Jakarta (ANTARA) - ​​​Khatib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa berbicara mengenai sesuatu yang masih belum konkret hanya akan menyebabkan adanya diskriminasi.

Karena itu, Gus Yahya mengajak warga NU hendaknya membicarakan simbol-simbol dalam agama tidak seperti membicarakan mengenai jalan yang harus ditempuh sebagai makhluk kepada Tuhannya (syariat).

"Kalau berbicara syariat, kita berbicara soal prinsip-prinsip nilai. Makanya kalau ditanya mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghapuskan kata religiusitas dari nilai dasarnya, saya heran," kata Gus Yahya di Gedung PBNU lantai 8, Senen, Jakarta, Rabu.

Gus Yahya menambahkan bahwa simbol-simbol seperti kata religiusitas yang dihapuskan itu hanya akan mengacaukan persepsi banyak orang.

Menurut dia, mestinya kata religiusitas yang dihapus itu dijelaskan hakikatnya sehingga tidak menimbulkan kekacauan persepsi.

"Apakah religiusitas ini soal mengharamkan babi, misalnya. Atau soal menutup warung di bulan puasa, apa itu religiusitas? Kita harus pikirkan lebih dalam soal ini, apa yang dimaksud dengan religiusitas? Kalau bicara soal syariat Islam, syariat itu beda dengan fiqih (ilmu hukum agama)," kata Gus Yahya. Sebelum direvisi, lima nilai dasar KPK biasa disingkat menjadi RI-KPK yaitu akronim (singkatan) untuk religiusitas, integritas, keadilan, profesionalisme dan kepemimpinan.

Menurut pelaksana tugas juru bicara KPK Ali Fikri, religiusitas sebenarnya tak benar-benar hilang dari nilai dasar KPK.

Nilai itu, kata dia, ada dalam pembukaan kode etik dan pedoman perilaku KPK.

"KPK mencantumkan di dalam mukadimah kode etik dan pedoman perilaku KPK," kata Ali.

Adapun nilai dasar KPK saat ini menjadi integritas, keadilan, profesionalisme, kepemimpinan dan sinergi.

Baca juga: KPK jelaskan soal hilangnya religiusitas dari nilai dasar lembaga

Baca juga: MUI kritik nilai religiusitas dihapus dari Kode Etik KPK

Baca juga: Menag: Identitas Indonesia adalah Religiusitas