Jakarta (ANTARA) - Tiga kali hujan deras, tiga kali juga sebagian wilayah Jakarta terendam banjir bahkan mengganggu aktivitas warga.

Hal itu menunjukkan pentingnya penataan kota ke depan termasuk menyiapkan strategi pembangunan agar lebih matang dan cermat.

Memang soal pengendalian tidak semudah seperti dibayangkan meski panduannya sudah tertuang dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Persoalan padatnya bangunan di Kota Jakarta tentunya membutuhkan berbagai pendekatan tidak hanya fisik tetapi juga non fisik. Sebagai gambaran penataan di koridor bantaran Sungai Ciliwung tidak semata-mata aspek konstruksi yang diperhatikan tetapi juga bagaimana memindahkan warga yang sudah telanjur mendiami lokasi bertahun-tahun tanpa terjadinya gejolak sosial.

Sedangkan untuk ke depan pengendalian tata ruang sudah tidak bisa main-main lagi untuk wilayah Jakarta. Aspek ruang yang diperhatikan tidak lagi dipermukaan tanah saja, tetapi juga ke dalam tanah, juga udara sekitar.

Pemerintah Provinsi Jakarta memiliki pekerjaan rumah untuk memenuhi target ruang terbuka hijau sebesar 30 persen pada 2030. Setidaknya masih tersedia waktu untuk memenuhi target itu dengan melibatkan sektor swasta dan masyarakat.

Pengendalian juga dilakukan terhadap bangunan baru di lahan kosong yang masih tersedia dengan memperhatikan zona peruntukan, koefisien luas bangunan dan koefisien dasar bangunan agar bangunan yang berdiri ideal bagi lingkungan.

Bangunan bertingkat tinggi dengan keharusan menyediakan ruang terbuka hijau 70 persen seharusnya memang diperuntukkan sebagai lahan terbuka untuk jalan masuknya air.

Lahan terbuka hijau itu bukan lantas diartikan sebagai fasilitas jalan, lahan parkir atau kolam. Namun harus benar-benar disediakan untuk mengantisipasi persoalan banjir.

Beban berat
Harus diakui beban yang harus ditanggung Kota Jakarta sudah demikian berat seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk. Banjir merupakan salah satu persoalan, selain persoalan lain seperti lalu lintas, kualitas udara, air, sanitasi dan permukiman.

Pengendalian banjir di DKI Jakarta ini tidak lagi menjadi beban pemerintah setempat lagi.

Baca juga: Akademisi: Penanganan bencana di Jabar dan DKI Jakarta tak sama
Sejumlah truk terendam banjir di tol Jakarta-Cikampek banjir Jatibening, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (25/2/2020). Curah hujan yang tinggi dan drainase yang buruk membuat sejumlah ruas tol Jakarta-Cikampek terendam banjir. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/pras.

Namun sudah meluas ke kota-kota lain yang selama ini menjadi satelit bahkan radius kewenangan kini semakin jauh. Seperti ke selatan tidak hanya sampai Kota/Kabupaten Bogor tetapi sudah sampai Puncak yang masuk dalam wilayah Pemerintah Kabupaten Cianjur.

Pengendalian tata ruang ini sudah menjadi kewajiban antarpemerintah daerah, khususnya untuk mengembalikan fungsi dari daerah aliran sungai.

Kerusakan Daerah Aliran Sungan (DAS) di hulu Ciliwung ini dapat dilihat dari warna cokelat yang terbawa arus saat banjir. Warna cokelat pekat menunjukkan tanah yang terbawa air semakin banyak serta membuktikan deretan vegetasi di sepanjang DAS sudah tidak sanggup menyimpan air.

Kerusakan di hulu ini membuat terjadinya proses sedimentasi di sepanjang aliran. Kondisi ini pada akhirnya mengurangi daya tampung sungai. Ini juga membuat kawasan banjir di sepanjang DAS semakin meluas termasuk waktu aliran yang semakin cepat masuk ke Jakarta.

Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yuliarto Joko Putranto, pada 2018 menjelaskan, pada sebuah penelitian disebutkan ketika curah hujan 2006 sebesar 153 mililiter per detik, debit Ciliwung 271 meter kubik per detik, kemudian pada 2016 dengan curah hujan yang sama debit menjadi 281 meter kubik per detik atau naik tiga persen dalam kurun waktu 10 tahun.

Terdapat tiga belas sungai yang melewati Jakarta. Dapat dibayangkan saat musim hujan apabila tidak ada pengendalian aliran air yang masuk ke Jakarta sebagai daerah yang paling rendah maka ancaman banjir akan selalu menghantui saat musim hujan.

Kebijakan tata ruang yang ada saat ini bagaimana mengendalikan pertumbuhan pembangunan di sungai-sungai itu. Saat terjadi hujan agar air yang jatuh di daratan tidak semua masuk ke dalam sungai menjadi salah satu solusi untuk menghindarkan banjir.

Pembangunan sistem drainase, pembangunan embung, pembangunan kanal menjadi salah satu solusi untuk wilayah seperti Jakarta.

Baca juga: Ade Yasin: Penanganan banjir harus sinergi antar Pemda

Bangunan pengendali
Kerusakan DAS pada akhirnya membuat pemerintah pusat juga turun tangan, salah satunya mengembalikan fungsi sungai. Namun langkah tersebut dapat berjalan mulus apabila mendapat dukungan dari pemerintah daerah.

Kembali lagi aspek pengendalian banjir di Jakarta tidak semata-mata aspek fisik/konstruksi. Baik pembangunan tanggul, bendung, bendungan, embung, dan lain sebagai. Namun juga faktor manusia (non fisik) agar bersedia untuk pindah atau paling tidak turut memelihara DAS.

Salah satu upaya untuk mengendalikan banjir di Jakarta agar aliran sungai dapat berkurang debitnya, maka tidak ada jalan lain kecuali agar tidak semua air itu menggelontor ke pintu-pintu air.

Salah satu yang tengah digarap pemerintah pusat dengan membangun Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi dengan target penyelesaian Desember 2020. Kedua bangunan ini diharapkan dapat mengurangi banjir yang berasal dari Sungai Ciliwung sampai dengan 111,75 meter kubik per detik.

Pemerintah juga tengah meneruskan pembangunan bangunan sodetan dari sungai yang melewati Jakarta menuju kanal-kanal yang tersedia.
Foto udara suasana wilayah bantaran sungai Ciliwung yang belum dinormalisasi (kiri) dan yang sudah dinormalisasi (kanan) di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Minggu (5/1/2020). Rencana pembangunan tanggul normalisasi atau naturalisasi yang menjadi program Gubernur Anies Baswedan hingga saat ini belum mencapai target yaitu hanya 16,19 km dari total 33,69 km dikarenakan terkendala pembebasan lahan. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

Baca juga: Wali Kota: Sodetan ke Waduk Pondok Ranggon minimalkan banjir

Namun upaya tersebut tetap kembali ke faktor non fisik melalui peran serta masyarakat di sepanjang DAS dalam arti tetapi menjaga lingkungan (sistem vegetasi) dengan tidak membuka lahan baru di bantaran sungai.

Peran masyarakat sangat penting untuk menjaga agar hujan yang jatuh di daratan tidak langsung masuk aliran sungai. Salah satunya dengan membangun resapan air di pekarangan rumah, membuat lubang biopori, serta tidak membangun kawasan rumah dengan beton seluruhnya.

Kesadaran serupa seharusnya juga diikuti pemilik usaha dan pengembang perumahan, perkantoran, pusat belanja untuk mengembalikan peruntukan lahan. Kalau memang 70 persen sebagai lahan hijau maka itu yang harus terus dilestarikan.

Tingginya alih fungsi lahan di sepanjang DAS memang tidak dapat dihindari seiring pesatnya pertumbuhan di kawasan Bodetabek. Sebagai contoh Sungai Ciliwung dari mulai hulu sampai dengan hilir sudah banyak mengalami perubahan.

Bahkan di kawasan Puncak pembangunan sudah demikian pesat. Maraknya pembangunan seharusnya diikuti dengan pengendali tata ruang yang sangat ketat. Tujuannya apabila terjadi hujan, maka air yang masuk ke dalam saluran pembuangan dan sungai dapat lebih lama ditahan.

Agaknya berbagai upaya penataan ruang di Jabodetabek, khususnya Jakarta diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengurangi dampak banjir sehingga saat terjadi hujan deras meskipun terjadi genangan, namun lebih cepat surut dan ketinggian air tidak ekstrim seperti saat ini.