IEEFA : "feed in tarif" dapat digunakan untuk memulai investasi EBT
28 Februari 2020 14:50 WIB
Dokumentasi foto - Foto udara bendungan Waduk Cirata di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (3/1/2020). Pemerintah bekerja sama dengan perusahaan pengembang energi terbarukan asal Uni Emirat Arab (UEA) dan Masdar akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung pertama di Indonesia di Waduk Cirata dengan kapasitas 145 megawatt yang digadang-gadang akan menjadi PLTS terapung terbesar se-Asia Tenggara. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/pras.
Jakarta (ANTARA) - Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) meluncurkan laporan terbaru yang menyebutkan bahwa skema feed-in tariff (FIT) dapat digunakan untuk memulai sejumlah investasi pengembangan energi terbarukan.
Namun, hasil yang lebih baik dari kebijakan yang berpihak pada pasar seperti skema lelang yang transparan dan kompetitif adalah kunci masa depan pertumbuhan ET di Indonesia.
Peneliti dan penulis laporan IEEFA Elrika Hamdi dalam pemaparan di Jakarta, Jumat, mengatakan, belajar dari negara-negara berkembang lainnya, hasil terbaik di tingkat sistem kelistrikan dapat tercapai jika lelang tersebut dirancang dengan cermat dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sistem.
Baca juga: Peluang kerja banyak tercipta dari investasi EBTKE
Langkah menuju FIT merupakan awal yang bagus dan sangat dihargai, namun transisi yang cepat menuju reverse auction yang kompetitif dan transparan adalah pendekatan terbaik untuk mempercepat penyerapan dan investasi Energi Terbarukan skala besar di Indonesia.
Ia juga menjelaskan, pemerintah sedang merancang peraturan presiden (perpres) terkait tarif pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan (ET). Ketentuan yang akan diatur dalam perpres ini adalah penggunaan skema FIT, berbeda dibanding aturan yang berlaku saat ini yaitu menghitung harga pembangkit listrik ET berdasarkan biaya pokok produksi (BPP), yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50/2017.
Laporan IEEFA menggarisbawahi sejumlah pondasi yang dibutuhkan untuk membangun desain sistem ET yang kuat. Pondasi tersebut di antaranya, harga pasar lebih baik dibandingkan dengan harga yang ditetapkan melalui kebijakan politis. Hasil studi menunjukkan, Jerman dan Vietnam yang sebelumnya mengimplementasikan instrumen FIT untuk ET, sekarang ini ini lebih memilih untuk melakukan lelang terbalik atau reverse auction untuk mendapatkan tarif listrik yang lebih murah.
“Ada risiko politik yang harus ditanggung bagi pembuat kebijakan yang menentukan harga melalui FIT. Bila terlalu mahal, maka beban subsidi listrik meningkat. Negara-negara yang berhasil mengimplementasikan FIT, seperti Jerman dan Vietnam, harus menanggung harga listrik yang mahal,” kata Elrika menjelaskan.
Fondasi lain terkait lelang yaitu perlunya mendorong proses yang transparan dan kompetitif untuk mengurangi risiko. Banyak negara berkembang di seluruh dunia berhasil melakukan lelang yang bukan hanya menghasilkan penambahan kapasitas pembangkit ET secara cepat, tetapi juga mendapatkan harga terendah.
Baca juga: Teknologi energi baru dan terbarukan mulai diterapkan di Indonesia
Elrika menekankan, desain lelang harus memperhatikan kondisi negara setempat. “Setiap negara punya cara berbeda untuk men-de-risk lelang, tergantung kemampuan negara tersebut menyerap risiko. Apapun cara yang dipilih, biasanya pasarlah yang menentukan hasil melalui harga penawaran,” ujarnya.
Yang juga penting dalam keberhasilan penyerapan ET dalam sistem kelistrikan Indonesia adalah komitmen off-take dari PLN dan proses perizinan yang tidak berbelit-belit. Untuk itu, pentingnya investasi sistem jaringan tidak boleh dianggap remeh. Jaringan yang kuat dan cerdas adalah penentu besaran penetrasi ET yang dapat diserap oleh sistem.
Namun, hasil yang lebih baik dari kebijakan yang berpihak pada pasar seperti skema lelang yang transparan dan kompetitif adalah kunci masa depan pertumbuhan ET di Indonesia.
Peneliti dan penulis laporan IEEFA Elrika Hamdi dalam pemaparan di Jakarta, Jumat, mengatakan, belajar dari negara-negara berkembang lainnya, hasil terbaik di tingkat sistem kelistrikan dapat tercapai jika lelang tersebut dirancang dengan cermat dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sistem.
Baca juga: Peluang kerja banyak tercipta dari investasi EBTKE
Langkah menuju FIT merupakan awal yang bagus dan sangat dihargai, namun transisi yang cepat menuju reverse auction yang kompetitif dan transparan adalah pendekatan terbaik untuk mempercepat penyerapan dan investasi Energi Terbarukan skala besar di Indonesia.
Ia juga menjelaskan, pemerintah sedang merancang peraturan presiden (perpres) terkait tarif pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan (ET). Ketentuan yang akan diatur dalam perpres ini adalah penggunaan skema FIT, berbeda dibanding aturan yang berlaku saat ini yaitu menghitung harga pembangkit listrik ET berdasarkan biaya pokok produksi (BPP), yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50/2017.
Laporan IEEFA menggarisbawahi sejumlah pondasi yang dibutuhkan untuk membangun desain sistem ET yang kuat. Pondasi tersebut di antaranya, harga pasar lebih baik dibandingkan dengan harga yang ditetapkan melalui kebijakan politis. Hasil studi menunjukkan, Jerman dan Vietnam yang sebelumnya mengimplementasikan instrumen FIT untuk ET, sekarang ini ini lebih memilih untuk melakukan lelang terbalik atau reverse auction untuk mendapatkan tarif listrik yang lebih murah.
“Ada risiko politik yang harus ditanggung bagi pembuat kebijakan yang menentukan harga melalui FIT. Bila terlalu mahal, maka beban subsidi listrik meningkat. Negara-negara yang berhasil mengimplementasikan FIT, seperti Jerman dan Vietnam, harus menanggung harga listrik yang mahal,” kata Elrika menjelaskan.
Fondasi lain terkait lelang yaitu perlunya mendorong proses yang transparan dan kompetitif untuk mengurangi risiko. Banyak negara berkembang di seluruh dunia berhasil melakukan lelang yang bukan hanya menghasilkan penambahan kapasitas pembangkit ET secara cepat, tetapi juga mendapatkan harga terendah.
Baca juga: Teknologi energi baru dan terbarukan mulai diterapkan di Indonesia
Elrika menekankan, desain lelang harus memperhatikan kondisi negara setempat. “Setiap negara punya cara berbeda untuk men-de-risk lelang, tergantung kemampuan negara tersebut menyerap risiko. Apapun cara yang dipilih, biasanya pasarlah yang menentukan hasil melalui harga penawaran,” ujarnya.
Yang juga penting dalam keberhasilan penyerapan ET dalam sistem kelistrikan Indonesia adalah komitmen off-take dari PLN dan proses perizinan yang tidak berbelit-belit. Untuk itu, pentingnya investasi sistem jaringan tidak boleh dianggap remeh. Jaringan yang kuat dan cerdas adalah penentu besaran penetrasi ET yang dapat diserap oleh sistem.
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020
Tags: