MK didesak keluarkan putusan sela tangguhkan pemberlakuan UU KPK baru
9 Maret 2020 21:57 WIB
Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril (kiri) ditemui di Kantor Indonesia Corruption Watch di Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (9/3/2020) (ANTARA/Fathur Rochman)
Jakarta (ANTARA) - Pegiat antikorupsi selaku pemohon uji formil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendesak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan sela untuk menangguhkan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK
"Kami minta supaya pemberlakuan Undang-Undang KPK hasil revisi ditangguhkan, atau dalam artian undang-undang revisi KPK tidak diberlakukan untuk sementara waktu sampai ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi, putusan final," ujar perwakilan pegiat antikorupsi Oce Madril di Jakarta, Senin.
Baca juga: Presiden diminta hadir di MK jelaskan motif revisi UU KPK
Oce mengatakan putusan sela tersebut harus segera dikeluarkan, karena mulai banyak timbul persoalan pasca-berlakunya UU KPK hasil revisi. Salah satunya mengenai pemberhentian 36 penyelidikan kasus dugaan korupsi.
Menurut dia, dengan dihentikannya penyelidikan 36 kasus itu, maka KPK akan memusnahkan alat bukti. Artinya jika suatu saat ditemukan bukti baru terkait kasus tersebut, maka proses penyelidikan, seperti penyadapan akan diulang dari awal. Aturan penghapusan alat bukti itu, kata dia, terdapat dalam UU KPK yang baru.
"Padahal tidak ada mekanisme yang bisa menguji penghentian penyelidikan itu apakah itu sah atau tidak. Ini berbeda dengan mekanisme yang lain di mana kita bisa maju ke praperadilan. Tetapi untuk penyelidikan tidak ada mekanisme untuk menguji itu sehingga itu murni tindakan dari dari pimpinan," kata Oce.
Baca juga: Abdullah Hehamahua soroti penghentian 36 perkara di KPK
Proses penghapusan alat bukti pun akan semakin mudah karena dilakukan tanpa pengawasan. Parahnya lagi, kata Oce, hal ini bisa terjadi berulang kali atas restu dari UU KPK yang baru.
Selain itu, diberlakukannya UU KPK yang baru juga dinilai mempersulit KPK dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Oce menyebut bahwa saat ini KPK menjadi lebih sulit melakukan operasi tangkap tangan, atau pun sulit mengumpulkan data dan bukti keterangan lantaran harus izin penggeledahan dan izin penyitaan terlebih dahulu.
"Jadi ini adalah alasan objektif kenapa kemudian kami meminta agar Mahkamah Konstitusi menangguhkan pemberlakuan Undang-Undang KPK hasil revisi," ucap Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Baca juga: ICW: kepercayaan terhadap KPK turun akibat seleksi pimpinan dan UU
Oce mengatakan apabila putusan sela tersebut dikeluarkan oleh MK saat ini, maka ekses-ekses negatif yang muncul dari UU KPK baru itu bisa diredam.
"Tetapi kalau Mahkamah Konstitusi menolak menjatuhkan putusan provisi, putusan sela, maka ekses-ekses negatif ini akan terus terjadi," ujar dia.
"Kami minta supaya pemberlakuan Undang-Undang KPK hasil revisi ditangguhkan, atau dalam artian undang-undang revisi KPK tidak diberlakukan untuk sementara waktu sampai ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi, putusan final," ujar perwakilan pegiat antikorupsi Oce Madril di Jakarta, Senin.
Baca juga: Presiden diminta hadir di MK jelaskan motif revisi UU KPK
Oce mengatakan putusan sela tersebut harus segera dikeluarkan, karena mulai banyak timbul persoalan pasca-berlakunya UU KPK hasil revisi. Salah satunya mengenai pemberhentian 36 penyelidikan kasus dugaan korupsi.
Menurut dia, dengan dihentikannya penyelidikan 36 kasus itu, maka KPK akan memusnahkan alat bukti. Artinya jika suatu saat ditemukan bukti baru terkait kasus tersebut, maka proses penyelidikan, seperti penyadapan akan diulang dari awal. Aturan penghapusan alat bukti itu, kata dia, terdapat dalam UU KPK yang baru.
"Padahal tidak ada mekanisme yang bisa menguji penghentian penyelidikan itu apakah itu sah atau tidak. Ini berbeda dengan mekanisme yang lain di mana kita bisa maju ke praperadilan. Tetapi untuk penyelidikan tidak ada mekanisme untuk menguji itu sehingga itu murni tindakan dari dari pimpinan," kata Oce.
Baca juga: Abdullah Hehamahua soroti penghentian 36 perkara di KPK
Proses penghapusan alat bukti pun akan semakin mudah karena dilakukan tanpa pengawasan. Parahnya lagi, kata Oce, hal ini bisa terjadi berulang kali atas restu dari UU KPK yang baru.
Selain itu, diberlakukannya UU KPK yang baru juga dinilai mempersulit KPK dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Oce menyebut bahwa saat ini KPK menjadi lebih sulit melakukan operasi tangkap tangan, atau pun sulit mengumpulkan data dan bukti keterangan lantaran harus izin penggeledahan dan izin penyitaan terlebih dahulu.
"Jadi ini adalah alasan objektif kenapa kemudian kami meminta agar Mahkamah Konstitusi menangguhkan pemberlakuan Undang-Undang KPK hasil revisi," ucap Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Baca juga: ICW: kepercayaan terhadap KPK turun akibat seleksi pimpinan dan UU
Oce mengatakan apabila putusan sela tersebut dikeluarkan oleh MK saat ini, maka ekses-ekses negatif yang muncul dari UU KPK baru itu bisa diredam.
"Tetapi kalau Mahkamah Konstitusi menolak menjatuhkan putusan provisi, putusan sela, maka ekses-ekses negatif ini akan terus terjadi," ujar dia.
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020
Tags: