Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof San Afri Awang mengatakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara substansi tidak hilang dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

''Tidak ada penghapusan AMDAL. Kalau ada yang bilang hilang, harusnya dia baca dulu draft RUU-nya secara lengkap. Meskipun nomenklatur izin lingkungan dihilangkan, namun substansi muatan dari izin lingkungan tersebut tidak dihilangkan, namun masuk dalam izin usaha,'' kata San Afri dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Semangat yang diusung RUU Omnibus Law adalah penyederhanaan regulasi. Dikatakannya selama ini banyak investasi yang akan masuk namun terganjal masalah AMDAL. Masalahnya tidak hanya sistem birokrasi yang berbelit-belit, namun juga faktor oknum yang 'bermain' untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

''Sistem keluarnya izin usaha sering terganjal karena AMDAL yang tidak keluar-keluar. Ini terjadi karena permainan oknum juga. Jadi sistem dan oknum dalam sistem yang lemah inilah yang kemudian dibenahi lewat RUU Omnibus Law,'' kata dia.

Pendekatan perizinan lingkungan dalam Omnibus Law, kata San Afri, berbasis pendekatan risiko. Setiap kegiatan dan usaha harus dilihat dulu potensi risikonya. Omnibus Law membagi risiko menjadi risiko tinggi, sedang dan rendah atau risiko kecil.

''Risiko tersebut akan dibuatkan standar baku mutunya. Risiko tinggi wajib dilakukan AMDAL, risiko sedang dampak dikelola melalui UKL dan UPL, dan risiko rendah dilakukan dengan sistem registrasi melalui standar baku sebagai alat kontrol,'' katanya.

Baca juga: Stafsus Presiden: RUU "Omnibus Law" Cipta Kerja tetap atur amdal

Baca juga: KLHK: Amdal bukan dihapus dengan RUU Omnibus Law

Baca juga: Akademisi nilai wacana Amdal ke omnibus law kikis penghambat investasi


Sementara itu, Sekjen KLHK Bambang Hendroyono mengatakan bahwa dalam RUU Omnibus Law, persetujuan dokumen AMDAL dalam bentuk Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup akan diintegrasikan ke dalam perizinan berusaha dan akan menjadi dasar penerbitan izin usaha.

''Konsep rumusan ini pada dasarnya memposisikan persyaratan dan kewajiban dari aspek lingkungan menjadi lebih kuat. Bila sebelumnya izin lingkungan berada di luar izin usaha, maka sekarang ia berada di dalam (built in). Kalau sebelumnya izin usaha dan izin lingkungan berjalan sendiri-sendiri, sekarang diubah menjadi satu kesatuan tidak terpisahkan. Jadi kalau tidak memenuhi persyaratan aspek lingkungan, lewat RUU Omnibus Law, maka izin usahanya bisa dicabut,'' kata Bambang.

Kewajiban pemerintah dalam hal ini KLHK, nantinya menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk memastikan integrasi kewajiban dalam persyaratan aspek lingkungan yang terdapat dalam AMDAL dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) termuat dalam perizinan berusaha.

''AMDAL tidak lagi diposisikan sebagai syarat kunci memulai izin usaha, tapi menjadi standar yang wajib dipenuhi para pelaku usaha. Standar ini akan berlaku sama di semua daerah, sehingga menutup peluang ada yang main-main dengan ini. Sebagai standar tentu wajib dipenuhi jika ingin berusaha. Jadi lebih kuat perlindungan lingkungannya melalui RUU Omnibus Law,'' kata Bambang.

Sebagai suatu standar, lanjut dia, nanti akan ada standardisasi untuk formulir Kerangka Acuan (KA), dan standar untuk formulir UKL-UPL.

Pelaksanaan sistem kajian dampak juga akan dilakukan dengan melibatkan para ahli dalam suatu lembaga yang bertugas untuk melakukan uji kelayakan lingkungan terhadap dokumen AMDAL. Selain itu dilakukan penataan ulang pelibatan masyarakat.

''Karena selama ini pelibatan masyarakat dalam skala luas banyak diboncengi kepentingan yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan masyarakat yang terkena dampak. Jadi pelibatan masyarakat tidak hilang dalam Omnibus Law, namun diatur lebih tepat sasaran dengan melibatkan masyarakat yang memang terdampak langsung dengan rencana kegiatan usaha,'' kata Bambang.

Maka dengan demikian melalui RUU Omnibus Law akan memuat perlindungan lingkungan hidup (environmental safeguard) mulai dari hulu hingga ke hilir untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. AMDAL akan diposisikan sebagai perlindungan lingkungan hidup di level tapak proyek usaha atau izin kegiatan.

''Maka sebagai tapak, AMDAL akan sangat bergantung pada instrumen-instrumen safeguard mulai dari hulu hingga ke hilir,'' kata Bambang.

Di hulu akan ada instrumen Ekoregion, Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup, Kajian Lingkungan Hidup Setrategis (KLHS), RPPLH, RTRW, RDTR, dan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Sedangkan AMDAL, UKL-UPL dan Audit Lingkungan Hidup, berada di hilir.

''Jadi sekali lagi kami tegaskan, bahwa AMDAL tidak hilang dalam Omnibus Law, justru diperkuat dan akan mendorong ekonomi daerah. Karena AMDAL diposisikan sebagai kajian dampak lingkungan yang lebih komprehensif dan rinci,'' kata Bambang.*