Bawaslu: Mahasiswa harus menjadi garda terdepan tolak politik uang
25 Februari 2020 19:15 WIB
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jateng Sri Sumanta saat menjadi pembicara pada acara sosialisasi pengawasan partisipatif tahun 2020 bersama kaum milenial mahasiswa Universitas Muria Kudus di Hotel Griptha Kudus, Selasa (25/2/2020). (ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif)
Kudus (ANTARA) - Mahasiswa sebagai generasi milenial harus menjadi garda terdepan menolak politik uang dalam pemilihan umum sehingga kasus korupsi akibat biaya politik mahal bisa dihindari, kata Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jateng Sri Sumanta.
"Mahasiswa harus berani mengatakan tidak dengan politik uang demi menciptakan generasi yang baru ke depan," ujar Sri Sumanta Koordinator Divisi SDM Bawaslu Jateng saat menjadi pembicara pada acara sosialisasi pengawasan partisipatif tahun 2020 bersama kaum milenial mahasiswa Universitas Muria Kudus di Hotel Griptha Kudus, Selasa.
Menurut dia, politik uang tidak akan terjadi ketika salah satu pihak tidak mau menerima.
Apalagi, lanjut dia, ketika politik uang dibiarkan terjadi, maka dampaknya akan sangat luar biasa nantinya untuk masa depan suatu daerah.
Misalnya, kata dia, ketika seorang calon kepala daerah sudah mengeluarkan ongkos politik yang begitu besar untuk menjadi kepala daerah, maka ketika jadi akan berupaya mengembalikannya.
Demikian halnya, dalam Pemilihan Umum Legislatif ketika calonnya sudah mengeluarkan biaya politik juga sama akan berupaya mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan.
"Pada akhirnya akan mendorong terjadinya tindakan korupsi dan berupaya mencari-cari celah mendapatkan uang," ujarnya.
Untuk itulah, kata dia, mahasiswa sebagai milenial sebagai salah satu tokoh sentral garda terdepan, harus berani meneriakkan tidak usah pakai politik uang dalam Pemilu.
"Jika sudah berani bersikap demikian, jangan pula memiliki perasan yang tidak enak terhadap tetangga karena menjadi integritas diri pribadi," ujarnya.
Ia mengingatkan seseorang yang secara nyata pernah menerima politik uang dalam Pemilu, maka ketika mendaftarkan diri sebagai anggota Bawaslu tentunya akan langsung ditolak karena dianggap tidak memiliki integritas.
Pada kesempatan tersebut, mahasiswa juga diajak menjadi pengawas partisipatif dalam Pemilu nantinya karena mahasiswa era sekarang tentunya lebih melek teknologi sehingga semua hal yang terkait dengan Pemilu bisa diawasi karena semuanya serba berbasis teknologi dan memiliki jejak digital.
"Mana kala ada data yang tidak akurat, bisa disampaikan," ujarnya.
Menurut dia Bawaslu sebagai lembaga yang mempunyai mandat untuk mengawasi tahapan Pemilu membutuhkan dukungan banyak pihak dalam pengawasannya.
Dengan keterlibatan masyarakat menjadi pengawas partisipatif, selain menjadikan pemilu bermartabat dan berintegritas juga untuk mendorong tingkat partisipasi publik menggunakan hak pilihnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Kudus Moh Wahibul Minan mengatakan, hari ini merupakan kegiatan sosialisasi pengawasan partisipatif dengan sasaran generasi milenial.
"Mereka merupakan mahasiswa dari Universitas Muria Kudus (UMK)," ujarnya.
Baca juga: Bawaslu gandeng tokoh agama untuk antisipasi kerawanan Pilkada 2020
Baca juga: Bawaslu: Keberpihakan ASN mendominasi pelanggaran pilkada
Baca juga: Bawaslu rilis 24 daerah rawan konflik Pilkada 2020
"Mahasiswa harus berani mengatakan tidak dengan politik uang demi menciptakan generasi yang baru ke depan," ujar Sri Sumanta Koordinator Divisi SDM Bawaslu Jateng saat menjadi pembicara pada acara sosialisasi pengawasan partisipatif tahun 2020 bersama kaum milenial mahasiswa Universitas Muria Kudus di Hotel Griptha Kudus, Selasa.
Menurut dia, politik uang tidak akan terjadi ketika salah satu pihak tidak mau menerima.
Apalagi, lanjut dia, ketika politik uang dibiarkan terjadi, maka dampaknya akan sangat luar biasa nantinya untuk masa depan suatu daerah.
Misalnya, kata dia, ketika seorang calon kepala daerah sudah mengeluarkan ongkos politik yang begitu besar untuk menjadi kepala daerah, maka ketika jadi akan berupaya mengembalikannya.
Demikian halnya, dalam Pemilihan Umum Legislatif ketika calonnya sudah mengeluarkan biaya politik juga sama akan berupaya mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan.
"Pada akhirnya akan mendorong terjadinya tindakan korupsi dan berupaya mencari-cari celah mendapatkan uang," ujarnya.
Untuk itulah, kata dia, mahasiswa sebagai milenial sebagai salah satu tokoh sentral garda terdepan, harus berani meneriakkan tidak usah pakai politik uang dalam Pemilu.
"Jika sudah berani bersikap demikian, jangan pula memiliki perasan yang tidak enak terhadap tetangga karena menjadi integritas diri pribadi," ujarnya.
Ia mengingatkan seseorang yang secara nyata pernah menerima politik uang dalam Pemilu, maka ketika mendaftarkan diri sebagai anggota Bawaslu tentunya akan langsung ditolak karena dianggap tidak memiliki integritas.
Pada kesempatan tersebut, mahasiswa juga diajak menjadi pengawas partisipatif dalam Pemilu nantinya karena mahasiswa era sekarang tentunya lebih melek teknologi sehingga semua hal yang terkait dengan Pemilu bisa diawasi karena semuanya serba berbasis teknologi dan memiliki jejak digital.
"Mana kala ada data yang tidak akurat, bisa disampaikan," ujarnya.
Menurut dia Bawaslu sebagai lembaga yang mempunyai mandat untuk mengawasi tahapan Pemilu membutuhkan dukungan banyak pihak dalam pengawasannya.
Dengan keterlibatan masyarakat menjadi pengawas partisipatif, selain menjadikan pemilu bermartabat dan berintegritas juga untuk mendorong tingkat partisipasi publik menggunakan hak pilihnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Kudus Moh Wahibul Minan mengatakan, hari ini merupakan kegiatan sosialisasi pengawasan partisipatif dengan sasaran generasi milenial.
"Mereka merupakan mahasiswa dari Universitas Muria Kudus (UMK)," ujarnya.
Baca juga: Bawaslu gandeng tokoh agama untuk antisipasi kerawanan Pilkada 2020
Baca juga: Bawaslu: Keberpihakan ASN mendominasi pelanggaran pilkada
Baca juga: Bawaslu rilis 24 daerah rawan konflik Pilkada 2020
Pewarta: Akhmad Nazaruddin
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020
Tags: