Hipmi minta pemerintah tetapkan harga patokan nikel
28 Februari 2020 19:31 WIB
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H. Maming (ketiga kanan) dalam diskusi Prospek Industri Nikel Dalam Negeri, di Jakarta, Jumat (28/2/2020). (ANTARA/ Zubi Mahrofi)
Jakarta (ANTARA) - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta pemerintah untuk menetapkan harga patokan mineral (HPM) nikel sebagai instrumen pengendalian harga.
"HPM hendaknya diatur dengan memperhatikan prinsip kepastian dan keadilan, tanpa merugikan semua pihak, baik pemilik smelter, penambang, terutama negara dan bangsa Indonesia," ujar Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H. Maming dalam diskusi Prospek Industri Nikel Dalam Negeri, di Jakarta, Jumat.
Ia mengemukakan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) diminta oleh Kementerian ESDM untuk memberikan data biaya produksi bijih nikel.
Menurut data yang dikumpulkan dari sekitar 30 perusahaan, diperoleh angka rata-rata HPP (harga pokok produksi) bijih nikel sebesar 20,34 dolar AS per mt (metrik ton).
Sementara itu, harga bijih nikel kadar 1,8 persen Free on Board (FoB) Filipina saat ini dihargai antara 59-61 dolar AS per wet metric ton (wmt) sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1,8 persen FoB sebesar 38-40 dolar AS per wmt merupakan harga yang wajar.
Maka itu, lanjut Mardani, jika di pasar domestik bijih nikel kadar 1,8 persen dihargai 20 dolar AS per mt, maka penambang akan menanggung kerugian belum lagi biaya-biaya lain yang timbul akibat proses ini.
Dalam kesempatan itu, ia mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik rencana pemerintah menetapkan harga nikel 30 dolar AS per metrik ton.
"Baru disampaikan, katanya sudah disepakati harga nikel HPM itu 30 dolar AS per metrik ton. Ini sudah menjadi berita baik bagi kita pengusaha tambang," imbuhnya.
Selain itu, Mardani juga meminta agar nikel dengan kadar 1,7 persen dapat diterima smelter, mengingat kadar nikel itu yang menjadi standar ekspor sebelum pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor nikel pada 1 Januari 2020.
"Kita tahu bersama bahwa setiap proses penambangan tidak dapat dipastikan kadar ore yang diperoleh, sehingga jika ore yang didapat memiliki kadar 1,7 persen, bisa kita hitung berapa besar kerugian penambang. Oleh karenanya, saat ini banyak penambang yang memilih menghentikan produksi," katanya.
Baca juga: Harga nikel untuk pasar domestik disepakati 30 dolar per metrik ton
Baca juga: Presdir Vale: ekspor bijih nikel mentah berdampak negatif
Baca juga: Erwin Aksa sebut bisnis nikel sedang tren di Indonesia Timur
"HPM hendaknya diatur dengan memperhatikan prinsip kepastian dan keadilan, tanpa merugikan semua pihak, baik pemilik smelter, penambang, terutama negara dan bangsa Indonesia," ujar Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H. Maming dalam diskusi Prospek Industri Nikel Dalam Negeri, di Jakarta, Jumat.
Ia mengemukakan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) diminta oleh Kementerian ESDM untuk memberikan data biaya produksi bijih nikel.
Menurut data yang dikumpulkan dari sekitar 30 perusahaan, diperoleh angka rata-rata HPP (harga pokok produksi) bijih nikel sebesar 20,34 dolar AS per mt (metrik ton).
Sementara itu, harga bijih nikel kadar 1,8 persen Free on Board (FoB) Filipina saat ini dihargai antara 59-61 dolar AS per wet metric ton (wmt) sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1,8 persen FoB sebesar 38-40 dolar AS per wmt merupakan harga yang wajar.
Maka itu, lanjut Mardani, jika di pasar domestik bijih nikel kadar 1,8 persen dihargai 20 dolar AS per mt, maka penambang akan menanggung kerugian belum lagi biaya-biaya lain yang timbul akibat proses ini.
Dalam kesempatan itu, ia mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik rencana pemerintah menetapkan harga nikel 30 dolar AS per metrik ton.
"Baru disampaikan, katanya sudah disepakati harga nikel HPM itu 30 dolar AS per metrik ton. Ini sudah menjadi berita baik bagi kita pengusaha tambang," imbuhnya.
Selain itu, Mardani juga meminta agar nikel dengan kadar 1,7 persen dapat diterima smelter, mengingat kadar nikel itu yang menjadi standar ekspor sebelum pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor nikel pada 1 Januari 2020.
"Kita tahu bersama bahwa setiap proses penambangan tidak dapat dipastikan kadar ore yang diperoleh, sehingga jika ore yang didapat memiliki kadar 1,7 persen, bisa kita hitung berapa besar kerugian penambang. Oleh karenanya, saat ini banyak penambang yang memilih menghentikan produksi," katanya.
Baca juga: Harga nikel untuk pasar domestik disepakati 30 dolar per metrik ton
Baca juga: Presdir Vale: ekspor bijih nikel mentah berdampak negatif
Baca juga: Erwin Aksa sebut bisnis nikel sedang tren di Indonesia Timur
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020
Tags: