Kupang (ANTARA) -
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang MSi mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus dapat mendesain pemilu tanpa korban, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemilu tetap dilaksanakan secara serentak.

"Dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka menjadi tugas penyelenggara dalam hal ini KPU, untuk mendesain pemilu tanpa korban," kata Ahmad Atang kepada ANTARA di Kupang, Sabtu.

Baca juga: MK tolak gugatan, pelaksanaan Pemilu tetap serentak

Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan putusan MK terkait pemilu yang tetap dilaksanakan serentak, dan bagaimana meminimalisir jatuhnya korban jiwa seperti yang terjadi pada Pemilu serentak 2019.

Pemilu serentak yang dilakukan tahun 2019 telah menuai kritik, karena organ penyelenggara di tingkat bawah banyak yang mengalami musibah kematian akibat kelelahan bekerja.

Oleh karena itu, pemilu serentak perlu ditinjau kembali untuk pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang.

Baca juga: MK buka sejumlah pilihan model pemilu serentak

Menurut dia, putusan MK tersebut untuk menjawab gugatan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

MK, kata dia, tetap mengakomodasi pemilu serentak, maka otomatis model ini tetap sama dilaksanakan pada Pemilu 2024.

Dia mengatakan, berkaca dari pemilu yang lalu, KPU perlu menemukan modus yang sederhana, berkualitas, dan profesional untuk menjadi acuan di tingkat bawah untuk dipedomani.

Baca juga: Pengamat: Tumpang tindih kepentingan jadi soal dalam Pemilu serentak

Menurut dia, persoalan sumber daya manusia (SDM), fasilitas, sarana dan prasarana pendukung, durasi waktu harus diformat secara cermat agar penyelenggara tidak terbebani.

"Petugas penyelenggara di tingkat bawah harus merasa nyaman, hikmat, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas," kata pengajar ilmu komunikasi politik pada sejumlah perguruan tinggi di NTT itu.

Baca juga: Akademikus katakan perlu penyederhanaan aturan dalam Pemilu serentak

Sungguhpun begitu, masih ada pintu untuk perbaikan undang-undang tersebut, yakni melalui revisi Undang-Undang Pemilu yang akan dibahas oleh DPR.

"Jika Kemendagri mengajukan revisi, maka pikiran masyarakat bisa diakomodasi melalui lembaga politik jika melalui jalur hukum gagal," katanya.