Artikel
Konsorsium pun disiapkan untuk mengembangkan vaksin COVID-19
Oleh Martha Herlinawati S
12 Maret 2020 11:18 WIB
Arsip Foto. Pekerja memberikan label vaksin di Laboratorium Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Selasa (10/3/2020). Bio Farma merupakan badan usaha milik negara yang memproduksi vaksin. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/hp.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio mengatakan pembentukan konsorsium akan menjadi jalan untuk menyatukan pihak-pihak terkait dalam visi yang sama guna mengembangkan vaksin COVID-19.
"Untuk mengatasi ego-sektoral itu kita buat konsorsium supaya semuanya punya visi dan misi yang sama," katanya kepada ANTARA di kantor Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Rabu (11/3).
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman telah menyampaikan keinginan untuk mengembangkan vaksin COVID-19 ke Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
"Belum ada yang bisa di-share, ini baru ngomong ngomong doang," kata Amin mengenai kemajuan pembahasan mengenai upaya pengembangan vaksin COVID-19.
Hingga saat ini Lembaga Eijkman belum mengajukan proposal pengembangan vaksin ke Kementerian Riset dan Teknologi.
Amin menuturkan, nantinya proposal penelitian dan pengembangan vaksin COVID-19 akan dibuat bersama-sama oleh Lembaga Eijkman dan institusi atau pihak lain yang tergabung dalam konsorsium.
Sesuai arahan dari Menteri Riset dan Teknologi, Lembaga Eijkman baru akan menyiapkan konsorsium dan mengundang pihak-pihak yang terkait dengan upaya pengembangan vaksin COVID-19 di Indonesia.
"Buat konsorsium supaya tidak ada dualisme karena Kementerian Kesehatan juga mengundang perguruan tinggi, Kementerian Riset dan Teknologi juga mengundang perguruan tinggi kan, tidak perlu ada kompetisi yang seperti itu, mendingan kan menjadi konsorsium. Itu yang yang mau dibentuk," kata Amin.
"Kementerian Riset dan Teknologi mengarahkan Eijkman yang lead (memimpin konsorsium), tapi Menteri Kesehatan kan mereka juga punya timnya, nanti kita mesti bicara (untuk membentuk konsorsium)," ia menambahkan.
Amin mengatakan Kementerian Riset dan Teknologi menargetkan penyusunan dan pengajuan proposal penelitian dan pengembangan vaksin untuk menangkal infeksi jenis virus corona baru yang dinamai SARS-CoV-2 rampung dalam tahun 2020.
Mengenai perkiraan nilai dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan vaksin, ia mengatakan, "Normalnya, itu bisa ratusan miliar rupiah bisa sampai Rp1 triliun."
Pengembangan vaksin mahal karena meliputi berbagai tahapan dan membutuhkan pengujian di tingkat hewan hingga manusia.
Upaya pengembangan vaksin dimulai dari pengembangan di laboratorium. Setelah selesai di skala laboratorium, kandidat vaksin baru diberikan ke industri yang akan memformulasikan vaksin sampai siap untuk digunakan pada manusia.
"Siap diberikan ke manusia itu belum langsung bisa dijual karena harus diuji dulu ke manusia dalam jumlah kecil untuk melihat manfaat dan efek sampingnya," kata Amin.
"Setelah itu, promising (menjanjikan) baru studi skala besar, itu biayanya mahal sekali dan butuh waktu lama. Pengujian di lapangan, artinya clinical trial-nya (uji klinis), bisa lebih panjang daripada pengembangan di laboratoriumnya," ia menambahkan.
Amin mengatakan bahwa Indonesia memiliki cukup sumber daya untuk mengembangkan dan memproduksi vaksin, namun masih membutuhkan dukungan pendanaan untuk menghasilkan vaksin yang benar-benar teruji secara klinis mampu menyembuhkan pasien dari COVID-19.
Upaya Pengembangan Vaksin
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) per 11 Maret 2020 menunjukkan jumlah kasus COVID-19 secara global mencapai 118.326 kasus dan 4.292 di antaranya menyebabkan kematian.
China total melaporkan 80.955 kasus dengan 3.162 kematian. Di luar China, ada 37.371 kasus COVID-19 dengan 1.130 kematian yang dilaporkan di 113 negara.
Di Indonesia, jumlah pasien yang positif COVID-19 bertambah menjadi 34 orang pada Rabu sore (11/3) dan mayoritas pasien tertular virus corona saat berada di luar negeri menurut Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto.
Satu dari pasien COVID-19 yang menjalani perawatan di Indonesia meninggal dunia pada Rabu (11/3). Korban meninggal adalah warga negara asing dengan riwayat penyakit diabetes, hipertensi, dan paru-paru yang sudah dalam keadaan terinfeksi virus corona saat masuk ke Indonesia.
Peningkatan penyebaran COVID-19 dan keparahan dampak penyakit tersebut telah mendorong WHO mengkategorikan penularan COVID-19 sebagai pandemi.
WHO telah mengumpulkan para ilmuwan untuk mengidentifikasi prioritas penelitian dalam upaya menemukan vaksin dan terapi dalam jangka panjang guna melawan COVID-19.
Beberapa negara telah memulai dan sedang mengembangkan vaksin untuk menanggulangi COVID-19.
Pemerintah Amerika Serikat mendorong lembaga penelitian dan perusahaan farmasinya untuk mempercepat kerja pengembangan vaksin untuk COVID-19.
Inggris juga sudah mengucurkan dana untuk mendukung pengembangan vaksin dan alat deteksi cepat untuk COVID-19.
Sementara China sudah lebih awal memulai upaya pengembangan vaksin untuk menangkal virus corona yang pada Desember 2019 mulai menimbulkan wabah di bagian wilayahnya, Kota Wuhan di Provinsi Hubei.
Menurut Amin, pengembangan vaksin di China sudah sampai pada skala laboratorium. Setelah selesai di tingkat laboratorium, kandidat vaksin akan diserahkan ke industri untuk dikembangkan lebih lanjut.
Kandidat vaksin, ia menjelaskan, selanjutnya mesti menjalani serangkaian pengujian untuk mengetahui manfaat, kemanjuran, dan efek samping penggunaannya pada manusia.
Pengujian-pengujian vaksin dilakukan untuk memastikan vaksin benar-benar efektif untuk melawan penyakit dan tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan pasien.
Amin mengatakan bahwa vaksin yang sudah dipasarkan pun kadang harus ditarik kembali karena dinilai tidak lagi efektif untuk melawan virus.
"Mungkin virusnya berubah bisa saja. Contohnya, vaksin influenza setiap enam bulan harus diganti karena virusnya berubah," ujarnya, menambahkan, "Harus juga dilihat perkembangan genetik dan fenotipenya juga."
Upaya-upaya untuk menemukan penangkal COVID-19 diharapkan segera membuahkan hasil sehingga gelombang penularan virus corona baru bisa segera dihentikan, atau setidaknya dikendalikan.
Baca juga:
Inggris kucurkan dana untuk kembangkan vaksin, tes cepat COVID-19
Dunia berpacu mengembangkan penangkal COVID-19
"Untuk mengatasi ego-sektoral itu kita buat konsorsium supaya semuanya punya visi dan misi yang sama," katanya kepada ANTARA di kantor Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Rabu (11/3).
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman telah menyampaikan keinginan untuk mengembangkan vaksin COVID-19 ke Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
"Belum ada yang bisa di-share, ini baru ngomong ngomong doang," kata Amin mengenai kemajuan pembahasan mengenai upaya pengembangan vaksin COVID-19.
Hingga saat ini Lembaga Eijkman belum mengajukan proposal pengembangan vaksin ke Kementerian Riset dan Teknologi.
Amin menuturkan, nantinya proposal penelitian dan pengembangan vaksin COVID-19 akan dibuat bersama-sama oleh Lembaga Eijkman dan institusi atau pihak lain yang tergabung dalam konsorsium.
Sesuai arahan dari Menteri Riset dan Teknologi, Lembaga Eijkman baru akan menyiapkan konsorsium dan mengundang pihak-pihak yang terkait dengan upaya pengembangan vaksin COVID-19 di Indonesia.
"Buat konsorsium supaya tidak ada dualisme karena Kementerian Kesehatan juga mengundang perguruan tinggi, Kementerian Riset dan Teknologi juga mengundang perguruan tinggi kan, tidak perlu ada kompetisi yang seperti itu, mendingan kan menjadi konsorsium. Itu yang yang mau dibentuk," kata Amin.
"Kementerian Riset dan Teknologi mengarahkan Eijkman yang lead (memimpin konsorsium), tapi Menteri Kesehatan kan mereka juga punya timnya, nanti kita mesti bicara (untuk membentuk konsorsium)," ia menambahkan.
Amin mengatakan Kementerian Riset dan Teknologi menargetkan penyusunan dan pengajuan proposal penelitian dan pengembangan vaksin untuk menangkal infeksi jenis virus corona baru yang dinamai SARS-CoV-2 rampung dalam tahun 2020.
Mengenai perkiraan nilai dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan vaksin, ia mengatakan, "Normalnya, itu bisa ratusan miliar rupiah bisa sampai Rp1 triliun."
Pengembangan vaksin mahal karena meliputi berbagai tahapan dan membutuhkan pengujian di tingkat hewan hingga manusia.
Upaya pengembangan vaksin dimulai dari pengembangan di laboratorium. Setelah selesai di skala laboratorium, kandidat vaksin baru diberikan ke industri yang akan memformulasikan vaksin sampai siap untuk digunakan pada manusia.
"Siap diberikan ke manusia itu belum langsung bisa dijual karena harus diuji dulu ke manusia dalam jumlah kecil untuk melihat manfaat dan efek sampingnya," kata Amin.
"Setelah itu, promising (menjanjikan) baru studi skala besar, itu biayanya mahal sekali dan butuh waktu lama. Pengujian di lapangan, artinya clinical trial-nya (uji klinis), bisa lebih panjang daripada pengembangan di laboratoriumnya," ia menambahkan.
Amin mengatakan bahwa Indonesia memiliki cukup sumber daya untuk mengembangkan dan memproduksi vaksin, namun masih membutuhkan dukungan pendanaan untuk menghasilkan vaksin yang benar-benar teruji secara klinis mampu menyembuhkan pasien dari COVID-19.
Upaya Pengembangan Vaksin
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) per 11 Maret 2020 menunjukkan jumlah kasus COVID-19 secara global mencapai 118.326 kasus dan 4.292 di antaranya menyebabkan kematian.
China total melaporkan 80.955 kasus dengan 3.162 kematian. Di luar China, ada 37.371 kasus COVID-19 dengan 1.130 kematian yang dilaporkan di 113 negara.
Di Indonesia, jumlah pasien yang positif COVID-19 bertambah menjadi 34 orang pada Rabu sore (11/3) dan mayoritas pasien tertular virus corona saat berada di luar negeri menurut Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto.
Satu dari pasien COVID-19 yang menjalani perawatan di Indonesia meninggal dunia pada Rabu (11/3). Korban meninggal adalah warga negara asing dengan riwayat penyakit diabetes, hipertensi, dan paru-paru yang sudah dalam keadaan terinfeksi virus corona saat masuk ke Indonesia.
Peningkatan penyebaran COVID-19 dan keparahan dampak penyakit tersebut telah mendorong WHO mengkategorikan penularan COVID-19 sebagai pandemi.
WHO telah mengumpulkan para ilmuwan untuk mengidentifikasi prioritas penelitian dalam upaya menemukan vaksin dan terapi dalam jangka panjang guna melawan COVID-19.
Beberapa negara telah memulai dan sedang mengembangkan vaksin untuk menanggulangi COVID-19.
Pemerintah Amerika Serikat mendorong lembaga penelitian dan perusahaan farmasinya untuk mempercepat kerja pengembangan vaksin untuk COVID-19.
Inggris juga sudah mengucurkan dana untuk mendukung pengembangan vaksin dan alat deteksi cepat untuk COVID-19.
Sementara China sudah lebih awal memulai upaya pengembangan vaksin untuk menangkal virus corona yang pada Desember 2019 mulai menimbulkan wabah di bagian wilayahnya, Kota Wuhan di Provinsi Hubei.
Menurut Amin, pengembangan vaksin di China sudah sampai pada skala laboratorium. Setelah selesai di tingkat laboratorium, kandidat vaksin akan diserahkan ke industri untuk dikembangkan lebih lanjut.
Kandidat vaksin, ia menjelaskan, selanjutnya mesti menjalani serangkaian pengujian untuk mengetahui manfaat, kemanjuran, dan efek samping penggunaannya pada manusia.
Pengujian-pengujian vaksin dilakukan untuk memastikan vaksin benar-benar efektif untuk melawan penyakit dan tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan pasien.
Amin mengatakan bahwa vaksin yang sudah dipasarkan pun kadang harus ditarik kembali karena dinilai tidak lagi efektif untuk melawan virus.
"Mungkin virusnya berubah bisa saja. Contohnya, vaksin influenza setiap enam bulan harus diganti karena virusnya berubah," ujarnya, menambahkan, "Harus juga dilihat perkembangan genetik dan fenotipenya juga."
Upaya-upaya untuk menemukan penangkal COVID-19 diharapkan segera membuahkan hasil sehingga gelombang penularan virus corona baru bisa segera dihentikan, atau setidaknya dikendalikan.
Baca juga:
Inggris kucurkan dana untuk kembangkan vaksin, tes cepat COVID-19
Dunia berpacu mengembangkan penangkal COVID-19
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2020
Tags: