Jakarta (ANTARA) - Beragam perasaan orang mencuat setelah ada pernyataan resmi bahwa dua warga Kota Depok, Jawa Barat, terjangkit virus corona (Covid-19).

Umumnya warga diliputi kesedihan, kekhawatiran, ketakutan, kekalutan, dan kepanikan serta kecemasan. Tidak sedikit warga yang kemudian bersikap dan berperilaku biasa saja dan sewajarnya, tetapi tak sedikit yang sebaliknya.

Kecemasan dan kepanikan itu dipicu keberadaan virus corona yang cepat sekali menyebar ke berbagai negara. Bahkan sudah menginfeksi puluhan ribu orang dan menewaskan ribuan orang.

Yang lebih mengkhawatirkan obatnya belum ada. Ilmuwan berbagai negara masih dikerahkan untuk menemukan anti virusnya.

Karena ketakutan dan kepanikan, tak lama setelah pengumuman itu, toko-toko alat kesehatan, apotek, minimarket dan pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta dan sekitarnya dipadati pembeli. Dua barang yang menjadi fokus pembelian, yakni masker dan cairan pembersih tangan (hand sanitizer).

Di Pasar Pramuka, pada hari itu, Senin (2/3), hanya dalam hitungan menit, parkir kendaraan roda dua dan roda empat langsung penuh sesak. Warga berbondong-bondong "menyerbu" toko-toko alat kesehatan dan obat-obatan untuk membeli masker dan cairan tersebut.

Di tempat yang berbeda, selain mencari dua barang itu, warga yang kalut dan panik kemudian rela antre panjang untuk membeli sembako. Di sebagian gerai Anjungan Tunai Mandiri (ATM) tak sedikit orang antre ambil uang untuk berbelanja barang-barang itu.

Tingginya pembelian masker dan cairan cuci tangan, mengakibatkan persediaan di pasar banyak yang habis. Kalaupun masih ada persediaan, tetapi harganya melambung tinggi.

Kenaikan terjadi berlipat-lipat dan beratus-ratus persen. Karena itu, sebenarnya bisa dibilang tidak naik, hanya ganti harga.

Bukan hanya warga yang berbelanja untuk diri sendiri atau keluarganya, tetapi tak sedikit yang memborong untuk dijual lagi. Istilahnya menimbun stok.

Entah karena harga belinya memang sudah tinggi atau karena ingin mendapatkan keuntungan lebih besar, yang pasti harga di tingkat konsumen berada pada titik ketidakwajaran. Di tengah perasaan yang penuh kekalutan, ketakutan, kepanikan dan kecemasan, warga semakin terbebani dengan tingginya harga barang yang dibutuhkan.

Ganti Harga
Situasi itu sudah terjadi sejak ada kabar merebaknya virus corona di Wuhan (China), awal 2020. Harga masker dan cairan cuci tangan di dalam negeri pun naik, kemudian ganti harga sejak awal pekan ini.

Polda Metro Jaya merespons situasi itu dengan mengerahkan tim ke pasar dan toko-toko peralatan kesehatan. Saat itu harga masker dan cairan pembersih tangan memang sangat tidak wajar dan ada yang menimbun barang.

Kata polisi, penimbunan itu untuk mencari keuntungan dengan kurangnya stok masker dan sanitizer di pasaran. Akibat langka, harga bisa naik hingga lebih dari 100 persen, dari harga Rp20 ribu bisa jadi Rp500 ribu.

"Ini sudah tindak kejahatan untuk menguntungkan diri sendiri. Kami tindak!," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus di Polda Metro Jaya, Senin (2/3).

Pernyataan Yusri itu disampaikan sesaat setelah ada pengumuman bahwa dua warga Depok positif terjangkit virus corona. Sekali lagi, hanya butuh beberapa menit setelah pengumuman itu, terjadi pergantian harga masker dan sanitizer.

Kepolisian pun meminta agar tidak ada pihak yang menjadikan fenomena virus corona sebagai ajang mencari keuntungan pribadi yang merugikan masyarakat luas. Aturannya tegas bahwa melakukan penimbunan untuk mencari keuntungan termasuk bentuk tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.

"Itu permainan para pelaku yang mencari keuntungan, ini sama seperti sembako. Seperti bawang putih yang mendadak hilang, nanti muncul harga naik," ujar Yusri.

Polda Metro Jaya kembali mengingatkan agar jangan sampai ada oknum yang berusaha mengeruk keuntungan pribadi dengan memanfaatkan keresahan masyarakat terkait virus corona.

"Polda Metro Jaya mengimbau kepada para produsen, distributor, termasuk para sales agar tidak memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan secara pribadi," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Iwan Kurniawan usai sidak di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Rabu (4/3).

Tim Siber Polda Metro Jaya pun dikerahkan untuk mengawasi adanya indikasi penimbunan yang dilakukan oleh oknum. Kepolisian sudah mendeteksi adanya indikasi penimbunan masker, tidak hanya di Jakarta, tapi juga di beberapa wilayah di Indonesia.

"Memang ini modus operandi yang sering dilakukan apabila ada satu barang dibutuhkan dan itu bisa menghilang dari peredaran dan muncul dengan harga mahal," ujar Yusri.

Sejumlah lokasi kemudian digrebek. Polsek Tanjung Duren, Jakarta Barat, misalnya, membongkar penimbunan 350 kardus masker medis di sebuah apartemen di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat, Selasa (3/3) sore.

Klasik
Dengan fakta-fakta temuan itu tak terbantahkan lagi bahwa dalam situasi masyarakat sedang kalut, takut, cemas dan panik ada oknum yang memanfaatkan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Ketidakwajaran itu nyata karena harga normal masker ada yang Rp20 ribu tetapi dijual Rp500 ribu per kotak.

Tampaknya hukum ekonomi benar-benar diterapkan tanpa memandang situasi psikologis masyarakat. Hukum ekonomi yang umumnya berlaku adalah "permintaan naik, harga naik" dan sebaliknya.

Tetapi tak sedikit orang menganggap itu teori klasik yang sudah beratus-ratus tahun lalu. Karena keklasikannya tidak memandang situasi psiko sosial dan anti sosial maka banyak yang kemudian meninggalkan dan tidak mempraktikannya.

Pun di banyak masyarakat dan negara lain, dalam situasi musibah dan bencana, tidak terjadi kenaikan harga barang. Justru tak sedikit yang menurunkan harga, bahkan dibagikan gratis.

Dalam situasi kekhawatiran, ketakutan dan kecemasan akibat virus corona di beberapa negara, aksi-aksi sosial seluruh elemen bangsa ditunjukkan secara nyata. Itu akan muncul dari kesadaran bahwa virus corona adalah bencana dan musibah yang harus dihadapi bersama.

Dikatakan bencana dan musibah bersama karena penyebarannya cepat ke berbagai negara dan tidak mengenal lapisan sosial. Virus corona telah menginfeksi siapa saja, baik pengusaha, pedagang, pejabat hingga masyarakat biasa.

Baca juga: PT KAI operasikan Rail Clinic untuk antisipasi penyebaran Covid-19

Baca juga: Soal COVID-19, Dewan Pers imbau media patuhi kode etik jurnalistik

Baca juga: PCNU minta Wali Kota Depok jelaskan penanganan virus corona


Sampai sekarang virus corona masih diliputi sifat misterius. Ada tapi seolah tidak ada karena perlu beberapa hari untuk bisa mendeteksi dan penyebarannya dinilai luar biasa cepat.

Tak tertutup kemungkinan, kecepatan itu juga menjangkau siapapun yang mengeruk kocek dari menaikkan harga masker, cairan pencuci tangan dan barang kebutuhan lainnya. Di saat barang langka dan mahal, tentu siapapun akan merasakan betapa berat menghadapi musibah atau bencana.

Karena itu, di tengah situasi cemas seperti ini perlu dihadirkan kembali etika jual-beli yang telah lama hilang karena hukum ekonomi klasik bahwa "permintaan naik, harga naik". Beruntung hukum positif berupa UU Perlindungan Konsumen dan pasal pemerasan di KUHP bisa mengisi ruang yang ditinggalkan etika yang hilang itu.

Dalam situasi seperti ini tampaknya meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan perlu terus digaungkan, tidak sekedar teori, seremoni dan pidato tetapi tindakan nyata.

Karena, kata Ebiet G Ade, "Untuk Kita Renungkan" bersama bahwa "dalam kekalutan masih banyak tangan yang tega berbuat nista"