Artikel
Dunia berpacu mengembangkan penangkal COVID-19
Oleh Virna P Setyorini
7 Maret 2020 12:04 WIB
Pekerja medis di perusahaan obat tradisional China menyiapkan saset obat tradisional saat wabah virus corona baru meliputi negara itu di Fuzhou, Provinsi Jiangxi, China, pada 17 Februari 2020. (ANTARA/China Daily via REUTERS/pri.)
Jakarta (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengeluarkan peta jalan penelitian dan pengembangan untuk mengatasi epidemi COVID-19 di dunia.
Februari lalu, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam mengatakan bahwa WHO telah menggelar pertemuan yang dihadiri lebih dari 400 ilmuwan untuk mengidentifikasi prioritas penelitian untuk menyelamatkan nyawa dan menemukan vaksin dan terapi dalam jangka panjang.
Prioritas penelitian COVID-19 di antaranya mencakup upaya untuk mencari tahu sejarah alami virus, epidemiologi, vaksin, diagnostik, terapi, manajemen klinis, pertimbangan etis, dan ilmu sosial.
Mengkoordinasi penelitian agar grup-grup berbeda di seluruh dunia saling melengkapi satu sama lain sangat vital agar WHO dapat memberikan saran yang lebih baik dan negara-negara dan mengambil keputusan berbasis bukti ilmiah yang mampu menyelamatkan nyawa menurut Tedros.
"Karena itu WHO telah mengembangkan seperangkat protokol inti yang menetapkan standar tentang bagaimana penelitian harus dilakukan, dan untuk mengumpulkan data penting sehingga kita dapat membandingkan apel dengan apel dan mengumpulkan data dari berbagai penelitian," ujar dia.
WHO juga mengembangkan protokol penelitian untuk menilai intervensi pada masyarakat yang kehilangan haknya seperti pengungsi dan orang-orang yang dipindahkan secara internal, kata Tedros.
WHO sangat terbantu dengan peningkatan level ketertarikan untuk mengakselerasi penelitian sebagai bagian dari respons.
Sejauh ini WHO telah menerima aplikasi untuk peninjauan dan persetujuan dari 40 tes diagnostik. Selain itu, ada 20 vaksin yang sedang dikembangkan dan banyak uji klinis terapi sedang berlangsung.
"Bahkan ketika kita menguji terapi, kita perlu memastikan bahwa persediaan obat-obatan untuk itu tersedia jika terbukti efektif," kata Tedros.
Pengembangan vaksin
Kecepatan infeksi virus corona tipe baru yang awal Desember 2019 menyebar di Wuhan, Provinsi Hubei, China, membuat para peneliti dunia tertantang untuk memecahkan persoalan kesehatan tersebut.
Pada Jumat (6/3), dalam 24 jam terakhir WHO mencatat 2.736 laporan kasus COVID-19 dari 47 negara dan wilayah sehingga total kasus infeksi virus corona baru yang dilaporkan secara global mencapai 98.023 dengan jumlah kematian mencapai 3.380.
"Kita sekarang berada di ambang mencapai 100.000 kasus yang terkonfimasi," kata Tedros.
Guna mengatasi epidemi tersebut, Shanghai East Hospital of Tongji University mengembangkan vaksin mRNA untuk melumpuhkan virus corona baru penyebab COVID-19. Menurut laporan kantor berita Xinhua, vaksin tersebut akan dikembangkan bersama oleh rumah sakit dan Stermirna Therapeutics Co., Ltd.
CEO Stermirna Therapeutics Li Hangwen mengatakan waktu tidak lebih dari 40 hari diperlukan untuk memproduksi sampel vaksin berdasarkan generasi baru teknologi mRNA dan beberapa prosedur pendahuluan. Sampel akan dikirim untuk tes dan dibawa ke klinik sesegera mungkin.
Siklus produksi vaksin tradisional dapat memakan waktu lima hingga enam bulan. Vaksin mRNA memiliki keunggulan karena siklus pengembangan dan produksinya yang lebih pendek.
Pada Senin (10/2), Xinhua yang mengutip Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China mengenai kandidat vaksin dengan target virus corona baru yang telah diujikan pada hewan.
Sampel vaksin tersebut telah disuntikkan ke 100 tikus setelah dua minggu mereka berhasil mengisolasi strain virus corona baru pertama pada 24 Januari.
Itu masih tahap yang sangat awal untuk pembuatan vaksin, kata seorang pejabat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China. Masih banyak langkah yang harus dijalankan sebelum vaksin siap untuk digunakan pada manusia.
Pengujian pada tikus hanyalah penyaringan awal kandidat vaksin. Setelah itu akan ada tes toksisitas pada hewan yang lebih besar seperti monyet untuk memastikan keamanan vaksin dalam uji klinis manusia menurut seorang peneliti dari Universitas Tongji yang dikutip Xinhua.
Tidak hanya Pemerintah China, Pemerintah Amerika Serikat juga mendorong lembaga penelitian dan perusahaan farmasinya untuk mempercepat kerja pengembangan vaksin untuk COVID-19.
Kantor berita Reuters mengutip pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Senin (2/3) bahwa Pemerintah Amerika Serikat telah meminta perusahaan farmasi mempercepat kerja pengembangan vaksin virus corona.
Dalam pertemuannya dengan sejumlah eksekutif industri farmasi di Gedung Putih, Trump mendesak perusahaan untuk berkolaborasi guna mempercepat proses mendapatkan vaksin dan terapi untuk korban virus corona tipe baru.
Petinggi perusahaan farmasi seperti kepala eksekutif Gilead Sciences Inc, Regeneron Pharmaceuticals Inc, Moderna Inc, dan GlaxoSmithKline Plc serta eksekutif penelitian dan pengembangan dari Pfizer Inc, Johnson & Johnson, dan Sanofi SA semua menyatakan bahwa perusahaan mereka bekerja untuk mengembangkan vaksin atau obat untuk mengatasi COVID-19.
Sekalipun Trump menyuarakan harapannya agar perusahaan dapat mempercepat pengembangan mereka sebanyak mungkin, eksekutif industri farmasi dan ahli lainnya menyatakan bahwa uji klinis harus dapat menjamin vaksin aman dan efektif dipergunakan, yang berarti diperlukan waktu minimal 12 hingga 18 bulan untuk mencapai target pasar.
Upaya Indonesia
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan bahwa Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan PT Bio Farma sedang membahas pengembangan vaksin untuk menangkal infeksi virus corona baru penyebab COVID-19.
Menteri BUMN Erick Thohir juga mendorong perusahaan negara PT Bio Farma untuk mengembangkan vaksin virus corona baru dan memproduksinya.
Bio Farma didorong bekerja sama dengan lembaga-lembaga riset kesehatan tingkat nasional maupun internasional, termasuk Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dalam mengembangkan dan memproduksi vaksin corona.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan pemerintah akan menggiatkan penelitian untuk mengembangkan vaksin dan atau obat untuk mengatasi COVID-19.
Kementerian Kesehatan, kata Terawan, akan memanfaatkan dua kasus pertama COVID-19 di Indonesia untuk riset yang diharapkan dapat menghasilkan obat atau vaksin.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Subandriyo mengatakan bahwa memang sudah pernah ada pembicaraan dengan PT Bio Farma berkenaan dengan pengembangan vaksin virus corona.
Meski demikian, ia menjelaskan, pengembangan vaksin untuk menangkal infeksi virus tertentu tidak mudah dan membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun karena harus melewati berbagai tahapan, termasuk uji praklinis ke hewan dan uji klinis ke manusia.
Lembaga Eijkman sedang mengajukan bantuan pendanaan kepada pemerintah untuk mengembangkan vaksin.
Pada Kamis (5/3), Pelaksana Tugas Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi Muhammad Dimyati kepada ANTARA mengatakan akan segera mempelajari proposal yang saat ini masih ada di Komisi Etik Penelitian Kesehatan untuk mengetahui jumlah dana yang dibutuhkan dan membantu mencarikannya.
Baca juga:
Kasus COVID-19 capai 98.192, tingkat kematian tertinggi di Italia
KSP: WNA 4 negara wajib bawa sertifikat kesehatan masuk Indonesia
Februari lalu, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam mengatakan bahwa WHO telah menggelar pertemuan yang dihadiri lebih dari 400 ilmuwan untuk mengidentifikasi prioritas penelitian untuk menyelamatkan nyawa dan menemukan vaksin dan terapi dalam jangka panjang.
Prioritas penelitian COVID-19 di antaranya mencakup upaya untuk mencari tahu sejarah alami virus, epidemiologi, vaksin, diagnostik, terapi, manajemen klinis, pertimbangan etis, dan ilmu sosial.
Mengkoordinasi penelitian agar grup-grup berbeda di seluruh dunia saling melengkapi satu sama lain sangat vital agar WHO dapat memberikan saran yang lebih baik dan negara-negara dan mengambil keputusan berbasis bukti ilmiah yang mampu menyelamatkan nyawa menurut Tedros.
"Karena itu WHO telah mengembangkan seperangkat protokol inti yang menetapkan standar tentang bagaimana penelitian harus dilakukan, dan untuk mengumpulkan data penting sehingga kita dapat membandingkan apel dengan apel dan mengumpulkan data dari berbagai penelitian," ujar dia.
WHO juga mengembangkan protokol penelitian untuk menilai intervensi pada masyarakat yang kehilangan haknya seperti pengungsi dan orang-orang yang dipindahkan secara internal, kata Tedros.
WHO sangat terbantu dengan peningkatan level ketertarikan untuk mengakselerasi penelitian sebagai bagian dari respons.
Sejauh ini WHO telah menerima aplikasi untuk peninjauan dan persetujuan dari 40 tes diagnostik. Selain itu, ada 20 vaksin yang sedang dikembangkan dan banyak uji klinis terapi sedang berlangsung.
"Bahkan ketika kita menguji terapi, kita perlu memastikan bahwa persediaan obat-obatan untuk itu tersedia jika terbukti efektif," kata Tedros.
Pengembangan vaksin
Kecepatan infeksi virus corona tipe baru yang awal Desember 2019 menyebar di Wuhan, Provinsi Hubei, China, membuat para peneliti dunia tertantang untuk memecahkan persoalan kesehatan tersebut.
Pada Jumat (6/3), dalam 24 jam terakhir WHO mencatat 2.736 laporan kasus COVID-19 dari 47 negara dan wilayah sehingga total kasus infeksi virus corona baru yang dilaporkan secara global mencapai 98.023 dengan jumlah kematian mencapai 3.380.
"Kita sekarang berada di ambang mencapai 100.000 kasus yang terkonfimasi," kata Tedros.
Guna mengatasi epidemi tersebut, Shanghai East Hospital of Tongji University mengembangkan vaksin mRNA untuk melumpuhkan virus corona baru penyebab COVID-19. Menurut laporan kantor berita Xinhua, vaksin tersebut akan dikembangkan bersama oleh rumah sakit dan Stermirna Therapeutics Co., Ltd.
CEO Stermirna Therapeutics Li Hangwen mengatakan waktu tidak lebih dari 40 hari diperlukan untuk memproduksi sampel vaksin berdasarkan generasi baru teknologi mRNA dan beberapa prosedur pendahuluan. Sampel akan dikirim untuk tes dan dibawa ke klinik sesegera mungkin.
Siklus produksi vaksin tradisional dapat memakan waktu lima hingga enam bulan. Vaksin mRNA memiliki keunggulan karena siklus pengembangan dan produksinya yang lebih pendek.
Pada Senin (10/2), Xinhua yang mengutip Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China mengenai kandidat vaksin dengan target virus corona baru yang telah diujikan pada hewan.
Sampel vaksin tersebut telah disuntikkan ke 100 tikus setelah dua minggu mereka berhasil mengisolasi strain virus corona baru pertama pada 24 Januari.
Itu masih tahap yang sangat awal untuk pembuatan vaksin, kata seorang pejabat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China. Masih banyak langkah yang harus dijalankan sebelum vaksin siap untuk digunakan pada manusia.
Pengujian pada tikus hanyalah penyaringan awal kandidat vaksin. Setelah itu akan ada tes toksisitas pada hewan yang lebih besar seperti monyet untuk memastikan keamanan vaksin dalam uji klinis manusia menurut seorang peneliti dari Universitas Tongji yang dikutip Xinhua.
Tidak hanya Pemerintah China, Pemerintah Amerika Serikat juga mendorong lembaga penelitian dan perusahaan farmasinya untuk mempercepat kerja pengembangan vaksin untuk COVID-19.
Kantor berita Reuters mengutip pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Senin (2/3) bahwa Pemerintah Amerika Serikat telah meminta perusahaan farmasi mempercepat kerja pengembangan vaksin virus corona.
Dalam pertemuannya dengan sejumlah eksekutif industri farmasi di Gedung Putih, Trump mendesak perusahaan untuk berkolaborasi guna mempercepat proses mendapatkan vaksin dan terapi untuk korban virus corona tipe baru.
Petinggi perusahaan farmasi seperti kepala eksekutif Gilead Sciences Inc, Regeneron Pharmaceuticals Inc, Moderna Inc, dan GlaxoSmithKline Plc serta eksekutif penelitian dan pengembangan dari Pfizer Inc, Johnson & Johnson, dan Sanofi SA semua menyatakan bahwa perusahaan mereka bekerja untuk mengembangkan vaksin atau obat untuk mengatasi COVID-19.
Sekalipun Trump menyuarakan harapannya agar perusahaan dapat mempercepat pengembangan mereka sebanyak mungkin, eksekutif industri farmasi dan ahli lainnya menyatakan bahwa uji klinis harus dapat menjamin vaksin aman dan efektif dipergunakan, yang berarti diperlukan waktu minimal 12 hingga 18 bulan untuk mencapai target pasar.
Upaya Indonesia
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan bahwa Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan PT Bio Farma sedang membahas pengembangan vaksin untuk menangkal infeksi virus corona baru penyebab COVID-19.
Menteri BUMN Erick Thohir juga mendorong perusahaan negara PT Bio Farma untuk mengembangkan vaksin virus corona baru dan memproduksinya.
Bio Farma didorong bekerja sama dengan lembaga-lembaga riset kesehatan tingkat nasional maupun internasional, termasuk Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dalam mengembangkan dan memproduksi vaksin corona.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan pemerintah akan menggiatkan penelitian untuk mengembangkan vaksin dan atau obat untuk mengatasi COVID-19.
Kementerian Kesehatan, kata Terawan, akan memanfaatkan dua kasus pertama COVID-19 di Indonesia untuk riset yang diharapkan dapat menghasilkan obat atau vaksin.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Subandriyo mengatakan bahwa memang sudah pernah ada pembicaraan dengan PT Bio Farma berkenaan dengan pengembangan vaksin virus corona.
Meski demikian, ia menjelaskan, pengembangan vaksin untuk menangkal infeksi virus tertentu tidak mudah dan membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun karena harus melewati berbagai tahapan, termasuk uji praklinis ke hewan dan uji klinis ke manusia.
Lembaga Eijkman sedang mengajukan bantuan pendanaan kepada pemerintah untuk mengembangkan vaksin.
Pada Kamis (5/3), Pelaksana Tugas Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi Muhammad Dimyati kepada ANTARA mengatakan akan segera mempelajari proposal yang saat ini masih ada di Komisi Etik Penelitian Kesehatan untuk mengetahui jumlah dana yang dibutuhkan dan membantu mencarikannya.
Baca juga:
Kasus COVID-19 capai 98.192, tingkat kematian tertinggi di Italia
KSP: WNA 4 negara wajib bawa sertifikat kesehatan masuk Indonesia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2020
Tags: