Artikel
COVID-19 bukan wabah penyakit pertama bagi Indonesia
Oleh Virna P Setyorini
6 Maret 2020 12:51 WIB
Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Semarang memindai penumpang pesawat asal Singapura menggunakan alat deteksi suhu tubuh atau "thermoscan" di Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (24/1/2020). ANTARA FOTO/Aji Styawan/ama.
Jakarta (ANTARA) - COVID-19 yang disebabkan oleh virus corona tipe baru SARS CoV-2 bukanlah wabah penyakit menular pertama di dunia maupun bagi Indonesia.
Jauh sebelum ingar bingar penyakit COVID-19 yang virusnya diketahui pertama kali menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Desember 2019, sudah pernah ada berbagai wabah penyakit menular yang merebak.
Sebut saja Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada 2002, flu burung pada 2005, flu babi (swine flu) yang menjadi pandemi pada 2009, Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS-CoV) pada 2012, maupun penyebaran polio bersamaan virus ebola pada 2014 pernah terjadi hanya dalam 20 tahun terakhir.
Penyakit-penyakit menular yang bersumber dari makhluk mikroskopis, yakni bakteri maupun virus itu memang tak mengenal batas wilayah negara.
Layaknya manusia yang gemar bepergian ke berbagai pelosok dunia, sumber penyakit menular itu pun sering ikut serta menumpang pada makhluk hidup lain sebagai inangnya. Ada pula yang berperan sebagai vektor utama maupun sekunder pembawa virus, seperti kelelawar, unta, tikus, burung, kutu, trenggiling.
Terkadang, virus dan bakteri yang dikenal sekarang pun bukan makhluk kemarin sore, yang kebetulan baru hidup pada era media sosial dan grup Whatsapp terbentuk. Ada dari mereka yang berusia sangat renta namun tetap mampu memicu wabah penyakit yang kemudian viral.
Contohnya, cacar yang sudah mewabah sekitar 10 ribu tahun sebelum masehi dan merenggut ratusan juta nyawa manusia. Ada pula campak yang juga merenggut ratusan juta jiwa sejak abad tujuh sebelum masehi.
Lalu polio, penyakit yang juga disebabkan virus yang mampu membuat kelumpuhan bagian tubuh manusia diyakini sudah ada sejak zaman Mesir Kuno. Cacar baru dapat dikendalikan pada era 1970, campak 1960-an, dan polio 1950-an, setelah ditemukan vaksin untuk ketiga penyakit tersebut.
Namun, ada pula wabah penyakit mematikan yang sudah akrab di telinga masyarakat Indonesia yang belum ada vaksinnya, yakni demam berdarah dengue yang disebabkan virus dengue dengan vektor utama nyamuk Aedes aegypti.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menyebut setidaknya 50 juta orang di dunia terinfeksi virus dengue tersebut. Tidak ada cara lain untuk terhindar selain masyarakat melakukan pencegahan dengan melakukan 3M, yakni menguras, menutup, dan mengubur benda-benda yang dapat menampung air.
Baca juga: Indonesia miliki kemampuan uji laboratorium Covid-2019
Saat masyarakat Indonesia panik oleh COVID-19, Kementerian Kesehatan (Kemkes) mencatat sudah ada 94 kematian di Indonesia terhitung sejak 1 Januari hingga awal Maret 2020 akibat DBD, dari total 14.716 kasus secara nasional.
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan curah hujan yang terkadang cukup tinggi seperti sekarang ini, berpotensi membuat nyamuk Aedes aegyti berkembang pesat.
"Jangan nanti karena fokus pada virus corona malah lengah dengan ancaman DBD," katanya.
Terdeteksi
SARS atau Penyakit Pernafasan Gawat Mendadak yang awalnya merebak di Guangdong, China pada 16 November 2002 juga terdeteksi masuk Indonesia pada April 2003.
Mirip dengan penyebaran SARS CoV-2, penyakit tersebut menular melalui tetesan yang menyebar ke udara ketika penderitanya batuk, bersin, atau berbicara.
Meski tercatat virus corona mulai merebak pada November 2002, kasus tersebut baru dinyatakan sebagai wabah oleh WHO pada 11 Februari 2003, dan segera naik status sebagai ancaman global pada 16 Maret saat sejumlah negara selain China melaporkan kasus positif SARS.
Dalam catatan WHO, Indonesia melaporkan dua probable SARS namun tidak ada kematian, semua pasien sembuh melalui perawatan di rumah sakit. Salah satu probable case tersebut adalah warga negara Inggris keturunan China, sebagai pengusaha yang datang dari Hong Kong melalui Singapura sebelum masuk Indonesia.
Dr Sjafii Ahmad, MPH yang saat itu Sekretaris Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan meminta wartawan tidak terlalu membesar-besarkan kasus tersebut agar masyarakat tidak panik. Terlebih, 90 persen dari total kasus SARS dapat disembuhkan, hanya 3,8 persen yang mengakibatkan kematian.
Berkaca dari 50 kasus di Hong Kong, kasus penyakit tersebut digolongkan ke dalam probable complicated dan probable uncomplicated. Untuk probable complicated, misalnya usia 60 tahun ke atas, ada diabetes, stroke dan asma, sehingga umumnya mereka meninggal saat terserang virus corona.
Berbeda dengan WHO yang langsung menggunakan dua istilah, yakni suspect dan probable, maka Indonesia juga memakai istilah observasi untuk pengamatan kasus guna memastikan diagnosisnya apakah suspect atau probable.
Dr Tjandra Yoga Adhitama, Sp.P yang saat itu menjadi Ketua Tim Verifikasi Penanggulangan SARS, mengatakan observasi bukan istilah diagnosis tetapi pengamatan kasus untuk memastikan diagnosis saja.
Banyaknya pintu masuk dan keluar di Indonesia ditambah jumlah penduduk yang besar tersebar di berbagai pelosok Nusantara maka pemerintah mengharapkan peran media massa untuk membantu meningkatkan informasi yang tepat terkait dengan SARS agar masyarakat lebih waspada menghindari terjadinya community transmission.
Baca juga: Kemenkes: Pengalaman SARS bantu Indonesia hadapi COVID-19
Kewaspadaan juga ditingkatkan, terutama di terminal 3 kedatangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang pulang ke Indonesia dengan prosedur yang terkesan ketat, yakni dengan menyediakan empat tempat pemeriksaan atau klinik.
Semua yang datang diperiksa kesehatannya oleh petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Setelah diperiksa mereka diberi pedoman tentang kegiatan pencegahan SARS selama 14 hari ke depan selama di rumah.
Tindakan ini sering diidentikkan sebagai community isolation, tetapi sebenarnya sebagai upaya mengurangi kontak dengan masyarakat dan sekitarnya.
Semua dilakukan sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dengan Menteri Kesehatan Dr Achmad Sujudi menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 424/MENKES/SK/2003 tentang SARS sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan pedoman penanggulangannya pada 3 April 2003.
Dengan keputusan tersebut, pemerintah memiliki landasan kuat untuk mengambil langkah-langkah yang efektif guna mencegah penyebaran SARS di seluruh wilayah Indonesia.
Departemen Kesehatan berkoordinasi dengan perwakilan WHO di Jakarta, lalu mengaktifkan Kelompok Kerja Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan dengan membuka Pos Koordinasi (Posko) SARS dan pelayanan Hotline Services serta menyiapkan Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianto Saroso sebagai rumah sakit rujukan SARS.
Departemen Kesehatan segera meningkatkan komunikasi dan langkah-langkah koordinasi dengan seluruh jajaran Dinas Kesehatan provinsi di Indonesia, seluruh rumah sakit di ibu kota provinsi dan Kantor Kesehatan Pelabuhan untuk mengambil langkah yang perlu dalam menangkal masuknya SARS ke Indonesia.
Baca juga: Pneumonia di Wuhan tidak seberbahaya Flu Burung dan SARS
Melakukan komunikasi dan koordinasi dengan seluruh jajaran instansi pemerintah terkait, seperti Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Luar Negeri serta menyiapkan rencana operasional dan dukungan logistik kesehatan.
Menteri Kesehatan saat itu juga meminta dilakukan pembagian Kartu Kewaspadaan Kesehatan (Health Alert Card) kepada seluruh penumpang dari negara terjangkit SARS. Dengan pertimbangan intensitas arus penumpang dari dan ke luar negeri yang tinggi, maka pengamatan terhadap kemungkinan masuknya SARS difokuskan kepada 16 KKP di Indonesia, yaitu Medan, Tanjung Balai Karimun, Tanjung Pinang, Batam, Tanjung Priok, Cengkareng, Surabaya, Denpasar, Makassar, Manado, Banjarmasin, Pontianak, Tarakan.
Departemen Kesehatan juga membagikan masker untuk digunakan para petugas kesehatan, baik di rumah sakit maupun KKP, poster SARS dan Buku Petunjuk Penanganan Infeksi SARS di rumah sakit.
Saat MERS-CoV merebak di negara-negara Arab dan beberapa negara pada 2014, rumah sakit dan petugas surveillance telah diminta tetap waspada selama 24 jam, begitu juga KKP untuk memantau penumpang yang memiliki gejala-gejala panas, batuk, dan sesak napas serta memiliki riwayat bepergian ke negara-negara Arab.
Pemantauan ketat terhadap laporan suspect dari daerah dilakukan. Tjandra Yoga Aditama selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan kala itu, mengatakan laboratorium akan disiagakan 24 jam untuk memeriksa sampel dari daerah-daerah terhadap MERS-CoV.
Laboratorium menerapkan program Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) ke WHO Collaborating Center dengan hasil 100 persen.
Sebanyak 50 persen kasus terjadi pada pasien berusia 25-44 tahun dan 20 persen di antaranya memiliki penyakit penyerta, 20 persen kasus berusia 45-64 tahun dan 30 persen kasus berusia diatas 65 tahun yang memiliki penyakit penyerta atau penyakit kronik lain sebelum terinfeksi MERS-CoV.
Seperti kata salah satu pendiri Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Herawati Sudoyo, Indonesia mampu mendeteksi virus corona tipe baru bernama COVID-19, baik dari segi sumber daya manusia maupun fasilitas laboratorium.
"Kemampuan deteksi itu sudah ada dan itu bukan sesuatu yang baru buat kami," kata Herawati seraya menjelaskan bahwa pendeteksian virus corona bukan merupakan hal baru dan proses pemecahan DNA adalah hal rutin yang biasa dilakukan di Lembaga Eijkman.
Tidak hanya siap mendeteksi COVID-19, tetapi juga sekaligus bersiap mengembangkan vaksinnya.
Baca juga: Presiden Jokowi contohkan cara cegah COVID-19 melalui video
Baca juga: Presiden tegaskan telah lakukan upaya maksimal cegah perluasan corona
Jauh sebelum ingar bingar penyakit COVID-19 yang virusnya diketahui pertama kali menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Desember 2019, sudah pernah ada berbagai wabah penyakit menular yang merebak.
Sebut saja Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada 2002, flu burung pada 2005, flu babi (swine flu) yang menjadi pandemi pada 2009, Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS-CoV) pada 2012, maupun penyebaran polio bersamaan virus ebola pada 2014 pernah terjadi hanya dalam 20 tahun terakhir.
Penyakit-penyakit menular yang bersumber dari makhluk mikroskopis, yakni bakteri maupun virus itu memang tak mengenal batas wilayah negara.
Layaknya manusia yang gemar bepergian ke berbagai pelosok dunia, sumber penyakit menular itu pun sering ikut serta menumpang pada makhluk hidup lain sebagai inangnya. Ada pula yang berperan sebagai vektor utama maupun sekunder pembawa virus, seperti kelelawar, unta, tikus, burung, kutu, trenggiling.
Terkadang, virus dan bakteri yang dikenal sekarang pun bukan makhluk kemarin sore, yang kebetulan baru hidup pada era media sosial dan grup Whatsapp terbentuk. Ada dari mereka yang berusia sangat renta namun tetap mampu memicu wabah penyakit yang kemudian viral.
Contohnya, cacar yang sudah mewabah sekitar 10 ribu tahun sebelum masehi dan merenggut ratusan juta nyawa manusia. Ada pula campak yang juga merenggut ratusan juta jiwa sejak abad tujuh sebelum masehi.
Lalu polio, penyakit yang juga disebabkan virus yang mampu membuat kelumpuhan bagian tubuh manusia diyakini sudah ada sejak zaman Mesir Kuno. Cacar baru dapat dikendalikan pada era 1970, campak 1960-an, dan polio 1950-an, setelah ditemukan vaksin untuk ketiga penyakit tersebut.
Namun, ada pula wabah penyakit mematikan yang sudah akrab di telinga masyarakat Indonesia yang belum ada vaksinnya, yakni demam berdarah dengue yang disebabkan virus dengue dengan vektor utama nyamuk Aedes aegypti.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menyebut setidaknya 50 juta orang di dunia terinfeksi virus dengue tersebut. Tidak ada cara lain untuk terhindar selain masyarakat melakukan pencegahan dengan melakukan 3M, yakni menguras, menutup, dan mengubur benda-benda yang dapat menampung air.
Baca juga: Indonesia miliki kemampuan uji laboratorium Covid-2019
Saat masyarakat Indonesia panik oleh COVID-19, Kementerian Kesehatan (Kemkes) mencatat sudah ada 94 kematian di Indonesia terhitung sejak 1 Januari hingga awal Maret 2020 akibat DBD, dari total 14.716 kasus secara nasional.
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan curah hujan yang terkadang cukup tinggi seperti sekarang ini, berpotensi membuat nyamuk Aedes aegyti berkembang pesat.
"Jangan nanti karena fokus pada virus corona malah lengah dengan ancaman DBD," katanya.
Terdeteksi
SARS atau Penyakit Pernafasan Gawat Mendadak yang awalnya merebak di Guangdong, China pada 16 November 2002 juga terdeteksi masuk Indonesia pada April 2003.
Mirip dengan penyebaran SARS CoV-2, penyakit tersebut menular melalui tetesan yang menyebar ke udara ketika penderitanya batuk, bersin, atau berbicara.
Meski tercatat virus corona mulai merebak pada November 2002, kasus tersebut baru dinyatakan sebagai wabah oleh WHO pada 11 Februari 2003, dan segera naik status sebagai ancaman global pada 16 Maret saat sejumlah negara selain China melaporkan kasus positif SARS.
Dalam catatan WHO, Indonesia melaporkan dua probable SARS namun tidak ada kematian, semua pasien sembuh melalui perawatan di rumah sakit. Salah satu probable case tersebut adalah warga negara Inggris keturunan China, sebagai pengusaha yang datang dari Hong Kong melalui Singapura sebelum masuk Indonesia.
Dr Sjafii Ahmad, MPH yang saat itu Sekretaris Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan meminta wartawan tidak terlalu membesar-besarkan kasus tersebut agar masyarakat tidak panik. Terlebih, 90 persen dari total kasus SARS dapat disembuhkan, hanya 3,8 persen yang mengakibatkan kematian.
Berkaca dari 50 kasus di Hong Kong, kasus penyakit tersebut digolongkan ke dalam probable complicated dan probable uncomplicated. Untuk probable complicated, misalnya usia 60 tahun ke atas, ada diabetes, stroke dan asma, sehingga umumnya mereka meninggal saat terserang virus corona.
Berbeda dengan WHO yang langsung menggunakan dua istilah, yakni suspect dan probable, maka Indonesia juga memakai istilah observasi untuk pengamatan kasus guna memastikan diagnosisnya apakah suspect atau probable.
Dr Tjandra Yoga Adhitama, Sp.P yang saat itu menjadi Ketua Tim Verifikasi Penanggulangan SARS, mengatakan observasi bukan istilah diagnosis tetapi pengamatan kasus untuk memastikan diagnosis saja.
Banyaknya pintu masuk dan keluar di Indonesia ditambah jumlah penduduk yang besar tersebar di berbagai pelosok Nusantara maka pemerintah mengharapkan peran media massa untuk membantu meningkatkan informasi yang tepat terkait dengan SARS agar masyarakat lebih waspada menghindari terjadinya community transmission.
Baca juga: Kemenkes: Pengalaman SARS bantu Indonesia hadapi COVID-19
Kewaspadaan juga ditingkatkan, terutama di terminal 3 kedatangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang pulang ke Indonesia dengan prosedur yang terkesan ketat, yakni dengan menyediakan empat tempat pemeriksaan atau klinik.
Semua yang datang diperiksa kesehatannya oleh petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Setelah diperiksa mereka diberi pedoman tentang kegiatan pencegahan SARS selama 14 hari ke depan selama di rumah.
Tindakan ini sering diidentikkan sebagai community isolation, tetapi sebenarnya sebagai upaya mengurangi kontak dengan masyarakat dan sekitarnya.
Semua dilakukan sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dengan Menteri Kesehatan Dr Achmad Sujudi menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 424/MENKES/SK/2003 tentang SARS sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan pedoman penanggulangannya pada 3 April 2003.
Dengan keputusan tersebut, pemerintah memiliki landasan kuat untuk mengambil langkah-langkah yang efektif guna mencegah penyebaran SARS di seluruh wilayah Indonesia.
Departemen Kesehatan berkoordinasi dengan perwakilan WHO di Jakarta, lalu mengaktifkan Kelompok Kerja Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan dengan membuka Pos Koordinasi (Posko) SARS dan pelayanan Hotline Services serta menyiapkan Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianto Saroso sebagai rumah sakit rujukan SARS.
Departemen Kesehatan segera meningkatkan komunikasi dan langkah-langkah koordinasi dengan seluruh jajaran Dinas Kesehatan provinsi di Indonesia, seluruh rumah sakit di ibu kota provinsi dan Kantor Kesehatan Pelabuhan untuk mengambil langkah yang perlu dalam menangkal masuknya SARS ke Indonesia.
Baca juga: Pneumonia di Wuhan tidak seberbahaya Flu Burung dan SARS
Melakukan komunikasi dan koordinasi dengan seluruh jajaran instansi pemerintah terkait, seperti Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Luar Negeri serta menyiapkan rencana operasional dan dukungan logistik kesehatan.
Menteri Kesehatan saat itu juga meminta dilakukan pembagian Kartu Kewaspadaan Kesehatan (Health Alert Card) kepada seluruh penumpang dari negara terjangkit SARS. Dengan pertimbangan intensitas arus penumpang dari dan ke luar negeri yang tinggi, maka pengamatan terhadap kemungkinan masuknya SARS difokuskan kepada 16 KKP di Indonesia, yaitu Medan, Tanjung Balai Karimun, Tanjung Pinang, Batam, Tanjung Priok, Cengkareng, Surabaya, Denpasar, Makassar, Manado, Banjarmasin, Pontianak, Tarakan.
Departemen Kesehatan juga membagikan masker untuk digunakan para petugas kesehatan, baik di rumah sakit maupun KKP, poster SARS dan Buku Petunjuk Penanganan Infeksi SARS di rumah sakit.
Saat MERS-CoV merebak di negara-negara Arab dan beberapa negara pada 2014, rumah sakit dan petugas surveillance telah diminta tetap waspada selama 24 jam, begitu juga KKP untuk memantau penumpang yang memiliki gejala-gejala panas, batuk, dan sesak napas serta memiliki riwayat bepergian ke negara-negara Arab.
Pemantauan ketat terhadap laporan suspect dari daerah dilakukan. Tjandra Yoga Aditama selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan kala itu, mengatakan laboratorium akan disiagakan 24 jam untuk memeriksa sampel dari daerah-daerah terhadap MERS-CoV.
Laboratorium menerapkan program Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) ke WHO Collaborating Center dengan hasil 100 persen.
Sebanyak 50 persen kasus terjadi pada pasien berusia 25-44 tahun dan 20 persen di antaranya memiliki penyakit penyerta, 20 persen kasus berusia 45-64 tahun dan 30 persen kasus berusia diatas 65 tahun yang memiliki penyakit penyerta atau penyakit kronik lain sebelum terinfeksi MERS-CoV.
Seperti kata salah satu pendiri Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Herawati Sudoyo, Indonesia mampu mendeteksi virus corona tipe baru bernama COVID-19, baik dari segi sumber daya manusia maupun fasilitas laboratorium.
"Kemampuan deteksi itu sudah ada dan itu bukan sesuatu yang baru buat kami," kata Herawati seraya menjelaskan bahwa pendeteksian virus corona bukan merupakan hal baru dan proses pemecahan DNA adalah hal rutin yang biasa dilakukan di Lembaga Eijkman.
Tidak hanya siap mendeteksi COVID-19, tetapi juga sekaligus bersiap mengembangkan vaksinnya.
Baca juga: Presiden Jokowi contohkan cara cegah COVID-19 melalui video
Baca juga: Presiden tegaskan telah lakukan upaya maksimal cegah perluasan corona
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020
Tags: