Melongok sejarah hubungan Indonesia-Australia tak bisa dilepaskan dari kiprah dan sumbangsih para warga kedua bangsa.
Kalau
di masa perjuangan kemerdekaan RI dulu dikenal sosok Mohamad Bondan dan
Molly Bondan yang sepak-terjangnya dalam upaya mempererat hubungan
Indonesia-Australia terekam dalam buku "Spanning a Revolution: The
Story of Mohamad Bondan and the Indonesian Nationalist Movement"
(1992), di abad ke-21 ini dikenal pasangan Julia Suryakusuma dan Tim
Lindsey.
Kisah dua sejoli berbeda bangsa ini bermula tahun 2005
namun "cinta mati" Tim Lindsey pada Indonesia justru sudah terbangun
puluhan tahun sebelum pernikahan mereka.
Indonesianis yang kini
memimpin Pusat Hukum Asia Universitas Melbourne (UM) dan Lembaga
Australia-Indonesia (AII) Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT)
Australia itu bertemu untuk pertama kalinya dengan Julia di Jakarta
pada 11 Juli 2005.
"Kami ketemu pertama kali di resepsi acara
AII di gedung Arsip Nasional tapi Tim sudah mengagumi buku saya sejak
lama karena buku saya itu kebetulan masuk 'reading list' (daftar
bacaan) kuliahnya dulu," kata Julia saat ditemui bersama suaminya di
sela acara Konferensi Hubungan Indonesia-Australia di Sydney 21
Februari lalu.
Tidak lama setelah pertemuan di Jakarta itu,
mereka kembali bertemu di Melbourne saat Julia yang dikenal banyak
kalangan di Indonesia sebagai seorang penulis dan feminis ini mengikuti
festival penulis di kota itu.
Masa perkenalan mereka hanya berjalan sekitar tiga bulan dan pada 21 September 2005, keduanya sepakat untuk menikah.
"Kami
menikah pada bulan Ramadhan 2005 di rumah orangtua saya di Bekasi.
Alasan saya ke ibu adalah kondisi ayah saya yang sudah sangat sakit
saat itu. Kami menikah secara Islam dan pernikahan kami itu kemudian
diulangi di rumah orang tua Tim di Melbourne," katanya.
Sebelum
pertemuan keduanya, masing-masing sudah punya anak dari perkawinan
dengan pasangan hidup sebelumnya. Ke-empat anak mereka itu adalah
Aditya Priyawardhana, Nimi, Sami dan Nina.
Seperti dituturkan
penulis buku "Sex, Power and Nation" ini, kehidupannya dengan sang
suami berjalan di antara rumah mereka di kawasan Cinere (Jakarta) dan
Emerald Melbourne.
"Pertemuan kami kayak seterika. Tim sebulan
sekali terbang ke Jakarta sedangkan saya (ke Melbourne-red.) lima kali
setahun," kata Julia (55).
Tim Lindsey menimpali, kebersamaan
mereka sebagai suami-istri berjalan di antara dua kota itu karena
mereka memiliki karir masing-masing. "Saya sendiri mengajar di Fakultas
Hukum Universitas Melbourne."
Walaupun kehidupan berkeluarga mereka
jalani di antara dua kota dan dua negara itu, jarak yang membentang itu
tidak mereka anggap sebagai penghalang.
"Sebaliknya, 'long
distance marriage' (perkawinan jarak jauh) itu justru positif karena
'absence makes the hearts grow ponder' (jarak jauh membuat kita semakin
kangen-red.)," kata Julia.
Perbedaan budaya Indonesia dan
Australia juga tidak dipandang Julia dan Lindsey sebagai masalah karena
keduanya merasa sebagai "cultural counterpart" (teman budaya).
Kondisi
ini tidak dapat dilepaskan dari pergumulan Tim Lindsey secara langsung
dalam jantung bahasa dan budaya Indonesia serta latarbelakang Julia
sendiri sebagai anak mantan diplomat RI yang besar di Eropa.
"'Cultural
shock' (gegar budaya) justru saya alami pada saat pulang ke Indonesia
karena ketika itu logat bicara saya masih sangat dipengaruhi bahasa
Inggris," kata Julia.
Keindonesiaan dan keislaman
Pernikahannya
dengan pria kulit putih Australia ini tidak hanya meneguhkan
"keindonesiannya" tetapi juga "keislamanannya" karena Islam yang ia
telah diterima sejak lahir justru semakin indah di tangan Lindsey,
katanya.
Sebagai pakar hukum Islam, suaminya itu mendalami
Islam. Bahkan, dia sudah berulang kali katam Al Qur'an dan suka
mengingatkan dirinya pada ibadah umroh, kata Julia.
Bagi Tim Lindsey sendiri, "pernikahannya dengan Julia adalah produk hubungan bilateral yang baik dan AII."
Tentang
perkenalannya dengan studi bahasa, budaya dan berbagai hal tentang
Indonesia, akademisi Australia kelahiran 12 Mei 1962 itu mengatakan,
perkenalannya yang berujung pada kecintaannya yang besar pada Indonesia
itu sebenarnya bermula dari sebuah "kebetulan" dan "keterpaksaan".
Ketika
itu, ia berumur 13 tahun dan sudah duduk di bangku sekolah lanjutan
atas di Melbourne. Tim Lindsey mengatakan, ibunyalah yang memaksa dia
memilih pelajaran bahasa Indonesia saat dia dihadapkan pada tiga
tawaran pelajaran bahasa asing -- Perancis, Jerman dan Indonesia.
"Ibu
saya bilang, jangan pilih Jerman dan Perancis. Pilih Indonesia. Sejak
itu, studi Indonesia menjadi tema besar dalam hidup saya. Walaupun
bahasa Indonesia saya masih jelek saat duduk di bangku kelas sepuluh,
saya mendapat kesempatan mengikuti program kunjungan tiga bulan ke
Indonesia."
Selama tiga bulan itu, Indonesianis yang telah
menulis sedikitnya 12 buku disamping puluhan bab buku dan artikel di
berbagai jurnal ilmiah internasional itu tinggal di rumah keluarga
Wirya Atmadja di Purwokerto, Jawa Tengah.
"Pengalaman itu berdampak luar biasa pada diri saya. Itulah kontak pertama saya dengan kebudayaan asing."
Akibatnya
ia mengalami "gegar budaya" karena adanya perbedaan besar dalam banyak
hal mulai dari bahasa, cara makan hingga urusan mandi dan toilet.
"Selama masa kanak-kanak, saya belum pernah makan nasi. Jadi 'saya bule total'," kata Tim Lindsey.
Pada
hari terakhir program tiga bulan itu, ia diundang ke acara perpisahan
dengan masyarakat desa di mana ia tinggal. Di sanalah kemudian kisah
yang tak pernah ia lupakan terjadi. "Saat itu sudah banyak tamu yang
hadir dan saya gemetar sekali saat menyampaikan pidato (perpisahan)
saya."
Karena demam panggung itu, tutur Tim Lindsey, ia sampai
keliru menyebut kata "malu besar" karena tanpa ia sadari, ia memberikan
himbuhan "ke-an" pada kata "malu" dalam pembukaan pidatonya.
Kontan
semua tamu tak mampu menahan tawa. Banyak di antara mereka sampai
memeluk dirinya namun acara perpisahannya sendiri akhirnya bubar karena
warga tetap tak tahan menahan tawa setiap kali melihat dia, katanya.
Pengalaman
tiga bulan bersama keluarga Wirya Atmadja dan hidup di tengah
masyarakat Purwokerto itu begitu membekas di hatinya karena dia
merasakan kehangatan dan ketulusan orang-orang Indonesia yang tidak
hanya membuka pintu rumahnya untuk dia tetapi juga menerimanya sebagai
"anak mereka".
"Mereka membuka rumah dan hatinya untuk saya
sehingga saya tidak merasa diasingkan. Sejak itu saya merasa punya dua
kebudayaan, yakni kebudayaan barat dan timur."
Bagi Lindsey,
"memasuki kebudayaan yang baru tidak berarti kita kehilangan kebudayaan
kita. Sebaliknya, kita mendapat tambahan budaya."
Beranjak dari
pengalaman pribadi dan keinginannya untuk menjawab pandangan stereotipe
bahwa "budaya Indonesia asing bagi Barat", penulis buku "Indonesia law
and society" ini kemudian berkomitmen untuk ikut aktif membangun
fondasi kuat hubungan kedua bangsa.
"Saya punya komitmen karena
saya merasa berhutang budi." Orang-orang Australia seperti dirinya
dijuluki "the Indonesia bug" (virus Indonesia) karena kuatnya komitmen
pribadi mereka pada upaya memperkuat fondasi hubungan kedua bangsa.
Komitmen
pribadinya itu ia buktikan dengan keterlibatan aktifnya sebagai ketua
AII, lembaga yang berjasa memperkuat hubungan antarwarga melalui
berbagai program aksi, seperti pertukaran pemuda Indonesia-Australia
dan pertukaran pemimpin muda Muslim Indonesia-Australia.
Ia juga
aktif terlibat dalam menyukseskan Konferensi Hubungan
Indonesia-Australia yang berlangsung di Sydney pada 19-21 Februari lalu
dan diikuti sekitar 140 orang anggota delegasi dari kedua negara.
Di
mata Tim Lindsey, Indonesia dan Australia sangat berpotensi menjadi
mitra regional dan global yang saling menguatkan karena keduanya
merupakan tetangga yang memiliki banyak kesamaan, disamping perbedaan
alami.
Ia menyebut "sikap hangat, terbuka, ramah, santai dan
informal" sebagai beberapa persamaan yang dimiliki orang Australia dan
Indonesia.
Orang Australia umumnya menyukai "informalitas" dan
egalitarianisme. Bahkan orang Australia sekelas Perdana Menteri Kevin
Rudd juga menyukai ketidakresmian itu seperti tercermin dari cara dia
mengenalkan diri dengan hanya menyebut nama dan asal daerah tanpa
embel-embel jabatan resmi yang melekat pada dirinya.
Orang-orang
Indonesia juga demikian, kata Tim Lindsey. Salah satu bukti
"informalitas" orang Indonesia itu adalah kesukaan mereka "nongkrong"
di jalan.
Kesamaan-kesamaan yang dimiliki kedua bangsa ini
sepatutnya didayagunakan untuk memperkuat fondasi bangunan hubungan di
tingkat rakyat, katanya.
"Kami (dia dan Julia-red.) adalah
personifikasi dari hubungan Indonesia-Australia yang sangat ideal
sekalipun kami bukanlah unik dalam hal ini... Kewajiban kami adalah
bagaimana memperkuat jembatan dua bangsa ini," kata Tim Lindsey. (*)
"Berbagi Indonesia" Melalui Cinta Julia-Lindsey
2 Maret 2009 16:51 WIB
Oleh Oleh Rahmad Nasution
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2009
Tags: