangat langka sehingga anak-anak mahasiswa di FTI UMI membuat sendiri.
Pihaknya memroduksi cukup banyak, baik untuk kepentingan sivitas di UMI Makassar maupun untuk dibagikan kepada masyarakat.
Sedangkan untuk kebutuhan masker, komunitas di Riau, yakni Relawan Muda Riau membuat gerakan sosial berupa penggalangan sumbangan untuk membuat masker kain secara swadaya yang kemudian dibagikan ke masyarakat untuk mengantisipasi virus COVID-19.
Relawan Muda Riau adalah organisasi korps sukarelawan yang terdiri atas berbagai kalangan mulai dari anak muda ada, pelajar, hingga pekerja. Organisasi ini dibentuk pada 2016 dan sudah beberapa kali melakukan program sosial.
Sekretaris Relawan Muda Riau Atintan menyatakan mereka menerima sumbangan dari yang punya mesin jahit atau mereka yang penjahit, atau yang punya kain untuk menyumbang.
Gerakan relawan membuat masker kain itu bertujuan sebagai gerakan bersama untuk mencegah penyebaran virus COVID-19, terutama karena kondisi makin sulitnya mendapatkan masker.
Ikhtiar yang dilakukan beragam kalangan itu -- untuk tidak menyebutkan semua gerakan lainnya yang melaksanakan hal sama -- adalah bukti bahwa amaliyah nyata itu, di tengah pandemi COVID-19 -- adalah bukti bahwa kesetiakawanan sosial pada bangsa ini tidak redup.
Copyright © ANTARA 2020
Tags: