Kupang (ANTARA) - Pengamat hukum tata negara dari Univesitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Johanes Tuba Helan mengatakan adanya tumpang tindih kepentingan akan menjadi soal tersendiri dalam pelaksanaan sistem pemilihan umum (Pemilu) secara serentak terutama dalam pelaksanaan kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota legislatif.

"Kepentingan antapartai politik tentu akan saling tumpang tindih dalam Pemilu serentak, karena mereka turun kampanye membawa dua misi untuk memenangkan calon presiden, di sisi lain bersaing memenangkan calon legislatif yang diusung masing-masing," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat.

Baca juga: KPU kota tunggu petunjuk model pelaksanaan pemilu serentak

Baca juga: MK tolak gugatan, pelaksanaan Pemilu tetap serentak

Baca juga: MK buka sejumlah pilihan model pemilu serentak


Dia mengemukakan pandangan itu berkait seputar konsekuensi pelaksanaan sistem Pemilu serentak untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota legislatif, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi.

Dia mengatakan, dalam Pemilu serentak masing-masing partai politik sudah pasti akan berjuang memenangkan calon-calon legislatif yang diusung. Sedang pada sisi lain, mereka berkoalisi untuk memenangkan calon presiden-wakil presiden.

"Mungkin saja tiga atau empat partai bisa berkoalisi untuk mendukung calon presiden-wakil presiden, ini jadi persoalan besar juga karena mereka turun kampanye membawa dua misi yang tidak sejalan," katanya.

Untuk itu, menurut dia, jalan keluar terbaik adalah kembali pada amendemen UU 1945 yang mana sudah mengatur secara tegas bahwa pemilihan presiden-wakil presiden dan legislatif dipisahkan.

Pemilihan legislatif dilakukan terlebih dahulu, setelah itu partai politik mencalonkan presiden-wakil presiden untuk bertarung dalam Pilpres, katanya.

Dosen pada Fakultas Hukum di Undana Kupang itu mengatakan, dalam rumusan aturan terkait Pemilu saat ini yakni Pemilu dilakukan sekali dalam lima tahun.

"Orang mengartikan sekali itu hanya satu kali serempak, tetapi menurut pemahaman saya dari rumusan konstitusi itu bahwa sekali itu berarti periodisasi bahwa pemilihan legislatif itu sekali dalam lima tahun, demikian juga Pilpres," katanya.

"Artinya tidak boleh setelah Pemilu 2019, dilakukan lagi pada 2022, kemudian juga pada 2024. Jadi selama belum habis periode lima tahun tidak boleh ada Pemilu lagi," kata mantan Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTB-NTT itu.