Peneliti: Optimalkan penerapan program bantuan pangan non tunai
25 Februari 2020 16:41 WIB
Pekerja menyiapkan beras Bulog untuk disalurkan ke operasi pasar dan penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Gudang Perum Bulog Sub Divisi Regional Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/12/2019). ANTARA FOTO/Fauzan/hp.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, penerapan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang sudah berjalan sejak 2019 masih perlu dioptimalkan, seperti soal kualitas beras dan mekanisme penyalurannya.
"Terlepas dari pengembangannya, program ini juga tidak luput dari kendala. Dalam rangka pemenuhan gizi yang seimbang, implementasi program ini belum diiringi dengan pengetahuan Keluarga Penerima Manfaat yang memadai, seperti mengenai pentingnya diversifikasi pangan bagi keluarga mereka," kata Galuh Octania di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, perlu juga dilakukan optimalisasi verifikasi dan validasi data Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain faktor KPM, kesiapan e-warong sebagai penyalur bahan pangan di wilayah mereka pun kadang masih tidak maksimal.
Ia berpendapat, permasalahan penting lainnya adalah banyak daerah di Indonesia yang masih belum mempunyai infrastruktur yang memadai untuk mendukung penerapan BPNT.
"Hal ini belum termasuk jika ditambah dengan kesulitan untuk mengakses lokasi tersebut. Terkadang hal ini kemudian diselesaikan dengan mekanisme BPNT secara offline yang menjadikan penyaluran beras dilakukan secara rapel. Tentunya hal ini akan membawa kerugian bagi para KPM, misalnya saja penurunan kualitas beras,"
Galuh mengingatkan bahwa pada program Rastra (Beras Sejahtera) sebelumnya, pelaksanaan subsidi beras diserahkan pada Bulog, sedangkan pada sistem BPNT pemasok swasta juga dapat menyalurkan beras ke e-warong yang tersedia.
Selain karena memang BPNT menerapkan sistem mekanisme pasar, lanjutnya, terdapat pula persaingan sehat dan kompetisi yang ingin diciptakan oleh peraturan pemerintah yang ada.
"Di sinilah terkadang beras Bulog masih kalah bersaing dengan beras dari para pemasok swasta, terutama dari segi kualitas beras," ungkap Galuh.
Ia mengemukakan bahwa lewat sistem BPNT, konsumen diberikan keleluasaan untuk dapat memilih jenis beras yang ingin dikonsumsi, sehingga hal ini merupakan tantangan bagi Bulog untuk dapat menyediakan beras yang berkualitas dan sesuai dengan selera konsumen di Indonesia.
Terlebih lagi, lanjutnya, dalam RPJMN 2020-2024 yang baru-baru ini dikeluarkan, terdapat sasaran untuk meningkatkan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan di mana salah satu target yang ingin dicapai di tahun 2024 adalah melalui penyaluran beras fortifikasi bagi keluarga yang kurang mampu dan kurang gizi melalui mekanisme BPNT yang dibebankan kepada Bulog.
Baca juga: Budi Waseso bakal bongkar kejahatan oknum penyalur beras BPNT
Baca juga: CIPS: Bulog harus pastikan beras BPNT berkualitas baik
Baca juga: Kurang diminati, Bulog perlu inovasi agar berasnya terserap BPNT
"Terlepas dari pengembangannya, program ini juga tidak luput dari kendala. Dalam rangka pemenuhan gizi yang seimbang, implementasi program ini belum diiringi dengan pengetahuan Keluarga Penerima Manfaat yang memadai, seperti mengenai pentingnya diversifikasi pangan bagi keluarga mereka," kata Galuh Octania di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, perlu juga dilakukan optimalisasi verifikasi dan validasi data Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain faktor KPM, kesiapan e-warong sebagai penyalur bahan pangan di wilayah mereka pun kadang masih tidak maksimal.
Ia berpendapat, permasalahan penting lainnya adalah banyak daerah di Indonesia yang masih belum mempunyai infrastruktur yang memadai untuk mendukung penerapan BPNT.
"Hal ini belum termasuk jika ditambah dengan kesulitan untuk mengakses lokasi tersebut. Terkadang hal ini kemudian diselesaikan dengan mekanisme BPNT secara offline yang menjadikan penyaluran beras dilakukan secara rapel. Tentunya hal ini akan membawa kerugian bagi para KPM, misalnya saja penurunan kualitas beras,"
Galuh mengingatkan bahwa pada program Rastra (Beras Sejahtera) sebelumnya, pelaksanaan subsidi beras diserahkan pada Bulog, sedangkan pada sistem BPNT pemasok swasta juga dapat menyalurkan beras ke e-warong yang tersedia.
Selain karena memang BPNT menerapkan sistem mekanisme pasar, lanjutnya, terdapat pula persaingan sehat dan kompetisi yang ingin diciptakan oleh peraturan pemerintah yang ada.
"Di sinilah terkadang beras Bulog masih kalah bersaing dengan beras dari para pemasok swasta, terutama dari segi kualitas beras," ungkap Galuh.
Ia mengemukakan bahwa lewat sistem BPNT, konsumen diberikan keleluasaan untuk dapat memilih jenis beras yang ingin dikonsumsi, sehingga hal ini merupakan tantangan bagi Bulog untuk dapat menyediakan beras yang berkualitas dan sesuai dengan selera konsumen di Indonesia.
Terlebih lagi, lanjutnya, dalam RPJMN 2020-2024 yang baru-baru ini dikeluarkan, terdapat sasaran untuk meningkatkan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan di mana salah satu target yang ingin dicapai di tahun 2024 adalah melalui penyaluran beras fortifikasi bagi keluarga yang kurang mampu dan kurang gizi melalui mekanisme BPNT yang dibebankan kepada Bulog.
Baca juga: Budi Waseso bakal bongkar kejahatan oknum penyalur beras BPNT
Baca juga: CIPS: Bulog harus pastikan beras BPNT berkualitas baik
Baca juga: Kurang diminati, Bulog perlu inovasi agar berasnya terserap BPNT
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020
Tags: