Semarang (ANTARA) - Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) tengah menghebohkan dan menciptakan kepanikan masyarakat dunia.

Penyebarannya yang demikian cepat dalam waktu yang sangat singkat sehingga membuat WHO menaikkan status Corona menjadi pandemi global. Bahkan, telah mewabah ke-155 negara di seluruh dunia.

Meskipun jumlah yang sembuh terhitung banyak, angka kematian juga terus mengalami peningkatan.

Virus yang pertama kali terjadi di Kota Wuhan, Hubei, Tiongkok itu sudah merenggut 5.845 nyawa. Dilansir Worldometers, hingga Minggu (15/3/2020) terdata 157.476 kasus COVID-19 di seluruh dunia. Di antara kasus tersebut, tercatat 75.953 orang penderita yang dinyatakan sembuh.

Untuk kasus di Indonesia yang pada awalnya virus ini diyakini bahwa kita akan bebas dari virus yang mematikan itu. Maka, sejak Presiden RI Joko Widodo mengumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia, Senin (2/3/2020), banyak warga Indonesia yang panik, bahkan muncul kecemasan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat.

Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa Indonesia sudah tidak bebas dari Corona, membuat kita sedih, bahkan menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan. Cemas dan khawatir karena virus berbahaya itu kini sudah benar-benar di hadapan kita, bahkan perkembangannya dari hari ke hari masyarakat yang terinveksi COVID-19 kian bertambah banyak.

Beberapa pasien pun sudah menjadi korban meninggal dunia. Beberapa kepala daerah mengambil tindakan cepat dengan menetapkan kondisi darurat. Di lain pihak, dengan pengumuman tersebut, kita menjadi dapat melakukan persiapan tentang apa yang harus kita lakukan.

Sebelumnya, pemerintah defensif menanggapi kemungkinan pasien COVID-19 lolos deteksi. Bahkan, pemerintah terkesan menganggap enteng virus yang telah membunuh lebih dari 4.000 orang itu. Seperti yang dikatakan Menteri Kesehatan RI pada tanggal 2 Maret 2020: "Harus diingat ini penyakit self limited disease, penyakit yang bisa sembuh sendiri, ini sama seperti virus yang lain."

Pengumuman tersebut sekaligus juga memberi kepastian atas informasi simpang siur yang hadir di hadapan kita tentang virus ini. Berkali-kali kita menyaksikan bahwa para tokoh agama, pejabat, bahkan menteri memberikan informasi yang tidak membuat kita tenang tetapi justru gagap dan panik.

Demikian pula apa yang dikatakan oleh Wapres RI Ma'ruf Amin pada tanggal 28 Februari 2020: "Banyak kiai dan ulama yang selalu menbaca doa kunut. Saya juga begitu. Baca doa kunut untuk menjauhkan bala, bahaya, wabah-wabah, dan penyakit. Makanya, corona minggir dari Indonesia."

Salah satu fenomena yang muncul setelah pengumuman itu adalah panic buying dengan memborong masker dan aneka kebutuhan sehari-hari di pusat perbelanjaan. Kecemasan kita akan wabah COVID-19 terasa makin nyata. Bukan ketakutan tidak mendasar, melainkan sebuah pemahaman yang muncul dari perasaan takut dan khawatir akan bahaya yang barangkali akan menimpa masyarakat.

Pemerintah sebagai pihak berwenang mestinya harus membangun komunikasi efektif lewat berbagai saluran media massa terkait dengan virus Corona sangatlah penting dalam melindungi rakyatnya. Tidak sekadar membuat masyarakat tahu tentang virus yang sedang mewabah ini, tetapi juga mengedukasi lewat proses literasi yang bersifat komprehensif.

Informasi yang bersumber dari pejabat pemerintah, yang bersifat sepotong-sepotong, tidak komprehensif, dan tidak memberikan pembelajaran yang memadai bagi masyarakat membuat kebingungan, ketidakpastian dan memicu tindakan spekulasi. Ketika virus itu dengan cepat menyerang masyarakat Indonesia, disebabkan tidak memiliki referensi yang memadai sehingga munculah kepanikan masyarakat yang bersifat massal.

Kepanikan masyarakat yang bersifat massal tersebut merupakan perilaku sosial yang dapat melemahkan ketahanan mental. Sementara itu, institusi yang paling dominan untuk mengubahnya adalah sistem yang ada dalam pemerintahan.

Dengan demikian, pemerintah dapat membangun pola komunikasi yang bersifat top-down, yang dimaksudkan untuk membangun dan mengubah persepsi yang bersumber atau berasal dari memori yang telah disimpan di dalam ingatan manusia melalui proses literasi terkait dengan wabah virus Corona yang harus dilakukan.

Dengan munculnya wabah COVID-19 yang demikian ganas ini, memicu ketakutan, bahkan kepanikan yang luar biasa meskipun rata-rata kematiannya tidak separah kasus-kasus wabah sebelumnya.

Meskipun secara nyata sudah dinyatakan oleh para pejabat untuk tidak panik karena kematiannya dan penularannya bisa dihindari dengan memperkuat sistem imun. Ironisnya, tetap saja bagi individu yang memang sudah memiliki persepsi negatif sehingga tetap saja akan menimbulkan panik berlebihan.

Oleh sebab itu, yang perlu dibangun adalah model literas wabah Corona ini melalui sistem dengan menanamkan memori yang telah disimpan sebelumnya menjadi hal-hal yang memang diperlukan ataupun tidak diperlukan dalam memutuskan suatu tindakan dalam menghadapi wabah yang keganasannya makin meluas ini.

Perlunya Peran Pemerintah

Ada sejumlah langkah berliterasi virus Corona yang bisa dilakukan pemerintah dalam gerakan melawan wabah COVID-19 ini.

Gerakan literasi melawan wabah virus Corona yang berskala nasional akan dapat terwujud jika ada kebijakan afirmatif dari pemerintah pusat maupun daerah. Ada beberapa alasan yang dapat diajukan untuk mendukung argumen perlunya campur tangan pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan literasi berskala nasional.

Pertama, kultur masyarakat Indonesia masih tetap paternalistik meskipun secara politik memilih sistem demokrasi. Dalam lingkungan sosial yang paternalistik, dinamika masyarakat sangat dipengaruhi oleh teladan yang ditampilkan pihak pimpinan.

Apa yang dilakukan pimpinan akan cepat mengimbas ke lapis masyarakat di bawah. Biasanya mereka tidak mudah terpengaruh oleh contoh perbuatan baik yang datang dari orang dengan kelas sosial sama.

Kedua, walaupun banyak kritik yang ditujukan pada pemerintah dalam menangani wabah Corona ini, mayoritas masyarakat Indonesia masih menempatkan Pemerintah pada posisi sentral dalam kaitan dengan penanganan permasalahan publik.

Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah sepanjang tidak kontroversial, besar kemungkinannya terlaksana. Apalagi, untuk jenis kebijakan yang bertujuan melindungi kepentingan warga, sudah tentu akan diterima dan diimplementasikan.

Jika kebijakan diambil oleh pemerintah pusat, otomatis luas jangkauan implementasinya akan mencakup seluruh wilayah Indonesia.

Ketiga, posisi pemerintah di hadapan pelaku industri media massa sebagai alat penyampai pesan informasi wabah Corona masih cukup kuat. Dengan demikian, meskipun kebijakan afirmatif tentang gerakan literasi tersebut, misalnya, dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap eksistensi media massa.

Mereka tentu tidak akan menolak secara frontal demi kepentingan umum. Bagaimanapun mereka akan menghindari jangan sampai izin penyiaran yang sudah dimiliki itu nantinya tidak diperpanjang karena membangkang aturan pemerintah.

Keempat, Pemerintah memiliki birokrasi dari atas sampai level paling bawah, seperti RT/RW, dan jaringan kerja sangat luas. Dengan demikian, begitu Pemerintah berhasil membuat suatu kebijakan terkait dengan pola komunikasi mengenai wabah virus Corona, mesin birokrasi akan berjalan dengan sendirinya. Informasi kebijakan yang telah dibuat, akan mengalir sampai ke tengah masyarakat lapis bawah dan dapat berlangsung secara simultan untuk semua wilayah Indonesia.

Kelima, Pemerintah mempunyai kewenangan untuk merencanakan, mengajukan, dan menggunakan anggaran kepada pihak legislatif guna melaksanakan tujuan kebijakan sehingga kebijakan terkait dengan penanganan wabah tersebut dapat dilaksanakan.

Berbeda halnya jika gerakan literasi tersebut sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat, sudah tentu akan menghadapi banyak kesulitan.

Guna mewujudkan kesamaan persepsi dan apresiasi semua elemen, dipandang perlu adanya gerakan literasi wabah Corona ini yang sifatnya harus berskala nasional. Hal itu dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas program dan daya kritis masyarakat di semua level agar kemudian memiliki daya tahan tinggi dalam menghadapi wabah yang makin mengganas ini.

Penguatan di level masyarakat melalui gerakan literasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Meningkatnya kemampuan literasi ini pada level masyarakat akan menjadikan mereka dapat melakukan berbagai upaya pencegahan dan perlindungan diri dan sosial terhadap wabah virus Corona secara nasional.

*) Penulis adalah Staf Pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.