Investor disarankan bersikap cermat di tengah anjloknya pasar
Karyawan melintas di dekat layar pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (2/3/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan hari Senin (2/3/2019) sore, ditutup melemah 91,46 poin atau 1,68 persen ke posisi 5.361,25. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 bergerak turun 20,21 poin atau 2,3 persen menjadi 859,33, melemah setelah pengumuman dua orang Warga Negara Indonesia (WNI) positif terkena virus Covid-19 (Corona Virus Desease). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/ama. (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)
"Ketepatan membaca angka dan analisa penting untuk menentukan sikap terutama mengantisipasi peluang cuan ketika terjadi krisis. Kendati valuasi dianggap sudah murah, investor tetap perlu berhati-hati terhadap potensi koreksi harga saham, sehingga sikap menunggu menjadi lebih tepat," ujar Budi dalam keterangan resmi yang diterima Antara di Jakarta, Selasa.
Baca juga: IHSG diprediksi bergerak variatif dibayangi wabah COVID-19
Budi menuturkan, kecemasan investor yang mengurangi atau melikuidasi investasi dalam saham saat ini dapat dipahami karena dengan volatilitas indeks saham dan obligasi US (T-bond) yang relatif tinggi, mengindikasikan sikap konservatif investor untuk mengurangi kedua jenis volatilitas aset tersebut, guna mengurangi kerugian lebih lanjut.
Akan tetapi, jika mengamati penurunan IHSG, Budi menilai valuasi IHSG relatif paling murah jika dibandingkan bursa regional lainnya.
Sebagai perbandingan antara rata-rata pertumbuhan indeks saham per tahun dan Earning Per Share (EPS) antara indeks S&P dan IHSG selama beberapa tahun terakhir dan sejak Februari 2008.
Terlihat selama setahun terakhir kenaikan S&P (16,8 persen) sekitar tiga kali lebih pesat ketimbang pertumbuhan EPS yang hanya sekitar 5 persen. Proyeksi EPS yang pesat selama tiga tahun terakhir ditopang oleh stimulus fiskal berupa pemangkasan pajak oleh Presiden Trump.
Perusahaan banyak menggunakan tambahan dana dari pemangkasan pajak itu untuk membeli kembali (buyback) saham sehingga memicu kenaikan harga saham.
Sementara itu, kenaikan harga saham pada IHSG cenderung lebih rendah ketimbang pertumbuhan laba, terutama setelah era booming komoditas berakhir.
Untuk itu, lanjut Budi, ada dua hal yang harus dicermati. Pertama, respon perusahaan di AS untuk kembali buyback atau malah berbalik menjual. Kedua, kestabilan kurs rupiah relatif terhadap mata uang regional.
Pertimbangan pertama dilandasi dari pergerakan yang serupa antara IHSG dan indeks S&P. Pergerakan kedua indeks yang sama ini lebih besar ketimbang faktor internal pertumbuhan M1 atau persediaan uang riil.
Baca juga: IHSG Selasa dibuka menguat 70,05 poin
Bila perusahaan atau emiten memanfaatkan sebagai kesempatan buyback, maka ada peluang harga saham akan terjaga. Namun, jika perusahaan menjual saham karena mereka mencemaskan kondisi bisnis, maka harga saham indeks S&P akan tertekan, dan berpengaruh kepada IHSG.
Budi menambahkan, berdasarkan pengalaman melintasi berbagai krisis, kondisi saat ini nampak berbeda bila dibanding menjelang krisis 2008.
"Saat itu, sikap terbaik adalah menahan ketamakan, controlling the greed, karena valuasi saham sudah terlalu tinggi dan jauh melebihi acuan normatif pertumbuhan GDP nominal. Sementara saat ini, kita perlu mengelola rasa takut, managing fear. Masih ada aset investasi yang menarik terutama SBN yang justru menjadi prasyarat peluang cuan saham," ujar Budi.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020