Jakarta (ANTARA) - Anggota MPR RI dari Fraksi PAN Yandri Susanto menilai kasus kekerasan terhadap anak sudah dalam tahap mengkhawatirkan atau "lampu merah", sehingga dibutuhkan peran semua pihak untuk mengatasi masalah tersebut.
"Kita semua, pemerintah, masyarakat, dunia usaha harus bergandengan tangan dan bersatu padu untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak secara bersama-sama," kata Yandri dalam Diskusi Empat Pilar bertema "Marak Kekerasan pada Anak, Ancaman Bagi Generasi Penerus Bangsa?", di Komplek Parlemen, Jakarta, Jumat.
Yandri melihat belum ada keseriusan dan kepedulian secara maksimal dari berbagai pihak untuk mengatasi kasus kekerasan pada anak, karena mungkin menganggapnya sebagai hal yang biasa.
Padahal, menurut dia, kasus kekerasan pada anak ibarat api dalam sekam, sangat mengerikan, karena kalau tidak diatasi, bagaimana nasib bangsa ini jika generasi sekarang sudah banyak yang menjadi korban narkoba, kekerasan seksual, menjadi pekerja seks, dan sebagainya.
Dalam diskusi itu, Yandri menyoroti anggaran KPAI dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang terbilang masih kurang untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak.
Baca juga: Konsepsi keliru jadikan anak rentan alami kekerasan seksual
Dia menilai masalah kekerasan pada anak bukan salah pemerintah, bukan salah DPR, dan dirinya sebagai Ketua Komisi VIII DPR RI berjanji berapa pun anggaran yang diperlukan akan dipenuhi asal sesuai dengan tujuan.
"Jika anggaran terbatas, saya mengusulkan untuk melibatkan pihak swasta atau dunia usaha dalam program mengurangi kekerasan pada anak. Dana CSR dari dunia usaha yang cukup besar bisa digunakan untuk program anak," katanya.
Anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar Dyah Roro Esti mengungkapkan 50 persen anak di dunia yang berusia 2-12 tahun atau sekitar 1 miliar anak mengalami kekerasan fisik secara seksual maupun emosional.
Di Indonesia, menurut dia, berdasarkan data UNICEF pada tahun 2015 menyatakan anak pada usia 13-15 tahun melaporkan pernah diserang secara fisik, 26 persen pernah mendapatkan hukuman fisik dari orang tua, dan 50 persen mengaku mendapatkan perundungan di sekolah.
"Lingkungan di rumah, di sekolah, dan pergaulan bisa memacu adanya kekerasan pada anak," katanya.
Dia juga sepakat dengan Yandri bahwa dibutuhkan peran semua pihak, bukan hanya orang tua, tetapi juga sekolah dan masyarakat, serta pemerintah untuk mengatasi kekerasan pada anak terutama lingkungan terdekat anak.
Baca juga: Komnas Anak: Butuh mekanisme nasional cegah kejahatan anak
Ketua KPAI Susanto dalam diskusi tersebut memaparkan data KPAI tahun 2019 bahwa terdapat 4.369 kasus yang variatif, seperti anak berhadapan dengan hukum misalnya anak sebagai pelaku, saksi, dan korban; kasus rebutan pengasuhan anak; kasus pornografi dan kejahatan siber.
"Trennya sejak KPAI berdiri tahun 2004 sampai sekarang atau sekitar 16 tahun, anak berhadapan dengan hukum paling tinggi kasusnya seperti pelaku rundung, asusila, pencurian maupun yang lain," katanya lagi.
Susanto berharap upaya proteksi dan penanganan terhadap kasus serta rehabilitasi harus semakin masif dikembangkan di daerah-daerah.
Anggota MPR nilai kasus kekerasan pada anak sudah "lampu merah"
13 Maret 2020 20:00 WIB
Diskusi Empat Pilar bertema "Marak Kekerasan pada Anak, Ancaman Bagi Generasi Penerus Bangsa?", di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (13/3/2020). (ANTARA/HO)
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020
Tags: