Indef: Status negara maju berdampak pada kenaikan bea masuk produk RI
27 Februari 2020 20:06 WIB
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus di Jakarta. ANTARA/AstridFaidlatulHabibah/pri.
Jakarta (ANTARA) - Lembaga kajian ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai perubahan status Indonesia menjadi negara maju dapat berdampak pada kenaikan bea masuk produk ekspor RI.
"Status lndonesia menjadi negara maju akan menyebabkan hambatan perdagangan, Indonesia tidak lagi mendapatkan fasilitas pengurangan bea masuk atau Generalized Systems of Preference (GSP)," ujar peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus dalam konferensi pers bertema "Salah Kaprah Status Negara Maju" di Jakarta, Kamis.
Tidak hanya dari AS, lanjut dia, namun juga dari Australia, Belarus, Kanada, Uni Eropa, lslandia, Jepang, Kazakhstan, Selandia Baru, Norwegia, Federasi Rusia, Swiss, Turki dan beberapa negara lain. Dengan begitu, kata dia, menimbulkan implikasi bahwa ke depan produk ekspor Indonesia menjadi lebih mahal di pasar negara-negara itu.
Baca juga: Soal jadi negara maju, indonesia harus antisipasi kata Sandi Uno
Selain itu, Ahmad Heri Firdaus mengatakan status negara maju juga akan membuat Indonesia tidak lagi mendapatkan kemudahan dan fasilitas pinjaman luar negeri, technical assistance dari negara maju, biaya keanggotaan badan dunia meningkat, hingga perlakuan dari dunia usaha seluruh dunia yang berbeda.
"Implikasinya, biaya sebagai negara maju sangat besar dan memberatkan keuangan negara maupun ekonomi domestik," katanya.
Dalam kesempatan sama, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad meminta agar pemerintah melakukan protes kepada pihak AS yang mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang mengingat perkiraan implikasi yang ditimbulkannya besar bagi Indonesia.
"Dampaknya akan terasa baik bagi eksportir, industri dalam negeri, maupun tenaga kerja yang terkait dengan industri," katanya.
Baca juga: HIPMI: Jangan terbuai dengan status negara maju
Ia juga meminta agar pemerintah melakukan kerja sama dengan negara lain seperti Brazil, India, Malaysia, Thailand, Vietnam, Argentina dan Afrika Selatan untuk memprotes keputusan AS dalam persidangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Pemerintah sebaiknya mendeklarasikan diri sebagai negara berkembang guna mendapatkan akses dalam WTO untuk tujuan perjanjian Subsidies and Countervailing Measures (SCM)," paparnya.
Ia mengatakan Indonesia perlu mendorong "fair trade" dalam persidangan WTO sehingga terdapat keadilan bagi lndonesia sebagai negara berkembang berhadapan dengan negara-negara lainnya, khususnya negara maju.
Baca juga: Luhut: Jangan buruk sangka Indonesia keluar dari negara berkembang
"Status lndonesia menjadi negara maju akan menyebabkan hambatan perdagangan, Indonesia tidak lagi mendapatkan fasilitas pengurangan bea masuk atau Generalized Systems of Preference (GSP)," ujar peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus dalam konferensi pers bertema "Salah Kaprah Status Negara Maju" di Jakarta, Kamis.
Tidak hanya dari AS, lanjut dia, namun juga dari Australia, Belarus, Kanada, Uni Eropa, lslandia, Jepang, Kazakhstan, Selandia Baru, Norwegia, Federasi Rusia, Swiss, Turki dan beberapa negara lain. Dengan begitu, kata dia, menimbulkan implikasi bahwa ke depan produk ekspor Indonesia menjadi lebih mahal di pasar negara-negara itu.
Baca juga: Soal jadi negara maju, indonesia harus antisipasi kata Sandi Uno
Selain itu, Ahmad Heri Firdaus mengatakan status negara maju juga akan membuat Indonesia tidak lagi mendapatkan kemudahan dan fasilitas pinjaman luar negeri, technical assistance dari negara maju, biaya keanggotaan badan dunia meningkat, hingga perlakuan dari dunia usaha seluruh dunia yang berbeda.
"Implikasinya, biaya sebagai negara maju sangat besar dan memberatkan keuangan negara maupun ekonomi domestik," katanya.
Dalam kesempatan sama, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad meminta agar pemerintah melakukan protes kepada pihak AS yang mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang mengingat perkiraan implikasi yang ditimbulkannya besar bagi Indonesia.
"Dampaknya akan terasa baik bagi eksportir, industri dalam negeri, maupun tenaga kerja yang terkait dengan industri," katanya.
Baca juga: HIPMI: Jangan terbuai dengan status negara maju
Ia juga meminta agar pemerintah melakukan kerja sama dengan negara lain seperti Brazil, India, Malaysia, Thailand, Vietnam, Argentina dan Afrika Selatan untuk memprotes keputusan AS dalam persidangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Pemerintah sebaiknya mendeklarasikan diri sebagai negara berkembang guna mendapatkan akses dalam WTO untuk tujuan perjanjian Subsidies and Countervailing Measures (SCM)," paparnya.
Ia mengatakan Indonesia perlu mendorong "fair trade" dalam persidangan WTO sehingga terdapat keadilan bagi lndonesia sebagai negara berkembang berhadapan dengan negara-negara lainnya, khususnya negara maju.
Baca juga: Luhut: Jangan buruk sangka Indonesia keluar dari negara berkembang
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: