Artikel
Menguji kebijakan pemerintah dalam meredam gejolak ekonomi
Oleh Budi Suyanto
13 Maret 2020 11:44 WIB
Seorang pewarta memotret layar yang menampilkan infornasi pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (12/3/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc. (ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA)
Jakarta (ANTARA) - Siapa sangka perekonomian dunia yang morat marit belakangan ini disebabkan mahluk sangat kecil tidak terlihat mata tapi sangat ganas menyerang manusia di berbagai belahan dunia. Dampaknya luar biasa merusak tidak hanya mematikan manusia, tapi juga membuat perekonomian dunia nyaris lumpuh.
Mahluk sangat kecil ini bernama virus Corona (COVID-19) telah membuat pasar saham dunia berdarah-darah, potensi gagal bayar dan kredit macet mengancam sektor perbankan dan keuangan, ditambah lagi sektor riil nyaris lumpuh tak bergerak, lantaran terganggunya proses produksi dan terahambatnya lalu lintas ekspor dan impor.
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengakui bahwa tekanan ekonomi global yang disebabkan mewabahnya virus Corona ini dampaknya sangat berat dan kompleks dibandingkan krisis keuangan yang terjadi pada 2008.
Krisis yang terjadi pada 2008 hanya memukul sektor perbankan dan pasar modal, namun krisis yang terjadi sekarang ini menghantam hampir semua sektor tidak hanya perbankan, pasar modal, dan sektor jasa dan pariwisata namun sektor riil juga babak belur dan nyaris lumpuh.
Industri pasar modal Indonesia saat ini boleh dibilang sedang berdarah-darah, "terluka" oleh virus Corona, terlebih setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah virus Corona telah menjadi pandemi yang menakutkan, menyebabkan indeks saham dunia jatuh bertumbangan.
Investor saham "kabur" atau panic selling dengan melepas semua portofolio investasinya, mereka ingin memegang uang kas atau mengalihkan investasinya pada instrumen investasi yang rendah tingkat risikonya (safe haven).Tekanan jual investor yang masif ini menyebabkan harga-harga saham terjun bebas dan indeks saham jatuh hampir di semua pasar saham dunia.
Data di Bursa Efek Indonesia (BEI) per 3 Januari 2020 (awal munculnya isu virus Corona) tercatat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih bertengger di level 6.323,466 poin dengan nilai kapitalisasi pasar saham (market capitalization) Rp7.293,14 triliun. Sedangkan kurs rupiah terhadap dolar AS saat itu masih di level Rp13.885.
Dibandingkan per 11 Maret 2020 atau setelah meluasnya wabah virus Corona ini di belahan dunia, IHSG jatuh ke posisi 5.154,105 poin dan nilai kapitalisasi pasar saham menyusut tinggal Rp5.959 triliun serta kurs rupiah terhadap dolar AS juga melemah ke posisi Rp14.374.
Ini artinya dalam waktu singkat hanya kurang dari dua bulan setengah IHSG di Bursa Efek Indonesia (BEI) merosot tajam 18,49 persen, dan nilai kapitalisasi pasar atau nilai saham perusahaan yang tercatat di BEI menyusut Rp1.354,14 triliun atau tergerus 18,3 persen. Sementara nilai kurs rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi sekitar 3,5 persen.
Sementara data dari Bank Indonesia (BI) seperti yang diungkapkan Gubernur BI Perry Warjiyo, dana asing investor asing yang keluar (outflow) periode Januari-Februari 2020 mencapai Rp30,3 triliun, terdiri dari Rp26,2 triliun di SBN (surat berharga negara) dan Rp4,1 triliun dari pasar saham.
Baca juga: IHSG anjlok dan kembali terkena pembekuan sementara
Baca juga: Wall Street jatuh, terseret kekhawatiran ekonomi rusak akibat Corona
Stimulus
Melihat dan merasakan fakta yang terjadi dimana investor asing banyak yang kabur, indeks saham jeblok dan kekayaan perusahaan menyusut drastis hanya dalam waktu singkat, untungnya pemerintah dan regulator tanggap dan cepat mengambil langkah yang antisipatif dan lumayan jitu meredam gejolak pasar dan menahan kejatuhan harga saham lebih dalam lagi.
Langkah yang diambil pemerintah di antaranya membuka semua ruang stimulus ekonomi dan fiskal. Mengerahkan sumber daya yang ada di BUMN untuk melakukan pembelian kembali sahamnya di pasar modal (buyback) dan mengerahkan unit-unit dana pensiun untuk membeli saham di pasar modal yang saat ini sudah tergolong murah (lebih rendah dari intrinsiknya).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai regulator industri pasar modal Indonesia telah melakukan hal yang sama, tujuannya untuk meredam gejolak pasar saham dan keuangan. OJK telah mengizinkan perusahaan-perusahaan yang tercatat di BEI untuk melakukan buyback saham tanpa harus melakukan rapat umum pemegang saham (RUPS).
BEI juga mengambil langkah strategis dengan membekukan sementara perdagangan saham (trading halt) apabila terjadi penurunan yang sangat tajam pada IHSG dalam satu hari bursa yang sama. BEI juga akan melakukan trading halt selama 30 menit apabila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 10 persen.
Menteri Keuangan RI Sri Mulayani beberapa hari lalu menyatakan pemerintah akan mengerahkan beberapa stimulus fiskal baru untuk menopang perekonomian Indonesia yang sedang tertekan akibat gejolak global dan serangan virus Corona.
"Untuk kebijakan fiskal kita lakukan seluruh pilihan policy yang pernah kita lakukan seperti 2008-2009. Semua pilihan dibuka meski sumbernya beda tapi dampaknya ke sektor keuangan mirip," katanya.
Sementara itu pemerintah seperti diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlanggga Hartarto akan memberikan stimulus jilid dua berupa stimulus fiskal dan nonfiskal guna memperkuat daya beli masyarakat.
"Ini temporary, untuk memperkuat daya beli masyarakat, mendorong supply side dan demand side," kata dia.
Stimulus ini khusus ditujukan pada industri manufaktur yang paling terdampak dari pandemik virus Corona setelah pariwisata.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan telah memerintahkan 12 perusahaan BUMN untuk melakukan kembali pembelian saham mereka (buyback). Bahkan Erick menegaskan Indonesia negara besar, tidak perlu terlalu khawatir dengan kepergian investor asing.
"Ketika asing (investor) tidak percaya kita, ya kita jalan sendiri, karena kita punya market yang besar. Seperti ketika kelapa sawit dipermasalahkan, ya kita jadikan B30. Terbukti dengan B30, industri kelapa sawit menjadi baik," paparnya.
Sementara Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo meminta pengelola dana pensiun perusahaan milik negara (BUMN) untuk turut serta penetrasi ke pasar dalam rangka membantu stabilitas pergerakan harga saham di pasar modal.
"Kita akan galang dana pensiun dan Taspen untuk masuk dan ikut membantu supaya pergerakan saham kembali stabil," ujarnya.
Sikap investor
Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, memahami kecemasan investor yang mengurangi bahkan melikuidasi investasi dalam saham. Pasalnya dengan volatilitas indeks saham dan obligasi US (T-bond) yang relatif tinggi, mengindikasikan sikap konservatif investor untuk mengurangi kedua jenis volatilitas aset tersebut guna mengurangi kerugian lebih lanjut.
Namun demikian kata Budi melihat valuasi saham yang ada di Bursa Efek Indonesia saat ini dibandingkan bursa regional lainnya, ternyata relatif lebih murah.
Ketepatan membaca angka dan analisa ini penting untuk menentukan sikap terutama mengantisipasi peluang "cuan" atau untung ketika terjadi krisis.
"Ketika valuasi dinilai sudah murah, namun investor tetap harus berhati-hati terhadap potensi koreksi harga saham, sehingga sikap menunggu menjadi lebih tepat," kata dia.
Untuk itu, ada dua hal yang harus dicermati yakni pertama respon perusahaan di AS untuk kembali buyback atau malah berbalik menjual. Kedua, kestabilan kurs rupiah relatif terhadap mata uang regional.
Sangat penting bagi investor mencermati respon kebijakan fiskal dan moneter yang berpengaruh pada penguatan ekonomi dan kurs rupiah, mengingat sikap investor asing yang melepas asetnya berupa saham maupun obligasi akibat adanya antisipasi pelambatan ekonomi dan risiko pelemahan rupiah.
Menurut Budi, kondisi saat ini berbeda dengan kondisi menjelang krisis 2008. Saat itu (2008) sikap terbaik adalah menahan ketamakan (controlling the greed) karena valuasi saham sudah terlalu tinggi. Sementara saat ini yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola rasa takut (managing fear).
Tentu, masih ada aset investasi yang menarik terutama SBN (surat berharga negara) yang justru menjadi prasyarat peluang cuan saham.
Investor ritel Mochtar (55) menyikapi kondisi pasar saham yang terjun bebas ini dengan cara lain. Dia tetap melakukan aksi beli saham-saham perusahaan besar yang selama ini menjadi penopang IHSG.
"Meski harus "berdarah-darah" saya tetap beli dan pilih saham-saham gede, mana tau ke depan bursa cepat kembali normal," katanya.
Pendiri LBP Institute (lembaga riset sektor keuangan dan investasi) Lucky Bayu Purnomo mengatakan saat ini investor khawatir perlambatan ekonomi akibat pandemik Corona yang dapat menghambat jalannya industri dan berdampak pada konsumsi.
Menurut dia untuk mengatasi perlambatan ekonomi tersebut Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang sifatnya jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Untuk kebijakan jangka pendek-menengah The Fed telah menurunkan suku bunganya, begitupun dengan Bank Indonesia telah melakukan hal yang sama. Tujuannya untuk menahan perlambatan ekonomi dan menjaga agar tingkat konsumsi tetap stabil.
"Dengan konsumsi yang terjaga setidaknya ada harapan ekonomi kita dapat bertahan. Dalam predisi memang turun, tapi diharapkan turunnya tidak dalam, setidaknya pertumbuhan ekonomi kita tidak jauh dari 5 persen," kata Lucky.
Pertimbangan investor selanjutnya yakni kemampuan pemerintah menangani wabah virus Corona ini. "Paling tidak pemerintah diharapkan mampu memitigasi risiko, sehingga diharapkan bisa lebih cepat memulihkan dan membangkitkan kepercayaan masyarakat," katanya.
Koordinasi lintas kementerian secara bersama-sama sangat diperlukan menangani dampak Corona. Menkeu siapkan dana dan Menkes memberikan edukasi agar masyarakat tidak panik.
BI, OJK dan Menko Perekonomian harus tampil di depan untuk memberikan daya tarik agar dana dari luar kembali masuk ke Indonesia.
"Dengan sendirinya kita akan kembali mendapat kepercayaan investor untuk membawa kembali dananya ke pasar modal Indonesia," ujarnya.
Sementara itu lembaga Manajer Investasi Eastspring menyebutkan ketidakpastian ekonomi global dan domestik membuat lembaga investasi ini lebih menyukai alokasi aset yang memiliki pendapatan tetap ketimbang saham.
Menurut Eastspring dalam jangka panjang kondisi ekonomi Indonesia masih cukup baik dibandingkan negara lainnya. Kondisi makroekonomi Indonesia masih cukup kuat dan stabil di tengah ketidakpastian geopolitik global.
"Komponen konsumsi domestik diharapkan dapat menopang pertumbuhan ekonomi kedepannya. Pada 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5 persen dan pertumbuhan laba perusahaan 11,1 persen. Koreksi yang dalam akan memberikan kesempatan beli dan akumulasi yang baik.
Baca juga: Ini 19 sektor industri yang mendapat stimulus terkait COVID-19
Baca juga: Pemerintah siapkan stimulus fiskal jilid II mitigasi dampak COVID-19
Mahluk sangat kecil ini bernama virus Corona (COVID-19) telah membuat pasar saham dunia berdarah-darah, potensi gagal bayar dan kredit macet mengancam sektor perbankan dan keuangan, ditambah lagi sektor riil nyaris lumpuh tak bergerak, lantaran terganggunya proses produksi dan terahambatnya lalu lintas ekspor dan impor.
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengakui bahwa tekanan ekonomi global yang disebabkan mewabahnya virus Corona ini dampaknya sangat berat dan kompleks dibandingkan krisis keuangan yang terjadi pada 2008.
Krisis yang terjadi pada 2008 hanya memukul sektor perbankan dan pasar modal, namun krisis yang terjadi sekarang ini menghantam hampir semua sektor tidak hanya perbankan, pasar modal, dan sektor jasa dan pariwisata namun sektor riil juga babak belur dan nyaris lumpuh.
Industri pasar modal Indonesia saat ini boleh dibilang sedang berdarah-darah, "terluka" oleh virus Corona, terlebih setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah virus Corona telah menjadi pandemi yang menakutkan, menyebabkan indeks saham dunia jatuh bertumbangan.
Investor saham "kabur" atau panic selling dengan melepas semua portofolio investasinya, mereka ingin memegang uang kas atau mengalihkan investasinya pada instrumen investasi yang rendah tingkat risikonya (safe haven).Tekanan jual investor yang masif ini menyebabkan harga-harga saham terjun bebas dan indeks saham jatuh hampir di semua pasar saham dunia.
Data di Bursa Efek Indonesia (BEI) per 3 Januari 2020 (awal munculnya isu virus Corona) tercatat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih bertengger di level 6.323,466 poin dengan nilai kapitalisasi pasar saham (market capitalization) Rp7.293,14 triliun. Sedangkan kurs rupiah terhadap dolar AS saat itu masih di level Rp13.885.
Dibandingkan per 11 Maret 2020 atau setelah meluasnya wabah virus Corona ini di belahan dunia, IHSG jatuh ke posisi 5.154,105 poin dan nilai kapitalisasi pasar saham menyusut tinggal Rp5.959 triliun serta kurs rupiah terhadap dolar AS juga melemah ke posisi Rp14.374.
Ini artinya dalam waktu singkat hanya kurang dari dua bulan setengah IHSG di Bursa Efek Indonesia (BEI) merosot tajam 18,49 persen, dan nilai kapitalisasi pasar atau nilai saham perusahaan yang tercatat di BEI menyusut Rp1.354,14 triliun atau tergerus 18,3 persen. Sementara nilai kurs rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi sekitar 3,5 persen.
Sementara data dari Bank Indonesia (BI) seperti yang diungkapkan Gubernur BI Perry Warjiyo, dana asing investor asing yang keluar (outflow) periode Januari-Februari 2020 mencapai Rp30,3 triliun, terdiri dari Rp26,2 triliun di SBN (surat berharga negara) dan Rp4,1 triliun dari pasar saham.
Baca juga: IHSG anjlok dan kembali terkena pembekuan sementara
Baca juga: Wall Street jatuh, terseret kekhawatiran ekonomi rusak akibat Corona
Stimulus
Melihat dan merasakan fakta yang terjadi dimana investor asing banyak yang kabur, indeks saham jeblok dan kekayaan perusahaan menyusut drastis hanya dalam waktu singkat, untungnya pemerintah dan regulator tanggap dan cepat mengambil langkah yang antisipatif dan lumayan jitu meredam gejolak pasar dan menahan kejatuhan harga saham lebih dalam lagi.
Langkah yang diambil pemerintah di antaranya membuka semua ruang stimulus ekonomi dan fiskal. Mengerahkan sumber daya yang ada di BUMN untuk melakukan pembelian kembali sahamnya di pasar modal (buyback) dan mengerahkan unit-unit dana pensiun untuk membeli saham di pasar modal yang saat ini sudah tergolong murah (lebih rendah dari intrinsiknya).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai regulator industri pasar modal Indonesia telah melakukan hal yang sama, tujuannya untuk meredam gejolak pasar saham dan keuangan. OJK telah mengizinkan perusahaan-perusahaan yang tercatat di BEI untuk melakukan buyback saham tanpa harus melakukan rapat umum pemegang saham (RUPS).
BEI juga mengambil langkah strategis dengan membekukan sementara perdagangan saham (trading halt) apabila terjadi penurunan yang sangat tajam pada IHSG dalam satu hari bursa yang sama. BEI juga akan melakukan trading halt selama 30 menit apabila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 10 persen.
Menteri Keuangan RI Sri Mulayani beberapa hari lalu menyatakan pemerintah akan mengerahkan beberapa stimulus fiskal baru untuk menopang perekonomian Indonesia yang sedang tertekan akibat gejolak global dan serangan virus Corona.
"Untuk kebijakan fiskal kita lakukan seluruh pilihan policy yang pernah kita lakukan seperti 2008-2009. Semua pilihan dibuka meski sumbernya beda tapi dampaknya ke sektor keuangan mirip," katanya.
Sementara itu pemerintah seperti diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlanggga Hartarto akan memberikan stimulus jilid dua berupa stimulus fiskal dan nonfiskal guna memperkuat daya beli masyarakat.
"Ini temporary, untuk memperkuat daya beli masyarakat, mendorong supply side dan demand side," kata dia.
Stimulus ini khusus ditujukan pada industri manufaktur yang paling terdampak dari pandemik virus Corona setelah pariwisata.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan telah memerintahkan 12 perusahaan BUMN untuk melakukan kembali pembelian saham mereka (buyback). Bahkan Erick menegaskan Indonesia negara besar, tidak perlu terlalu khawatir dengan kepergian investor asing.
"Ketika asing (investor) tidak percaya kita, ya kita jalan sendiri, karena kita punya market yang besar. Seperti ketika kelapa sawit dipermasalahkan, ya kita jadikan B30. Terbukti dengan B30, industri kelapa sawit menjadi baik," paparnya.
Sementara Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo meminta pengelola dana pensiun perusahaan milik negara (BUMN) untuk turut serta penetrasi ke pasar dalam rangka membantu stabilitas pergerakan harga saham di pasar modal.
"Kita akan galang dana pensiun dan Taspen untuk masuk dan ikut membantu supaya pergerakan saham kembali stabil," ujarnya.
Sikap investor
Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, memahami kecemasan investor yang mengurangi bahkan melikuidasi investasi dalam saham. Pasalnya dengan volatilitas indeks saham dan obligasi US (T-bond) yang relatif tinggi, mengindikasikan sikap konservatif investor untuk mengurangi kedua jenis volatilitas aset tersebut guna mengurangi kerugian lebih lanjut.
Namun demikian kata Budi melihat valuasi saham yang ada di Bursa Efek Indonesia saat ini dibandingkan bursa regional lainnya, ternyata relatif lebih murah.
Ketepatan membaca angka dan analisa ini penting untuk menentukan sikap terutama mengantisipasi peluang "cuan" atau untung ketika terjadi krisis.
"Ketika valuasi dinilai sudah murah, namun investor tetap harus berhati-hati terhadap potensi koreksi harga saham, sehingga sikap menunggu menjadi lebih tepat," kata dia.
Untuk itu, ada dua hal yang harus dicermati yakni pertama respon perusahaan di AS untuk kembali buyback atau malah berbalik menjual. Kedua, kestabilan kurs rupiah relatif terhadap mata uang regional.
Sangat penting bagi investor mencermati respon kebijakan fiskal dan moneter yang berpengaruh pada penguatan ekonomi dan kurs rupiah, mengingat sikap investor asing yang melepas asetnya berupa saham maupun obligasi akibat adanya antisipasi pelambatan ekonomi dan risiko pelemahan rupiah.
Menurut Budi, kondisi saat ini berbeda dengan kondisi menjelang krisis 2008. Saat itu (2008) sikap terbaik adalah menahan ketamakan (controlling the greed) karena valuasi saham sudah terlalu tinggi. Sementara saat ini yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola rasa takut (managing fear).
Tentu, masih ada aset investasi yang menarik terutama SBN (surat berharga negara) yang justru menjadi prasyarat peluang cuan saham.
Investor ritel Mochtar (55) menyikapi kondisi pasar saham yang terjun bebas ini dengan cara lain. Dia tetap melakukan aksi beli saham-saham perusahaan besar yang selama ini menjadi penopang IHSG.
"Meski harus "berdarah-darah" saya tetap beli dan pilih saham-saham gede, mana tau ke depan bursa cepat kembali normal," katanya.
Pendiri LBP Institute (lembaga riset sektor keuangan dan investasi) Lucky Bayu Purnomo mengatakan saat ini investor khawatir perlambatan ekonomi akibat pandemik Corona yang dapat menghambat jalannya industri dan berdampak pada konsumsi.
Menurut dia untuk mengatasi perlambatan ekonomi tersebut Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang sifatnya jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Untuk kebijakan jangka pendek-menengah The Fed telah menurunkan suku bunganya, begitupun dengan Bank Indonesia telah melakukan hal yang sama. Tujuannya untuk menahan perlambatan ekonomi dan menjaga agar tingkat konsumsi tetap stabil.
"Dengan konsumsi yang terjaga setidaknya ada harapan ekonomi kita dapat bertahan. Dalam predisi memang turun, tapi diharapkan turunnya tidak dalam, setidaknya pertumbuhan ekonomi kita tidak jauh dari 5 persen," kata Lucky.
Pertimbangan investor selanjutnya yakni kemampuan pemerintah menangani wabah virus Corona ini. "Paling tidak pemerintah diharapkan mampu memitigasi risiko, sehingga diharapkan bisa lebih cepat memulihkan dan membangkitkan kepercayaan masyarakat," katanya.
Koordinasi lintas kementerian secara bersama-sama sangat diperlukan menangani dampak Corona. Menkeu siapkan dana dan Menkes memberikan edukasi agar masyarakat tidak panik.
BI, OJK dan Menko Perekonomian harus tampil di depan untuk memberikan daya tarik agar dana dari luar kembali masuk ke Indonesia.
"Dengan sendirinya kita akan kembali mendapat kepercayaan investor untuk membawa kembali dananya ke pasar modal Indonesia," ujarnya.
Sementara itu lembaga Manajer Investasi Eastspring menyebutkan ketidakpastian ekonomi global dan domestik membuat lembaga investasi ini lebih menyukai alokasi aset yang memiliki pendapatan tetap ketimbang saham.
Menurut Eastspring dalam jangka panjang kondisi ekonomi Indonesia masih cukup baik dibandingkan negara lainnya. Kondisi makroekonomi Indonesia masih cukup kuat dan stabil di tengah ketidakpastian geopolitik global.
"Komponen konsumsi domestik diharapkan dapat menopang pertumbuhan ekonomi kedepannya. Pada 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5 persen dan pertumbuhan laba perusahaan 11,1 persen. Koreksi yang dalam akan memberikan kesempatan beli dan akumulasi yang baik.
Baca juga: Ini 19 sektor industri yang mendapat stimulus terkait COVID-19
Baca juga: Pemerintah siapkan stimulus fiskal jilid II mitigasi dampak COVID-19
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020
Tags: