Pemerintah fungsikan "hotline" 119 untuk COVID-19
5 Maret 2020 18:05 WIB
Sekretaris Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Achmad Yurianto (kiri) dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (4/3/2020). ANTARA/Prisca Triferna/aa.
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah menjadikan sambungan telepon langsung atau "hotline" 119 sebagai layanan komunikasi bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan terkait penyebaran virus corona tipe baru yang menyebabkan penyakit COVID-19.
"Soal 'hotline' sudah digunakan satu nomor di 119. Kemarin kita gunakan dua nomor yang digitnya panjang, sekarang diintegrasikan di 119. Proses integrasi ini masih jalan, mudah-mudahan segera selesai karena di beberapa daerah tidak sama dengan Jakarta," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan sekaligus juru bicara penanganan COVID-19 Achmad Yurianto di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Kamis.
Nomor 119 merupakan saluran panggilan gawat darurat yang berlaku secara nasional yang dioperasikan oleh National Command Center (NCC) Kementerian Kesehatan.
Baca juga: Transportasi Ibu Kota di tengah gempuran corona
"Konsep awalnya 119 adalah 'line services', kita jadikan satu saja. Tentu tidak semua harus dijemput, tapi lewat telepon dulu kondisinya bagaimana diintegrasi dengan 119," kata Yurianto.
Seluruh biaya pemeriksaan bagi setiap orang yang dinyatakan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), suspect hingga confirm juga ditanggung pemerintah.
"Semua biaya ditanggung pemerintah asal terkait dengan (COVID-19) ini, penyakit lain kan sudah ada sistemnya," tambah Yurianto.
Terkait kesiapan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Yurianto mengatakan bahwa memang setiap rumah sakit punya kapasitas berbeda.
Baca juga: Perbankan dorong diversifikasi ekspor impor antisipasi Covid-19
"Kita tidak kemudian mengukur seluruh rumah sakit itu harus memiliki kapasitas yang sama. Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso, Rumah Sakit Persahabatan dan RSPAD itu rujukan nasional, bukan berarti bahwa alatnya paling lengkap dan paling banyak tapi memiliki kapasitas yang bisa kita libatkan untuk membantu rumah sakit lain tanpa mengurangi kemampuannya sendiri," ujar Yurianto.
Menurut Yurianto, pemerintah sudah menambah jumlah rumah sakit rujukan untuk menangani COVID-19.
"Kita sudah menambahkan rumah sakit dari semula 100 rumah sakit rujukan sekarang menjadi 132 rumah sakit rujukan, ada Permenkes-nya," kata Yurianto menjelaskan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Yurianto pun kembali mengingatkan pentingnya isolasi yang dilakukan di rumah sakit untuk menghindarkan penularan ke orang yang masih sehat.
Baca juga: Kemristek harapkan penelitian multi institusi untuk vaksin COVID-19
"Benar sudah respon kita kalau di rumah ada yang flu pakai masker dan tidurnya dipisah. COVID-19 juga jenis influenza jadi tidak perlu ditambah kepanikan apalagi jelas 50 persen penderitanya sembuh sendiri. Mereka yang positif diisolasi agar tidak menular ke orang jadi pemeriksaan virus bukan untuk mengobati tapi antisipasi 'public health emergency' karena menjadi pusat baru penularan, kalau isolasi bukan untuk mengobati dia melainkan agar mencegah jangan jadi sumber penularan baru di masyarakat," ujar dia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan negara lain pun, menurut Yurianto, belum menemukan obat maupun vaksin spesifik untuk virus tersebut.
"Tapi karena virus 'self limited desease' jadi anjuran apapun penggunaan herbal dalam konteks meninkatkan daya tahan tubuh bagus tapi bukan untuk membunuh virusnya tapi kita tidak mungkin mengembangkan obat sendiri kalau contohnya cuma dua. China sudah menemukan beberapa formula udah uji coba di China dan memberikan gambaran yang bagus tapi belum bisa jadi standar bahan baku dunia," katanya.
Indonesia memiliki dua kasus positif COVID-19 yang dinamakan kasus 1 dan kasus 2 yaitu seorang ibu berusia 64 tahun dan anaknya berusia 31 tahun. Keduanya sejak 1 Maret 2020 dirawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Suroso.
Baca juga: RSPI prediksi hasil pemeriksaan pasien positif corona keluar 11 Maret
"Soal 'hotline' sudah digunakan satu nomor di 119. Kemarin kita gunakan dua nomor yang digitnya panjang, sekarang diintegrasikan di 119. Proses integrasi ini masih jalan, mudah-mudahan segera selesai karena di beberapa daerah tidak sama dengan Jakarta," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan sekaligus juru bicara penanganan COVID-19 Achmad Yurianto di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Kamis.
Nomor 119 merupakan saluran panggilan gawat darurat yang berlaku secara nasional yang dioperasikan oleh National Command Center (NCC) Kementerian Kesehatan.
Baca juga: Transportasi Ibu Kota di tengah gempuran corona
"Konsep awalnya 119 adalah 'line services', kita jadikan satu saja. Tentu tidak semua harus dijemput, tapi lewat telepon dulu kondisinya bagaimana diintegrasi dengan 119," kata Yurianto.
Seluruh biaya pemeriksaan bagi setiap orang yang dinyatakan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), suspect hingga confirm juga ditanggung pemerintah.
"Semua biaya ditanggung pemerintah asal terkait dengan (COVID-19) ini, penyakit lain kan sudah ada sistemnya," tambah Yurianto.
Terkait kesiapan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Yurianto mengatakan bahwa memang setiap rumah sakit punya kapasitas berbeda.
Baca juga: Perbankan dorong diversifikasi ekspor impor antisipasi Covid-19
"Kita tidak kemudian mengukur seluruh rumah sakit itu harus memiliki kapasitas yang sama. Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso, Rumah Sakit Persahabatan dan RSPAD itu rujukan nasional, bukan berarti bahwa alatnya paling lengkap dan paling banyak tapi memiliki kapasitas yang bisa kita libatkan untuk membantu rumah sakit lain tanpa mengurangi kemampuannya sendiri," ujar Yurianto.
Menurut Yurianto, pemerintah sudah menambah jumlah rumah sakit rujukan untuk menangani COVID-19.
"Kita sudah menambahkan rumah sakit dari semula 100 rumah sakit rujukan sekarang menjadi 132 rumah sakit rujukan, ada Permenkes-nya," kata Yurianto menjelaskan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Yurianto pun kembali mengingatkan pentingnya isolasi yang dilakukan di rumah sakit untuk menghindarkan penularan ke orang yang masih sehat.
Baca juga: Kemristek harapkan penelitian multi institusi untuk vaksin COVID-19
"Benar sudah respon kita kalau di rumah ada yang flu pakai masker dan tidurnya dipisah. COVID-19 juga jenis influenza jadi tidak perlu ditambah kepanikan apalagi jelas 50 persen penderitanya sembuh sendiri. Mereka yang positif diisolasi agar tidak menular ke orang jadi pemeriksaan virus bukan untuk mengobati tapi antisipasi 'public health emergency' karena menjadi pusat baru penularan, kalau isolasi bukan untuk mengobati dia melainkan agar mencegah jangan jadi sumber penularan baru di masyarakat," ujar dia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan negara lain pun, menurut Yurianto, belum menemukan obat maupun vaksin spesifik untuk virus tersebut.
"Tapi karena virus 'self limited desease' jadi anjuran apapun penggunaan herbal dalam konteks meninkatkan daya tahan tubuh bagus tapi bukan untuk membunuh virusnya tapi kita tidak mungkin mengembangkan obat sendiri kalau contohnya cuma dua. China sudah menemukan beberapa formula udah uji coba di China dan memberikan gambaran yang bagus tapi belum bisa jadi standar bahan baku dunia," katanya.
Indonesia memiliki dua kasus positif COVID-19 yang dinamakan kasus 1 dan kasus 2 yaitu seorang ibu berusia 64 tahun dan anaknya berusia 31 tahun. Keduanya sejak 1 Maret 2020 dirawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Suroso.
Baca juga: RSPI prediksi hasil pemeriksaan pasien positif corona keluar 11 Maret
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2020
Tags: