Purwokerto (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus transparan kepada publik terkait dengan 36 kasus yang telah dihentikan pada tahap penyelidikan, kata pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho.
"Penghentian 36 kasus, yang penting ada transparansi, karena yang namanya penghentian di dalam ilmu hukum itu ada penghentian demi kepentingan hukum dan ada penghentian demi hukum," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Baca juga: KPK hentikan 36 perkara, Abraham Samad: Ini di luar kewajaran
Ia mengatakan penghentian demi hukum dapat dilakukan jika kasus tersebut sudah kedaluwarsa, nebis in idem (sudah diputus peradilan untuk kasus yang sama), tersangka meninggal dunia, dan delik aduannya dicabut.
Sementara kasus dihentikan demi kepentingan hukum dapat dilakukan jika buktinya kurang atau perbuatan yang disangkakan bukan tindak pidana.
"Ini yang harus dijelaskan oleh KPK, karena kalau memang bukti kurang, masyarakat bisa memberikan masukkan, bisa dibuka kembali," kata Hibnu.
Baca juga: KPK hentikan penyelidikan 36 kasus, Mahfud: Wewenang KPK
Dalam hal ini, kata dia, masyarakat sangat ditunggu untuk memberikan informasi terkait dengan bukti-bukti yang ada.
"Itu yang kita tunggu sehingga ada transparansi terkait dengan penghentian tadi. Itu yang harus dibedakan antara transparansi penghentian demi hukum dan penghentian demi kepentingan hukum. Ini yang mana? Kita kan enggak tahu," katanya.
Hibnu mengaku dalam permasalahan ini, dia tidak melihat dari banyaknya kasus yang dihentikan, tetapi lebih pada kualitas kasusnya.
Baca juga: KPK: 36 perkara yang dihentikan didominasi kasus suap
Dengan demikian, kata dia, KPK perlu memberikan klarifikasi terkait dengan 36 kasus yang dihentikan pada tahap penyelidikan itu dari perkara apa dan dari berapa banyak perkara.
"Kalau 36 perkara dari 50 perkara ya banyak sekali, tapi kalau 36 perkara dari 1.000 perkara itu ya sedikit. Ini yang saya kira juga perlu publik tahu," katanya.
Sebelumnya, KPK menyebut kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik tidak termasuk dalam 36 kasus yang dihentikan di tahap penyelidikan.
Baca juga: Nasir Djamil minta KPK rinci 36 kasus yang dihentikan penyelidikannya
Adapun kasus-kasus besar yang dimaksud tersebut, yakni dugaan korupsi divestasi saham perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara, pengadaan "Quay Container Crane" (QCC) di PT Pelindo II.
Selanjutnya, pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta Barat, dan penghapusan piutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
"Bukan NTB, bukan RJL bukan Century, Sumber Waras, bukan. Pengembangan dari BLBI dan sebagainya, saya kira tidak ada yang berkaitan dengan itu," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/2).
Adapun penghentian 36 kasus tersebut untuk akuntabilitas dan kepastian hukum. Namun, Ali enggan merinci detil kasus-kasus apa saja yang telah dihentikan tersebut.
"Tentunya kami tidak bisa menyampaikan secara rinci 36 itu perkara dugaan atau sprinlidik nomor berapa karena ini proses penyelidikan tentunya di Undang-Undang keterbukaan informasi ada informasi yang dikecualikan dalam proses ini," ujar dia.
Pakar: KPK harus transparan terkait dengan 36 kasus yang dihentikan
24 Februari 2020 12:46 WIB
Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho. ANTARA/Sumarwoto
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020
Tags: