London (ANTARA) - Indonesia telah melakukan kerja sama dengan Uni Eropa (UE) untuk memerangi perdagangan kayu ilegal sehingga bisa menjadi contoh bagi negara lain, kata Dubes RI untuk Belgia, UE dan Luksemburg, Yuri O. Thamrin, di hadapan Sidang Tahunan Komite Penegak Hukum, Organisasi Cukai Dunia (WCO Enforcement Committee) di Brussel, Belgia.

Sekretaris Pertama KBRI Brussels, Dara Yusilawati, kepada Antara London, Kamis, menyebutkan selain paparan Dubes Thamrin, isu Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT/perdagangan, tata kelola dan penegakan hukum hutan) juga dibahas secara detail oleh empat pembicara lainnya yakni perwakilan CITES (konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam), pejabat UE (Ditjen Lingkungan), pejabat cukai dari India, dan pejabat cukai dari Indonesia.

Dubes Yuri O. Thamrin mengatakan inisiatif ini dapat menjadi model yang efektif bagi negara lain dalam upaya memerangi perdagangan kayu ilegal secara global.

Baca juga: Pembangunan ibu kota baru diusulkan pakai kayu bersertifikat SVLK

Sejak November 2016, Indonesia dan Uni Eropa menerapkan kerja sama yang disebut The Indonesia - EU FLEGT Voluntary Partnership Agreement. Melalui kerja sama ini, Indonesia memiliki kewenangan mengeluarkan izin Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) terhadap kayu yang akan diekspor ke wilayah UE, ujarnya.

Hanya kayu-kayu yang lolos SVLK yang dapat dibeli oleh negara-negara UE dari Indonesia. Berkat kerja sama ini, ekspor kayu Indonesia ke UE menikmati green lane, atau fasilitas tanpa pemeriksaan fisik.

Sekjen WCO, Kunio Mikuriya, mengatakan pengalaman baik ini dipandang penting untuk dibagi dengan para penegak hukum (dari bidang cukai) dari seluruh dunia yang berkumpul di Brussel untuk pertemuan tahunan yang berlangsung sejak tanggal 24 hingga 28 Februari mendatang.

Untuk itu Mikuriya mengundang Dubes RI untuk Belgia, UE dan Luksemburg, Yuri O. Thamrin berbagi pengalaman dan mendapatkan pencerahan dari Indonesia yang telah memulai kerja sama FLEGT dengan UE.

Baca juga: MFP4: SVLK bisa berkontribusi dalam pengurangan deforestasi

Pada kesempatan itu Dubes Yuri meminta UE untuk memperbaiki kebijakan mereka agar negara yang sudah memenuhi kriteria UE (compliant) seperti Indonesia tidak dirugikan.

Dikatakan, proses lisensi FLEGT di Indonesia memerlukan biaya yang tidak sedikit dan cukup membebani UKM. Karena itu, upaya untuk patuh terhadap persyaratan yang diatur dalam lisensi perlu diapresiasi. “Penting bagi UE untuk memastikan fairness bagi produk kayu Indonesia yang memiliki lisensi FLEGT. Karena ada beberapa importir UE lebih memilih produk kayu dengan harga murah dan tidak menguji asal-muasalnya," katanya.

Ia menegaskan kembali komitmen kuat Indonesia memerangi perdagangan kayu ilegal dan kerja sama dengan UE. Diharapkan kerja sama ini dapat ditingkatkan lebih baik lagi dan berharap importir UE tidak lagi membeli kayu yang ilegal dari negara-negara yang belum melakukan kerja sama FLEGT.

Kerja sama Indonesia dan Uni Eropa terkait FLEGT disepakati pada tahun 2014 (ratifikasi) dan 15 November 2016 dikeluarkan sertifikasi pertama.