Jakarta (ANTARA News) - Sebutan "wartawan bodrex" alias wartawan gadungan yang bertujuan memeras nara sumber sudah populer di masyarakat. Namun, tidak banyak orang yang tahu mengapa disebut "bodrex" layaknya merek salah satu obat sakit kepala.

Ternyata, wartawan senior Sofyan Lubis secara gamblang menuturkan keberadaan mereka."Mereka disebut 'wartawan bodrex' karena kalau mendatangi narasumber sasarannya selalu beramai-ramai, seperti 'pasukan bodrex' di iklan obat sakit kepala," kata Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) periode 1993-1998 itu dalam peluncuran bukunya yang bertitel "Wartawan? Hehehe" di Jakarta Media Center (JMC), Rabu.

Alumni International Institute for Journalism (IIJ) Berlin, Jerman, pada 1972 tersebut mengemukakan bahwa sepengetahuannya "wartawan bodrex" mulai muncul tahun 1980-an, dan mereka biasa berkumpul di seberang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat di Jalan Gajah Mada. Tepatnya, mereka berkumpul di Hotel Paripurna, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta.

"Di saat redaksi media massa mengadakan rapat liputan di kantor masing-masing, 'wartawan bodrex' pun rajin rapat di Hotel Paripurna untuk menyusun strategi siapa saja calon korban mereka," ujar Ketua Dewan Penasehat PWI Pusat periode 2008-2013 tersebut.

Hebatnya, menurut Sofyan Lubis, "wartawan bodrex" banyak yang rajin membaca dan berinvestigasi. Tujuannya, mereka menjadi lebih mudah mendapatkan "korban" dengan memantau berbagai berita kasus.

"Kalau korban sudah didapat, mereka pun mendatangi secara beramai-ramai, seperti iklan sakit kepala. Pasukan bodrex datang jreng jreng," katanya, yang ditimpali tawa sejumlah tokoh pers, masyarakat yang hadir di acara peluncuran buku.

Sofyan Lubis pun dalam bukunya menulis, saat dia menjabat Ketua PWI Jakarta Raya (Jaya) dan PWI Pusat rajin memerangi keberadaan "wartawan bodrex" dengan melibatkan pihak keamanan, Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya maupun Komando Daerah Militer (Kodam) Jaya.

Sayangnya, menurut dia, pasca-reformasi keberadaan "wartawan bodrex" kian sulit diberantas lantaran PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi pers.

"Mereka berlindung di balik ketentuan bahwa bukan anggota PWI, sehingga PWI tidak bisa mengambil tindakan. Bahkan, mereka ada yang menyatu untuk mendirikan organisasi atau media massa tanpa status badan hukum yang jelas," katanya.

Apalagi, Sofyan Lubis mencatat, saat ini ada sekira 28 organisasi pers nasional.

Buku "Wartawan? Hehehe" adalah bunga rampai dari berbagai anekdot Sofyan Lubis pribadi maupun kumpulan naskah wartawan lain yang disuntingnya, dan disajikan bergaya tulisan santai.

"Namun demikian, Sofyan Lubis mampu menyajikan gaya penulisan khas, yakni santai yang bisa dianggap serius karena menceritakan pula mengenai latar belakang dari peristiwa," kata Margiono, Ketua Umum PWI Pusat periode 2008-2013.

Margiono menambahkan, "Ini bukan hal mudah. Ini bisa jadi yang ikut mempengaruhi gaya koran Pos Kota yang dipimpinnya. Pak Sofyan Lubis mampu menyajikan berita dengan gaya bahasa sederhana, dan mudah dipahami siapa pun, terutama masyarakat biasa." (*)