Mataram (ANTARA) - Mengenal nama Ary Juliyant, khususnya bagi penggemar tembang balada di tanah air, tentunya sudah tidak asing lagi.

Ary Juliant adalah sosok yang menyebarkan karya-karya lewat jalur independen atau dikenal dengan sebutan indie label.

Kini, kelahiran Bandung tahun 1964 yang menetap di Pulau Lombok, meluncurkan kembali albumnya yang bertajuk "Pasca Fatamorgana". Sampai sekarang, setidaknya Ary Juliyant sudah menelurkan 30 album lebih.

"Balada punya pesan, juga manfaat untuk disampaikan kepada masyarakat," kata Kang Ary Juliyant yang juga anggota Mahasiswa Pecinta Kelestarian alam (Mapak Alam) Universitas Pasundan.

Balada yang dimainkannya itu mulai dari alam, politik hingga persoalan politik lainnya.

Baca juga: Musik rock pada era digital

Baca juga: Musik rock sudah mati atau stagnasi?


Dalam album Pasca Fatamorgana itu, terdapat 11 tembang. Yakni, Lagu Pagi Ubud Sepi, George Sebatang Kara, Kisah India Semalam, Sak-Sak, Itje ke Belanda, Himalaya, Kejujuran Hanya untuk Kucingku, Untuk John dari Denver, Roaring Thunder, Selewat Singapura, dan Temani Rimbaud Dekati maut.

Khususnya tembang Roaring Thunder diisi dengan intro tembang tradisi rakyat Lombok untuk memanggil hujan, dinyanyikan oleh anak-anak desa Nde', Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Pada tembang Himalaya, didedikasikan untuk salah seorang pendaki gunung yang gagal mencapai Puncak Everest karena maut mendahuluinya karena sakit, namun semangat untuk mencapai salju abdi itu tidak pernah lenyap.

"Oh Himalaya, mimpiku melebihi ketinggian seribu kaki, tengah menakar, menjamu harapan. Kapankah kan tiba tapak-tapak kaki ini, di hamparan salju abadimu, ku ingin sekadar berdoa, kata menyebut cinta," demikian sepenggal bait tembang Himalaya.

"Terima kasih atas kontribusi dan dukungan teman-teman, semoga partisipasi anda menjadi kekuatan baru bagi berkembangnya khasanah kesenian," katanya yang juga penggagas komunitas "Rumah Kucing Montong" (RKM).

Baca juga: Ary Juliyant tampil beda saat bawakan "Overhang" di Napak Tilas Perupa

Baca juga: Perjalanan menembus waktu lewat Ary Juliyant & The Badjigur Bluegrass

Baca juga: Ketika indie menjadi arus utama, bagaimana dengan musik rock?