Jakarta (ANTARA) - Miftahul Ulum selaku mantan asisten pribadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi disebut dapat mengubah-ubah agenda bekas atasannya.

"Ulum itu melekat dengan Pak Imam dan memudahkan koordinasi kami kalau Pak Menteri harus berubah agenda karena yang bisa memutuskan berubah agenda itu 'kan Pak Ulum," kata Sekretaris Menpora (Sesmenpora) Gatot S. Dewa Broto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Gatot menjadi saksi untuk mantan Menpora Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Ulum dalam dakwaan Imam disebut perantara penerima uang tersebut.

Baca juga: Mantan Ketua KONI akui minta percepatan pencairan dana hibah Kemenpora

Baca juga: Saksi sebut aspri Imam Nahrawi minta tambahan biaya untuk Menpora


Gatot mengaku mengenal Ulum sejak diperkenalkan Imam saat baru menjabat sebagai Menpora pada tahun 2014.

"Pak Imam perkenalkan ini adalah aspri saya dalam hal penyusunan agenda bisa kepada Pak Ulum, Di SK (surat keputusan) Ulum itu ditandatangani sejak 2014 oleh Pak Alfitra selaku Sesmenpora, lalu pemberhentiannya pada bulan Mei 2019 saya yang menandatangani. Tidak ada tupoksi (tugas pokok dan fungsi) hanya secara umum membantu administrasi perkantoran," ungkap Gatot.

Menurut Gatot, Ulum dan istrinya juga tinggal di rumah dinas Imam di kompleks Widya Chandra karena istri Ulum adalah asisten pribadi istri Gatot.

Namun, Gatot tidak mengetahui bila ada proposal kegiatan atau permohonan hibah ke Menpora juga ditembuskan kepada Ulum selaku asprinya.

"Setahu saya proposal ditembuskan kepada Sesmenpora dan atau deputi terkait. Kalau ditembuskan kepada aspri, saya baru tahu setelah kasus ini," kata Gatot menambahkan.

Dalam perkara ini, mantan Menpora Imam Nahrawi bersama-sama dengan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, didakwa menerima suap totalnya Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johnny E. Awuy terkait dengan proprosal bantuan dana hibah kepada Kemenpora dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program Asian Games dan Asian Para Games 2018 serta proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berpresetasi pada tahun 2018.

Baca juga: Eks Menpora Imam Nahrawi: Siap-siap saja yang merasa terima dana KONI

Baca juga: Istri Imam disebut bayar desain rumah dari uang Satlak Prima


Dalam dakwaan kedua, Imam didakwa menerima gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar dengan perincian Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy, uang Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI, Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) Kemenpora RI tahun anggaran 2015—2016.

Berikutnya, uang Rp1 milliar dari Edward Taufan Panjaitan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) program Satlak Prima 2016—2017 dan uang sejumlah Rp400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Presitasi Olahraga Nasional (PPON) tahun 2017—2018 dari KONI Pusat.