Ekonom dukung kebijakan terkait cukai minuman berpemanis dan plastik
21 Februari 2020 15:57 WIB
Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta, Jumat (21/2/2020). (ANTARA/AstridFaidlatulHabibah)
Jakarta (ANTARA) - Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mendukung rencana pemerintah untuk menerapkan tarif cukai terhadap plastik dan minuman berpemanis sebagai langkah menjaga lingkungan serta kesehatan.
Fithra mengatakan fokus pemerintah dalam menerapkan tarif cukai tersebut tidak hanya merupakan upaya menambah penerimaan negara tapi juga untuk mengontrol konsumsi masyarakat terhadap komoditas itu.
“Cukai bukan objek pemungut atau bukan revenue tapi untuk kontrol,” katanya di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta, Jumat.
Baca juga: Tiga asosiasi tolak pengenaan cukai minuman berpemanis
Fithra menyebutkan pengenaan tarif cukai pada plastik merupakan usaha pemerintah dalam mengurangi dampak dari penggunaan plastik oleh masyarakat Indonesia yang per tahun mencapai 107 juta kilogram.
“Cukai plastik untuk mengurangi kerusakan lingkungan jadi harus lihat dampak plastik sehingga potensi ekonomi jangka panjang enggak akan terlalu tinggi,“ ujarnya.
Fithra pun meyakini bahwa pemerintah telah melihat dampak kebijakan penerapan cukai plastik terhadap sektor industri serta memperhitungkan agar tak terjadi gejolak dalam jangka panjang.
“Harus lihat dampaknya ke industri yang menggunakan plastik tapi saya rasa pemerintah sudah melakukan hitungan meskipun mungkin ada gejolak jangka pendek,” katanya.
Sementara itu, ia menyatakan untuk cukai minuman berpemanis merupakan upaya pemerintah dalam menekan penderita diabetes yang akan berpotensi mengurangi klaim BPJS sebab penyakit itu merupakan kasus tertinggi di Indonesia.
“Cukai minuman manis penting karena beberapa kajian di BPJS klaim diabetes tertinggi jadi itu untuk mengurangi aspek preventif dan kuratif,” ujarnya.
Fithra menyebutkan upaya kuratif atau penyembuhan memang sudah dilakukan oleh pihak rumah sakit melalui BPJS, namun jika tidak dikurangi maka akan terjadi klaim yang melebihi batas dan menciptakan masalah lain.
“Kuratif sudah dilakukan di rumah sakit ada BPJS dan sebagainya tapi kalau terjadi kelebihan klaim maka sumber masalah harus dikurangi yaitu salah satunya dengan kontrol cukai,” katanya.
Di sisi lain, ia menyatakan penerapan tarif cukai terhadap minuman berpemanis akan sedikit mengganggu pertumbuhan konsumsi di Indonesia yang menjadi penunjang utama produk domestik bruto (PDB).
“Ya jadi memang kontribusi ekonomi kita paling banyak dari konsumsi,“ ujarnya.
Oleh sebab itu, Fithra menyarankan kepada pemerintah untuk memaksimalkan sektor lain agar dapat menjadi penunjang perekonomian tanah air seperti investasi dan ekspor.
“Ini penting lakukan diversifikasi pertumbuhan ekonomi karena selama ini masih dari konsumsi jadi kita perlu bangkitkan dari investasi dan ekspor perdagangan internasional,” jelasnya.
Ia menyatakan jika sektor ekspor Indonesia mampu tumbuh sebesar 9,8 persen maka target pertumbuhan ekonomi tanah air 6,5 persen mampu dicapai sehingga keluar dari middle income trap pada 2030.
“Kalau pertumbuhan ekspor bisa 9,8 persen itu kita bisa capai target pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Artinya bisa keluar dari middle income trap 2030,” katanya.
Baca juga: Kemenperin analisis dampak pengenaan cukai minuman berpemanis
Baca juga: Pada Raker DPR, Sri Mulyani usul minuman berpemanis jadi kena cukai
Fithra mengatakan fokus pemerintah dalam menerapkan tarif cukai tersebut tidak hanya merupakan upaya menambah penerimaan negara tapi juga untuk mengontrol konsumsi masyarakat terhadap komoditas itu.
“Cukai bukan objek pemungut atau bukan revenue tapi untuk kontrol,” katanya di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta, Jumat.
Baca juga: Tiga asosiasi tolak pengenaan cukai minuman berpemanis
Fithra menyebutkan pengenaan tarif cukai pada plastik merupakan usaha pemerintah dalam mengurangi dampak dari penggunaan plastik oleh masyarakat Indonesia yang per tahun mencapai 107 juta kilogram.
“Cukai plastik untuk mengurangi kerusakan lingkungan jadi harus lihat dampak plastik sehingga potensi ekonomi jangka panjang enggak akan terlalu tinggi,“ ujarnya.
Fithra pun meyakini bahwa pemerintah telah melihat dampak kebijakan penerapan cukai plastik terhadap sektor industri serta memperhitungkan agar tak terjadi gejolak dalam jangka panjang.
“Harus lihat dampaknya ke industri yang menggunakan plastik tapi saya rasa pemerintah sudah melakukan hitungan meskipun mungkin ada gejolak jangka pendek,” katanya.
Sementara itu, ia menyatakan untuk cukai minuman berpemanis merupakan upaya pemerintah dalam menekan penderita diabetes yang akan berpotensi mengurangi klaim BPJS sebab penyakit itu merupakan kasus tertinggi di Indonesia.
“Cukai minuman manis penting karena beberapa kajian di BPJS klaim diabetes tertinggi jadi itu untuk mengurangi aspek preventif dan kuratif,” ujarnya.
Fithra menyebutkan upaya kuratif atau penyembuhan memang sudah dilakukan oleh pihak rumah sakit melalui BPJS, namun jika tidak dikurangi maka akan terjadi klaim yang melebihi batas dan menciptakan masalah lain.
“Kuratif sudah dilakukan di rumah sakit ada BPJS dan sebagainya tapi kalau terjadi kelebihan klaim maka sumber masalah harus dikurangi yaitu salah satunya dengan kontrol cukai,” katanya.
Di sisi lain, ia menyatakan penerapan tarif cukai terhadap minuman berpemanis akan sedikit mengganggu pertumbuhan konsumsi di Indonesia yang menjadi penunjang utama produk domestik bruto (PDB).
“Ya jadi memang kontribusi ekonomi kita paling banyak dari konsumsi,“ ujarnya.
Oleh sebab itu, Fithra menyarankan kepada pemerintah untuk memaksimalkan sektor lain agar dapat menjadi penunjang perekonomian tanah air seperti investasi dan ekspor.
“Ini penting lakukan diversifikasi pertumbuhan ekonomi karena selama ini masih dari konsumsi jadi kita perlu bangkitkan dari investasi dan ekspor perdagangan internasional,” jelasnya.
Ia menyatakan jika sektor ekspor Indonesia mampu tumbuh sebesar 9,8 persen maka target pertumbuhan ekonomi tanah air 6,5 persen mampu dicapai sehingga keluar dari middle income trap pada 2030.
“Kalau pertumbuhan ekspor bisa 9,8 persen itu kita bisa capai target pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Artinya bisa keluar dari middle income trap 2030,” katanya.
Baca juga: Kemenperin analisis dampak pengenaan cukai minuman berpemanis
Baca juga: Pada Raker DPR, Sri Mulyani usul minuman berpemanis jadi kena cukai
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020
Tags: