Kemenkes: belum ada bukti secara ilmiah pengobatan untuk COVID-19
19 Februari 2020 18:05 WIB
Sejumlah ambulan meninggalkan kapal pesiar Diamond Princess yang sebagian penumpangnya terpapar virus corona COVID-19 di pelabuhan Daikoku Yokohama, Jepang, Selasa (18/2/2020). ANTARA/REUTERS/Yoshio Tsunoda/aa. (REUTERS/AFLO/Yoshio Tsunoda)
Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto menjelaskan bahwa belum ada bukti ilmiah terkait pengobatan untuk penyakit COVID-19.
Yurianto mengatakan di Jakarta, Rabu, virus COVID-19 merupakan virus yang baru ditemukan akhir Desember 2019 atau baru sekitar dua bulan dan masih dalam proses penelitian untuk mempelajari karakter virus tersebut.
"Ada yang bilang pakai curcuma, air hangat dan lain-lain, tidak ada alasan ilmiah yang kita bisa sampaikan terkait hal ini. Karena belum bisa dijelaskan secara ilmiah, tentunya belum bisa dijadikan acuan untuk pengobatan," kata Yurianto.
Hingga saat ini berbagai peneliti tengah berhimpun untuk mempelajari karakteristik virus COVID-19 dengan tujuan agar bisa mengembangkan vaksin dan obat terhadap penyakit tersebut.
Virus COVID-19 ini pun juga masih mungkin untuk bermutasi di tiap daerah yang berbeda dengan iklim berbeda pula. Saat ini para ahli di bawah naungan WHO berkumpul untuk berusaha cepat memahami virus tersebut.
"Yang pasti saat ini belum ada obat atau vaksin yang bisa digunakan. Spesisifk di Indonesia, kita belum memiliki sampelnya di Indonesia. Oleh karena itu tidak banyak yang bisa kita diskusikan mengenai vaksin dan obat, rumor mengenai itu kami tidak bisa menjawab secara ilmiah," kata Yurianto.
Berdasarkan data resmi WHO per tanggal 18 Februari 2020 jumlah orang yang terinfeksi sebanyak 73.332 kasus di 26 negara secara global. Total kematian yang terjadi di China sebanyak 1.870 orang dan tiga orang di luar China.
Kasus infeksi positif virus COVID-19 yang terjadi di luar China paling banyak terjadi di atas Kapal Pesiar Diamond Princess yaitu sebanyak 454 orang positif. Dari total tersebut, sebanyak tiga orang WNI positif dan 75 WNI lainnya yang merupakan ABK kapal pesiar tersebut sedang menjalani masa karantina oleh pemerintah Jepang.
Yurianto mengatakan di Jakarta, Rabu, virus COVID-19 merupakan virus yang baru ditemukan akhir Desember 2019 atau baru sekitar dua bulan dan masih dalam proses penelitian untuk mempelajari karakter virus tersebut.
"Ada yang bilang pakai curcuma, air hangat dan lain-lain, tidak ada alasan ilmiah yang kita bisa sampaikan terkait hal ini. Karena belum bisa dijelaskan secara ilmiah, tentunya belum bisa dijadikan acuan untuk pengobatan," kata Yurianto.
Hingga saat ini berbagai peneliti tengah berhimpun untuk mempelajari karakteristik virus COVID-19 dengan tujuan agar bisa mengembangkan vaksin dan obat terhadap penyakit tersebut.
Virus COVID-19 ini pun juga masih mungkin untuk bermutasi di tiap daerah yang berbeda dengan iklim berbeda pula. Saat ini para ahli di bawah naungan WHO berkumpul untuk berusaha cepat memahami virus tersebut.
"Yang pasti saat ini belum ada obat atau vaksin yang bisa digunakan. Spesisifk di Indonesia, kita belum memiliki sampelnya di Indonesia. Oleh karena itu tidak banyak yang bisa kita diskusikan mengenai vaksin dan obat, rumor mengenai itu kami tidak bisa menjawab secara ilmiah," kata Yurianto.
Berdasarkan data resmi WHO per tanggal 18 Februari 2020 jumlah orang yang terinfeksi sebanyak 73.332 kasus di 26 negara secara global. Total kematian yang terjadi di China sebanyak 1.870 orang dan tiga orang di luar China.
Kasus infeksi positif virus COVID-19 yang terjadi di luar China paling banyak terjadi di atas Kapal Pesiar Diamond Princess yaitu sebanyak 454 orang positif. Dari total tersebut, sebanyak tiga orang WNI positif dan 75 WNI lainnya yang merupakan ABK kapal pesiar tersebut sedang menjalani masa karantina oleh pemerintah Jepang.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020
Tags: